DENPASAR– Jika sebelumnya Dewa Nyoman Wiratmaja yang menyatakan tidak pernah memberi suap pada pejabat Kementerian Keuangan, kini giliran mantan bupati Tabanan, Ni Putu Eka Wiryastuti, 46, yang mengaku tidak tahu istilah dana “adat istiadat” alias dana pelicin pengurusan Dana Insentif Daerah (DID).
Hal itu dikataka Eka saat bersaksi untuk terdakwa Dewa Nyoman Wiratmaja, Selasa (2/8) malam. Selain mengaku tidak mengetahui adanya dana “adat istiadat”, Eka juga menyatakan tidak pernah memerintah Dewa Wiratmaja ke Jakarta untuk mengurus DID tahun anggaran 2018. “Tidak (pernah) ada perintah,” kata Eka Wiryastuti.
Putri Ketua DPRD Bali itu juga mengaku mengenal dua pejabat Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Yaya Purnomo dan Rifa Surya. Menurutnya komunikasi antara Dewa Wiratmaja dengan Yaya dan Rifa di luar pengetahuannya.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK kemudian menyinggung fakta adanya rangkaian komunikasi antara Dewa Wiratmaja dengan Yaya dan Rifa yang bermuara pada kenaikan DID Tabanan. Jaksa juga mengejar keterangan soal adanya proposal permohonan DID yang oleh Dewa Wiratmaja telah ditandatangani Eka Wiryastuti.
Menanggapi pertanyaan jaksa, Eka Wiryastuti berdalih saat menjabat sebagai Bupati Tabanan hampir setiap hari menandatangani proposal dan surat-surat. Sehingga ia tidak ingat apakah pernah menandatangani surat permohonan atau proposal terkait DID. “Saya tidak ingat, dan setahu saya DID tidak perlu memakai proposal,” ucap politisi kelahiran 21 Desember 1975 itu.
Eka Wiryastuti kembali menegaskan bahwa dirinya tidak mengetahui proses yang dilakukan terdakwa Dewa Wiratmaja dalam pengurusan DID di Jakarta.
Meski demikian ia tidak memungkiri, saat menjabat sebagai Tabanan pada tahun anggaran 2018, Kabupaten Tabanan memperoleh DID sebesar Rp 51 miliar. Jumlah itu meningkat jauh dibanding sebelumnya yang hanya Rp 7,5 miliar.
Eka mengatakan dirinya tahu mendapat DID Rp 51 miliar pada saat pembahasan anggaran 2018. Ia mendengar beritanya DID dari Bappelitbang.
Selain itu, Eka mengatakan tidak mendalami lebih jauh penggunaan DID karena sudah diserahkan masing-masing OPD. Justru dirinya mengetahui pada saat ini ada penyidikan di KPK. “Saya baru lihat (penggunaan DID) dalam penyidikan. Yang saya tahu nilainya Rp 51 miliar. Ke mana-mana saja (penggunaannya) saya tidak mengetahui,” tukas ibu satu anak itu.
Eka mengaku mengenal istilah DID karena Kabupaten Tabanan sudah pernah mendapatkannya. Seingatnya DID sudah pernah diperoleh Tabanan sejak tahun anggaran 2014, 2015, 2016, dan 2017.
Menurutnya parameter untuk mendapatkan DID yang dianggap sebagai reward, sehingga tinggal mengikuti apa yang diprogramkan pemerintah pusat.
Jaksa lantas menyoal proposal untuk mengurus DID. Sepengathuan Eka Wiryastuti tidak perlu proposal sepanjang proses yang dilakukan memenuhi tiga syarat utama, yakni opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian), penyusunan APBD yang tepat waktu, dan penerapan e-Government.
Saat JPU bertanya apakah wajar atau tidak perolehan DID Kabupaten Tabanan yang melonjak signifikan pada tahun anggaran 2018 menjadi Rp 51 miliar dari awalnya Rp 7,5 miliar, Eka tidak memberi jawaban diplomatis. “Saya tidak lihat wajar atau tidak wajar. Saya jadi bupati berusaha melakukan yang terbaik. Apa yang diarahkan pusat itu saya lakukan,” tandas mantan istri Bambang Aditya itu. (san)