DENPASAR – Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak Daerah (KPPAD) Bali merilis data kekerasan yang terjadi pada anak dalam rentan waktu 2017-2019.
Berdasar data, anak yang menjadi korban kekerasan dan pelaku tindak pidana di Bali sebanyak 582 orang.
Mereka terdiri dari 311 orang anak atau 53 persen anak sebagai pelaku tindak pidana dan 271 orang anak atau 47 persen anak menjadi korban tindak pidana.
Anak sebagai pelaku paling banyak melakukan pencurian dan terlibat geng motor, seperti balap liar, begal, jambret. Sementara anak sebagai korban adalah sebagai korban kekerasan seksual juga pembuangan bayi.
“Beberapa minggu terakhir di tahun 2019 ini kita disuguhi pemberitaan tentang anak usia sekolah dasar yang turut serta balap liar di malam hari.
Bahkan, sebelumnya seorang polisi gugur karena tertabrak saat menjalankan tugas untuk membubarkan aksi balap liar di Denpasar,” kata Ni Luh Gede Yastini SH, Komisioner Bidang Anak Berhadapan dengan Hukum KPPAD Bali.
“Anak di jalanan yang melakukan balap liar hingga melakukan tindak pidana seperti pembegalan dan penjambretan menjadi
salah satu issue anak yang berhadapan dengan hukum dari sisi pelaku yang harus mendapatkan perhatian serius,” ujarnya.
Tahun 2017 memang sudah ada Surat Edaran Gubernur Bali mengenai pengawasan intensif anak jalanan dan anak di jalanan.
“Bila melihat fenomena yang terjadi sampai saat ini tentu surat edaran saja tidak cukup, maka KPPAD Bali mendorong agar edaran ini bisa ditingkatkan
ke level Peraturan Gubernur sehingga menjadi landasan hukum yang lebih mengikat dan semua pihak wajib terlibat dalam pengawasan intensif ini,” ujarnya.
Hal ini sangat penting mengingat sejak tahun 2017 hingga kini 2019 persoalan ini masih marak terjadi dan semakin mengkhawatirkan.
Sementara untuk anak yang menjadi korban kekerasan KPPAD BALI masih melihat bahwa diperlukan kesepahaman mengenai perlindungan
bagi anak korban kekerasan seksual pada khususnya terutama dalam hal penyampaian kasus kekerasan seksual kepada publik.
Beberapa kasus ketika dibeberkan ke publik cenderung begitu vulgar sehingga mempengaruhi pemulihan psikologi dan sosial bagi korban.
“Ini harus menjadi perhatian bagi semua pihak baik pihak kepolisian yang menyampaikan mengenai kasus kekerasan seksual ke publik
untuk bisa memilah hal hal yang patut diketahui publik dan hal mana yang hanya cukup disampaikan di depan persidangan yang tentunya tertutup untuk umum,” tutupnya.