DENPASAR – Pengusaha sekaligus promoter tinju nasional, Zaenal Tayeb, 64, menjadi saksi dalam sidang kasus keterangan palsu ke dalam akta otentik dengan terdakwa Yuri Pranatomo, 43.
Zaenal Tayeb berhadapan dengan korban sekaligus pelapor Hedar Giacomo Boy Sam, yang tak lain keponakannya sendiri.
Dalam persidangan yang dipimpin hakim Supriyanto itu, sekitar 1,5 jam Zaenal Tayeb dicecar dan dimarahi hakim lantaran mengingkari keterangannya sendiri dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di kepolisian.
Zaenal Tayeb dalam persidangan menyatakan tidak pernah menyuruh terdakwa Yuri Pranatomo membuat draf perjanjian kerja sama dengan korban.
Namun, dalam BAP, Zaenal mengakui menyuruh terdakwa. Keterangan yang berbeda itu membuat hakim Hari dan hakim anggota dua IGN Putra Atmaja naik pitam.
Hakim sampai mengingatkan bahwa Zaenal Tayeb tidak berbohong karena sudah disumpah. “Di BAP Anda mengaku memberikan
perintah lisan kepada terdakwa untuk membuat draf, tapi di persidangan menyangkal. Yang benar yang mana?” cecar hakim Hari.
“Saksi jangan menutupi. Kalau keterangan saksi salah, maka putusan kami juga salah,” tandas hakim Hari.
Meski sudah dicecar, Zaenal Tayeb bergeming. Pengusaha berdarah Bugis itu tetap tidak mengakui perbuatannya. Zaenal Tayeb tetap kukuh tidak pernah memerintahkan terdakwa.
Namun, hakim menunjukkan BAP yang diteken Zaenal Tayeb. Tanda tangan itu menunjukkan jika Zaenal Tayeb sudah mengerti isi BAP.
“Saya tidak pernah baca BAP, setelah diperiksa BAP dibaca pengacara saya,” kelitnya. Hakim yang geram akhirnya memerintahkan jaksa memanggil penyidik polisi.
“Jaksa, hadirkan penyidik polisi yang bikin BAP ini,” seru hakim Hari dengan nada meninggi. Meski mengelak, Zaenal Tayeb tetap terpojok.
Ini setelah terdakwa yang notabene mantan pegawai Zaenal Tayeb menyatakan keberatan. “Saya keberatan, Yang Mulia.
Saya (membuat draf kerja sama) diperintahkan kedua pihak. Yaitu saksi (Zaenal Tayeb) dan korban (Haedar),” kata terdakwa.
Sementara itu, korban Haedar mengaku sudah membayar kontan delapan SHM yang menjadi kesepakatan dengan Zaenal Tayeb seluas 13.700 meter persegi.
Harga per meter perseginya Rp 4,5 juta. “Saya sudah membayar Rp 61 miliar dengan cara mencicil sebelas kali. Sudah lunas,” ujar Haedar.
Zaenal sendiri dalam sidang mengaku sudah menerima uang Rp 61 miliar yang dibayarkan korban.
Namun, setelah korban membayar lunas dan mengecek keseluruhan 8 SHM tersebut, luas tanah ternyata hanya 8.892 meter persegi.
Diceritakan korban, dirinya merupakan direktur utama PT Mirah Bali, perusahaan property milik Zaenal Tayeb.
Sementara terdakwa bertindak direktur legal yang bertugas mengurus administrasi seperti akta jual beli, pemecahan sertifikat, dan lainnya.
“Sampai pembayaran lunas, saya tidak pernah ditunjukkan sertifikat aslinya,” tukas korban. Haedar mengaku sudah berusaha mediasi dengan Zaenal, tapi menemui jalan buntu.
Selanjutnya Haedar menyomasi Zaenal Tayeb. Namun juga tidak ada solusi. Haedar mengaku mengalami kerugian besar.
Dari delapan sertifikat 8,890 meter persegi saja, pihaknya kelebihan membayar Rp 21 miliar lebih. “Belum lagi ditambah kerugian bangunan yang nilainya sekitar Rp 15 miliar,” bebernya.
Korban sempat bersitegang dengan pengacara terdakwa yang dimotori Mila Tayeb, adik Zaenal Tayeb.
Menurut korban, setelah pelunasan baru Zaenal ngomong ada beberapa bangunan yang tidak termasuk dalam penjualan.
Hal inilah yang kemudian memicu masalah. Hakim sampai menegur kedua pihak yang masih memiliki hubungan kekerabatan itu.
“Masalah ini sebenarnya simpel, jangan ke mana-mana, jangan kita bikin persidangan ini susah sendiri,” cetus hakim Hari.
Zaenal mengaku telah memberikan sembilan sertifikat untuk digabung menjadi satu sertifikat. “Sertifikat yang saya berikan asli, saya memiliki tanda bukti,” akunya.
Dalam dakwaan JPU AA Made Suarja Teja dijelaskan, pemalsuan akta otentik terjadi pada 27 September 2017.
Saat itu terdakwa di Kantor Notaris BF. Harry Prastawa, Jalan Raya Kerobokan, Kuta Utara, Badung, membuat surat draf kerja sama pembangunan dan penjualan untuk diserahkan pada notaries BF. Harry Prastawa.
Draf tersebut selanjutnya dibuatkan akta notaries, di mana dalam draf tersebut terdakwa menerangkan luas keseluruhan lahan 8 SHM seluas 13.700 meter persegi.
Setelah dicek ternyata luasnya hanya 8.892 meter persegi. Perbuatan terdakwa sebagaimana dimaksud Pasal 266 ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP.