28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 5:40 AM WIB

Pengacara Terdakwa Korupsi Aci-aci Ajukan Pledoi Setebal 284 Halaman

DENPASAR– Terdakwa I Gusti Ngurah Bagus Mataram melalui tim kuasa hukumnya mengajukan pledoi tertulis. Tidak tanggung-tanggung, pledoi yang diajukan setebal 284 halaman. 

 

“Kami menilai tuntutan jaksa tidak rinci dan tidak cermat,” ujar I Komang Sutrisna, koordinator tim penasihat hukum Mataram, Jumat kemarin (18/2). 

 

Komang tidak sepakat dengan JPU yang menyebut terdakwa terbukti bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

 

Menurut Komang, unsur-unsur dalam Pasal 2 tidak terpenuhi secara sempurna. Dijelaskan, dalam Pasal 2 harus ada unsur niat yang besar menguntungkan diri sendiri (terdakwa), atau ada persekongkolan dengan pihak lain untuk melakukan korupsi.

 

Sementara dalam fakta persidangan dan keterangan para saksi, terdakwa mengakui salah dalam mengambil kebijakan. Kebijakan salah, lanjut Komang, karena ada desakan dari penerima manfaat hibah seperti klian adat, bendesa adat, dan klian subak yang menginginkan bantuan langsung berupa uang tunai.

 

“Karena ketidaktahuannya, terdakwa yang menjabat sebagai Pengguna Anggaran (PA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) langsung mengabulkan permintaan pihak penerima manfaat,” imbuh Komang.

 

Terdakwa juga memercayakan dan menyerahkan pada bawahannya untuk proses administrasi. “Dari fakta persidangan, harusnya Pasal 3 lebih masuk (terbukti) karena ada salah dalam mengambil kebijakan,” beber Komang.

 

Selain itu, kerugian keuangan negara akibat salah mengambil kebijakan juga tidak ada karena kerugian negara terpulihkan. Ini menyusul pengembalian kerugian negara oleh rekanan, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), dan terdakwa.

 

Komang juga mengkritisi JPU yang hanya menunjuk terdakwa saja dalam unsur perbuatan melawan hukum. Menurutnya kebijakan yang diambil terdakwa melalui sebuah proses. Dalam proses itu ada rekanan dan PPTK.

 

“Perbuatan melawan hukum tidak hanya dilakukan terdakwa seorang diri, tapi secara bersama-sama. PPTK dan rekanan juga berperan aktif dalam kegiatan tersebut,” tandas pengacara yang juga mantan wartawan itu.

 

Komang meminta majelis hakim membuat putusan seadil-adilnya karena terdakwa telah mengaku sadar dan menyesali perbuatannya. “Pada pokoknya kami memohon majelis hakim untuk membebaskan terdakwa dari Pasal 2 karena tidak terbukti melanggar pasal tersebut,” tukas Komang.

 

Seperti diberitakan sebelumnya, JPU Kejari Denpasar menuntut Mataram dengan pidana penjara selama empat tahun dan denda Rp 300 juta subsider enam bulan kurungan.

 

Tak hanya itu, JPU juga mengajukan pidana tambahan berupa pidana denda sebesar Rp 1,022 miliar. Apabila pidana denda tidak dibayar diganti pidana penjara selama satu tahun. Namun, uang Rp 1,022 miliar tersebut sudah dikembalikan. Rinciannya, Rp 80 juta disita dari rumah Kadek Agustina Putra, uang titipan dari rekanan Rp 816 juta, serta uang penitipan dari terdakwa Rp 125,6 juta.

 

Menurut JPU, pertimbangan yang memberatkan tindak pidana korupsi merupakan penyakit masyarakat yang dapat merusak masa depan generasi muda. “Perbuatan terdakwa selaku Kepala Dinas Kebudayaan merupakan contoh buruk bawahannya dalam melaksanakan tugas,” ungkap JPU Catur Rianitha.

 

 

DENPASAR– Terdakwa I Gusti Ngurah Bagus Mataram melalui tim kuasa hukumnya mengajukan pledoi tertulis. Tidak tanggung-tanggung, pledoi yang diajukan setebal 284 halaman. 

 

“Kami menilai tuntutan jaksa tidak rinci dan tidak cermat,” ujar I Komang Sutrisna, koordinator tim penasihat hukum Mataram, Jumat kemarin (18/2). 

 

Komang tidak sepakat dengan JPU yang menyebut terdakwa terbukti bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

 

Menurut Komang, unsur-unsur dalam Pasal 2 tidak terpenuhi secara sempurna. Dijelaskan, dalam Pasal 2 harus ada unsur niat yang besar menguntungkan diri sendiri (terdakwa), atau ada persekongkolan dengan pihak lain untuk melakukan korupsi.

 

Sementara dalam fakta persidangan dan keterangan para saksi, terdakwa mengakui salah dalam mengambil kebijakan. Kebijakan salah, lanjut Komang, karena ada desakan dari penerima manfaat hibah seperti klian adat, bendesa adat, dan klian subak yang menginginkan bantuan langsung berupa uang tunai.

 

“Karena ketidaktahuannya, terdakwa yang menjabat sebagai Pengguna Anggaran (PA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) langsung mengabulkan permintaan pihak penerima manfaat,” imbuh Komang.

 

Terdakwa juga memercayakan dan menyerahkan pada bawahannya untuk proses administrasi. “Dari fakta persidangan, harusnya Pasal 3 lebih masuk (terbukti) karena ada salah dalam mengambil kebijakan,” beber Komang.

 

Selain itu, kerugian keuangan negara akibat salah mengambil kebijakan juga tidak ada karena kerugian negara terpulihkan. Ini menyusul pengembalian kerugian negara oleh rekanan, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), dan terdakwa.

 

Komang juga mengkritisi JPU yang hanya menunjuk terdakwa saja dalam unsur perbuatan melawan hukum. Menurutnya kebijakan yang diambil terdakwa melalui sebuah proses. Dalam proses itu ada rekanan dan PPTK.

 

“Perbuatan melawan hukum tidak hanya dilakukan terdakwa seorang diri, tapi secara bersama-sama. PPTK dan rekanan juga berperan aktif dalam kegiatan tersebut,” tandas pengacara yang juga mantan wartawan itu.

 

Komang meminta majelis hakim membuat putusan seadil-adilnya karena terdakwa telah mengaku sadar dan menyesali perbuatannya. “Pada pokoknya kami memohon majelis hakim untuk membebaskan terdakwa dari Pasal 2 karena tidak terbukti melanggar pasal tersebut,” tukas Komang.

 

Seperti diberitakan sebelumnya, JPU Kejari Denpasar menuntut Mataram dengan pidana penjara selama empat tahun dan denda Rp 300 juta subsider enam bulan kurungan.

 

Tak hanya itu, JPU juga mengajukan pidana tambahan berupa pidana denda sebesar Rp 1,022 miliar. Apabila pidana denda tidak dibayar diganti pidana penjara selama satu tahun. Namun, uang Rp 1,022 miliar tersebut sudah dikembalikan. Rinciannya, Rp 80 juta disita dari rumah Kadek Agustina Putra, uang titipan dari rekanan Rp 816 juta, serta uang penitipan dari terdakwa Rp 125,6 juta.

 

Menurut JPU, pertimbangan yang memberatkan tindak pidana korupsi merupakan penyakit masyarakat yang dapat merusak masa depan generasi muda. “Perbuatan terdakwa selaku Kepala Dinas Kebudayaan merupakan contoh buruk bawahannya dalam melaksanakan tugas,” ungkap JPU Catur Rianitha.

 

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/