DENPASAR-Lanjutan sidang dugaan kasus korupsi, gratifikasi, dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan terdakwa mantan Sekda Buleleng, Dewa Ketut Puspaka, 62, berjalan semakin menarik. Ini setelah JPU Kejati Bali dan Kejari Buleleng menghadirkan saksi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Saksi tersebut adalah Hafni Ferdian, pemeriksa forensik digital pada laboratorium barang bukti elektronik KPK. Pelibatan ahli forensik digital ini untuk memulihkan seluruh data dan percakapan yang sempat dihapus dari dua handphone (HP) milik saksi Devy RN Maharani.
Kepada Devy inilah Puspaka kerap meminta sejumlah uang dengan dalih memuluskan proyek. Salah satunya proyek pembangunan Bandara di Buleleng.
“Terdakwa sempat mengelak ada percakapan minta uang kepada saksi. Nah, melalui alat bukti percakapan inilah yang memperkuat bahwa memang ada permintaan uang dari terdakwa,” ujar Kasi Penkum Kejati Bali, A Luga Harlianto, kemarin (20/3).
Kehadiran saksi dari KPK juga untuk menegaskan bahwa penyitaan alat bukti elektronik sudah sah sesuai ketentuan. Permintaan mengekstrak data ke KPK diajukan jaksa sejak masa penyidikan. Dari sanalah penyidik mendapat petunjuk terang adanya permintaan sejumlah uang dari terdakwa kepada saksi
“Kehadiran saksi dari KPK juga mempertegas, bahwa alat bukti percakapan di dalam (dakwaan) itu tidak ada yang kami tambahi atau kurangi,” tukas Luga.
Dalam sidang pekan depan JPU akan menghadirkan saksi ahli pidana. JPU sendiri dalam kasus ini menyatakan memiliki bukti kuat. JPU mengantongi 192 alat bukti yang sebagian besar bentuknya berupa dokumen penting.
Alat bukti berupa dokumen itu menyangkut dugaan penerimaan uang atau gratifikasi terhadap tiga proyek. Puspaka diduga menerima uang kurang lebih Rp 16 miliar dari rencana pembangunan Bandara Bali Utara, pengurusan izin pembangunan Terminal Penerima LNG Celukan Bawang, dan penyewaan lahan tanah di Desa Yeh Sanih. Puspaka mulai ditahan sejak 18 Oktober 2021.
Di sisi lain, Puspaka berusaha keras menyangkal dirinya terlibat TPPU. Melalui kuasa hukumnya, Agus Sujoko, Anisa Defbi Mariana dkk menyebut ada aset pribadi terdakwa yang semestinya tidak disita jaksa karena tidak ada kaitannya dengan perkara.
Salah satunya tanah seluas 150 meter persegi di kawasan Dalung, Kuta Utara, Badung. Di atas lahan tersebut berdiri bangunan seluas 106 meter persegi. “Tanah di Dalung itu sudah ditempati terdakwa sejak 1987, jauh sebelum perkara ini muncul,” beber Agus.
Pengacara senior itu pun meminta penyidik lebih teliti dalam menyita aset terdakwa. Tersangka Puspaka disangka telah melakukan tindak pidana korupsi gratifikasi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Puspaka dijerat pasal berlapis Undang-Undang Tipikor dan TPPU. Puspaka diduga melanggar Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf a, Pasal 5 ayat (2), Pasal 11 UU Tipikor, dan Pasal 3 UU TPPU.