DENPASAR – Kisruh Sky Garden antara manajemen lama versus manajemen baru semakin memanas. Apalagi setelah manajemen lama memolisikan manajemen baru ke Polresta Denpasar, Rabu lalu.
Dipolisikan manajemen lama, pengelola Sky Garden yang baru akhirnya angkat bicara. Thomas Bodo Deutsch, Duda Titian Wilaras alias Kris dan I Gusti Agung Ngurah Agung membeber sejumlah fakta.
Diwakili Kris, pengelola Sky Garden yang baru, membeber tanggungan pajak hotel dan restoran (PHR) yang sejak 2015 belum dibayar manajemen lama.
“Karena ketidakmampuannya membayar tanggungan tersebut, akhirnya saham 66 persen tersebut dijual kepada saya,” papar Kris.
Dia pun buka-bukaan. Katanya, selain kesengajaan tidak membayar pajak, manajemen lama Sky Garden juga tidak pernah melunasi hutang suplaiyer dan tidak memiliki izin IMB.
Hingga kemudian club ternama ini diover kepadanya sejak 16 Januari 2019 lalu. Sayangnya, dalam proses jual beli ini Kris merasa dipermainkan oleh manajemen lama.
Dalam tudingan yang dilakukan oleh manajemen lama terhadap Kris yang diduga melakukan penipuan dimentahkan begitu saja dengan beberapa bukti kuat dan kartu merah yang dikantonginya.
Dalam minggu ini Kris bersama kuasa hukumnya berencana melaporkan balik lawannya tersebut dengan tuduhan penipuan.
Karena sebenarnya yang melakukan penipuan itu adalah manajemen lama. Sebab Sky Garden dijual kepadanya banyak tanggungan baik PHR maupun utang suplaiyer yang mencapai Rp 25 miliar.
Pajak PHR di atas Rp 9 miliar, tidak dibayar sama mereka. Tidak ada IMB, sewa tanah expired, izin operasional mati dan tidak membayar pajak videotrone.
Pihaknya membeberkan kondisi Sky Garden sebelum diover kepadanya, selain banyaknya tunggakan utang manajemen sebelumnya, rupanya pemilik saham 66 persen tersebut seseungguhnya adalah warga negara Kanada bernama Sean Brian McAloney alias Son.
Yang kemudian dinominikan ke Yuliana. Sehingga dalam proses jual beli ini Kris berurusan dengan Son. Meskipun Yuliana tertera sebagai direktur PT ESC yang menaungi Sky Garden.
Singkatnya dalam kesepakatan jual beli saham senilai 66 persen tersebut, kedua belah pihak bersedia menandatangi perjanjian di notaris yang telah di tunjuk yakni Ni Ketut Ardani,
yang ternyata juga turut dilaporkan Yuliana terkait tuduhan penyalahgunaan jabatan notaris dan pemalsuan akte otentik.
Tidak benar apa yang dituduhkan kepada pihak manajemen baru beserta Notaris. Sebab pihaknya membeli saham PT. Corporase itu di notaris dan akte pun sudah ada.
Dua akte pengesahan sudah ada. Proses yang lain-lain inilah yang dibesar-besarkan. “Persoalan si Rifan dengan kami sudah selesai.
Adapun tiga yacht yang sebenarnya seharga Rp 40 miliar tersebut sebagai pembayaran sebagian saham itu lantaran kesepakatan bersama dengan Son yang diserahkan pada 17 Januari 2019 lalu di Singapura,” katanya.
Son sendiri saat itu berkeinginan membangun bisnis carter kapal dengan yacht tersebut, sehingga pihak Son tertarik mau menerima pembayaran dengan yacth tersebut.
Tudingan pihaknya tidak menyelesaikan pembayaran sisa saham 66 persen tersebut juga diakuinya keliru besar.
Lantaran dalam kesepakatan awal dari harga saham Rp 40 miliar (saham 66 persen) memang pembayaran dilakukan dengan uang Rp 5 miliar sebagai tanda jadi dan 3 unit yacht. Sisanya akan dicicil 10 kali.
“Kami itu sudah membayar langsung ke Son. Karena dia kan yang punya saham itu. Yuliana itu kan nomini, sehingga urusannya dengan Yuliana itu masalah akte.
Memang sudah disetting supaya begini. Ini cara mainnya dia. Saat saya mau bayar cicilan saja ditolak,” tegasnya.
Yang lebih mengejutkan lagi, rupanya seminggu sejak kesepakatan terhitung dari tanggal 16 Januari 2019 lalu, Kris mengelola Sky Garden tanpa ada hasil.
Berbagai file dan data penting di komputer digembok, termasuk data karyawan dan suplaiyer. Pun kantor digembok dan semua
pendapatan hasil penjualan di Sky Garden langsung masuk ke rekening Bank Danamon yang kini dipegang manajemen lama dan di blokir.
Sehingga pihaknya tidak kecipratan uang hasil tersebut bahkan untuk melunasi utang ke suplaiyer sebelumnya.
Padahal menurutnya dalam perjanjian jual beli tersebut dengan pihak ketiga, maksimal pembayaran hanya Rp 40 miliar.
Dalam jual beli tersebut, Kris tidak pernah diijinkan untuk mengetahui terkait pajak, ijin dan lain sebagainya.
Hanya saja dalam perjanjian itu tertera jika ada pembayaran yang tidak tersangkut dengan perjanjian boleh dikeluarkan dari pembayaran.
Kenyataannya, kondisi tidak demikian. Sewaktu transaksi tanggal 16 Januari tersebut pihaknya tidak diberitahukan terkait izin yang sudah mati.
Kris sendiri menuding kelicikan Son dalam jual beli Club ini. Lantaran uang pendapatan dari Sky Garden seluruhnya diambil Son untuk diinvestasikan ke PT. NBK yang baru dibangun oleh Son.
Yakni, uang yang harusnya digunakan untuk membayar hutang-hutang tanggungan tersebut. “Selain itu, seluruh orang Son yang merupakan pekerja asing juga ditarik semua dari Sky Garden,’ tuturnya.