DENPASAR– Sidang lanjutan suap Dana Insentif Daerah (DID) Kabupaten Tabanan menghadirkan saksi kunci Yaya Purnomo. Mantan pejabat Kementerian Keuangan (Kemenkeu) itu bersaksi untuk terdakwa I Dewa Nyoman Suratmaja (mantan staf khusus Bupati Ni Putu Eka Wiryastuti).
Tidak seperti saksi lainnya yang tampil sopan dengan kemeja atau baju batik, saksi Yaya tampil nyentrik. Dia memakai kaus oblong hitam bergambar tengkorak dengan lengan tergulung. Yaya pun terlihat tenang dan lancar dalam menjawab semua pertanyaan jaksa KPK.
Banyak hal menarik yang terungkap dalam sidang luring di Pengadilan Tipikor Denpasar, Kamis kemarin (21/8). Salah satunya uang suap yang diberi kode dana “adat istiadat”. “Apa maksud dari dana “adat istiadat” ini saksi?” tanya jaksa KPK. “Ya, dana untuk begitu (pelicin, Red), untuk mengawal permohonan bantuan DID Tabanan,” jawab Yaya.
Menurutnya, ide meminta dana itu tidak murni datang dari dirinya. Tapi dari saksi Rifa Surya (salah satu pejabat di Kementerian Keuangan). Terdakwa Dewa Suratmaja menyetujui permintaan dana “adat istiadat” tersebut.
Yaya dan Rifa meminta dana “adat istiadat” sebesar 2,5 persen dari alokasi DID yang diterima Kabupaten Tabanan. Sebagai tanda jadi, Yaya dan Rifa meminta Rp 500 juta. Namun, oleh terdakwa dinego Rp 300 juta. Mereka bersepakat ada tanda jadi Rp 300 juta.
Uang adat istiadat tahap pertama itu diserahkan sekitar Agustus 2017 di Restoran Sunda di samping Hotel Ibis Budget, Cikini, Jakarta.
“Kalau pertemuan pertama di Pujasera Metropole Cikini, Jakarta Pusat belum ada eksekusi (penyerahan uang). Baru pada pertemuan kedua di restoran Sunda,” ungkap mantan Kasi Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Permukiman Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan itu.
Pertemuan berikutnya juga terjadi di Jakarta antara terdakwa Dewa Wiratmaja dengan Yaya Purnomo sekitar Oktober 2017 di Starbuck, Sarinah, Jakarta Pusat. Namun, saat itu terdakwa meminta tenggat waktu untuk membayarkan uang yang disepakati.
Penyerahan uang “adat istiadat” tahap kedua baru dilakukan pada sekitar November 2017 di Pujasera Metropole Cikini sebesar Rp 300 juta dari terdakwa Dewa Wiratmaja.
“Uang Rp 300 juta itu lantas saksi apakan?” tanya jaksa KPK. Yaya menjawab uang tersebut dibagi rata dengan Rifa Surya. “Nilainya sama (masing-masing Rp 150 juta),” ucap Yaya.
Selanjutnya penyerahan “adat istiadat” sebesar 2,5 persen dilakukan pada Desember 2017 di Pujasera Metropole, Cikini, Jakarta Pusat. Kali ini uang berupa dolar Amerika (USD). “Pak Dewa ngasih saya tas cokelat di dalamnya berisi uang dolar ada tulisannya USD 55.300,” ungkap Yaya.
Uang itu lantas disimpan Yaya di dalam apartemen yang disewanya bersama Rifa Surya. Sementara Rifa saat itu sedang umroh. Yaya kemudian memotret uang tersebut dan melaporkan kepada Rifa. “Rifa menjawab oke,” imbuh Yaya.
Jaksa kembali mengejar uang tersebut lalu digunakan untuk apa saja. Yaya mengatakan uang dibagi rata dengan Rifa. Pembagian dilakukan setelah Rifa pulang dari umroh. “Kata saudara Rifa, uang juga akan dibagikan pada tim di Kementerian Keuangan,” imbuhnya.
Namun, saat dikejar jaksa siapa saja timnya, Yaya mengaku tidak tahu. Dalam pengakuannya, Yaya menyatakan tidak pernah bertemu dengan Eka Wiryastuti. Hanya Dewa yang mengaku sebagai orang kepercayaan dan disuruh Eka Wiryastuti.
Dengan adanya dana “adat istiadat” itu urusan DID Tabanan menjadi lancar. Dari tahun sebelumnya mendapat Rp 7,5 miliar melonjak menjadi Rp 51 miliar. Bahkan, sebelum DID cair, Rifa sempat membocorkan jika Tabanan diproyeksikan mendapatkan DID sebesar Rp 46 miliar pada anggaran 2018. Saat cair, tidak hanya Rp 46 miliar, tapi Rp 51 miliar.
Yang menarik saat jaksa menanyakan apakah sebelumnya Yaya pernah meminta dana “adat istiadat” kepada pemerintah daerah lain yang mengurus dana perimbangan ke Kementerian Keuangan. Pertanyaan itu dijawab diplomatis oleh Yaya.“Antara ada dan tiada, Pak,” kata Yaya. Jaksa mengejar maksud perkataan tersebut. “Kalau ada ya, alhamdulilah, kalau tidak ada, ya tidak apa-apa,” cetusnya. Jawaban itu membuat seisi ruang sidang tersenyum. (san)