BANGLI – Grasi dari presiden Jokowi – belakangan diralat Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menjadi remisi – terhadap terpidana pembunuh wartawan Jawa Pos Radar Bali, Nyoman Susrama, disambut baik oleh keluarganya.
Sang kakak, yang mantan bupati Bangli, Nengah Arnawa, mengaku sudah sepantasnya adiknya memperoleh ampunan dari negara.
Pihaknya, bahkan tetap membantah Susrama membunuh wartawan Jawa Pos Radar Bali AA Gde Bagus Narendra Prabangsa
“Lima tahun saja sesungguhnya dari seumur hidup menjadi sementara. Itu pantas dikurangi,” ujar Arnawa, di rumahnya, kemarin.
Kata Arnawa, pihak keluarga menyambut baik ampunan dari pemerintah yang sudah diperjuangkan sejak lama itu.
“Negara kita masih tebang pilih. Kalau dulu saya yakini hukum niskala (tak terlihat, red) yang adil. Baru era Jokowi ada keadilan. Kalau dulu, keadilan hampir tidak ada. Keadilan hanya di niskala,” jelasnya.
Kata dia, Susrama telah menjalani hukuman sejak tahun 2009 lalu. “Sudah 10 tahun jalan. Jadi sebentar lagi Nyoman (Susrama) pulang, kalau potong remisi dan potong lainnya. Itu sudah sepantasnya,” terang Arnawa.
Ketika bebas nanti, pihaknya belum ada niat kembali lagi ke arah politik. “Keluarga tidak puas, walaupun adik bebas, tiang (saya, red) belum puas.
Termasuk dalang, eksekutor. Siapa pembunuh aslinya, biar Tuhan memberikan jalan dan negara kita tidak semena-mena memvonis orang,” ujarnya.
Arnawa mengaku akan terus mencari keadilan. “Ini nama baik keluarga, kok dibilang pembunuhan,” kilahnya. Kata dia, kasus yang menimpa dirinya dan adiknya merupakan musibah.
“Ini sama dengan Antasari (mantan Ketua KPK, red) karena memperkarakan warangnya bapaknya SBY. Ada krimininalisasi, sama ini hampir bersamaan dengan adik saya. Ini politis semuanya,” tegasnya.
Arnawa pun menampik beberapa hal yang sempat terjadi saat kejadian pembunuhan itu. “Masak kakaknya yang bupati membunuh orang di rumah (rumah Susrama, red)
dengan keponakan sekaligus ipar. Lebih-lebih ada mertuanya, Pak Sugita bekas lurah ada di rumah di Petak,” kelitnya.
Mengenai perahu atau jukung yang digunakan membuang jasad korban ke laut, disebut tidak masuk akal. “Katanya jukung dipakai bawa, masak jukung bisa muat 9-12 orang,” ujarnya.
Disamping itu, ahli forensik dari RS Cipto Mangunkusumo, menyatakan korban meninggal di laut, bukan di darat.
“Karena di paru-paru ada pasir putih. Itu berarti meninggal di laut. Di sidang, di bilang meninggal di Petak (rumah Susrama, red). Ini seharusnya sudah bebas,” paparnya.
Arnawa juga menunjukkan sebuah mobil Toyota Kijang yang terparkir di garase rumahnya. “Mobil itu masih saya pakai sehari-hari. Kalau orang Bali, mobil bekas mayat nggak mau bawa,” ujarnya.
Lalu bagaimana dengan proses persidangan di pengadilan?. “Orang yang mengadili manusia, apa malaikat mengadili? Masak darah, kalau karpet ada darah kok dibiarin karpet
oleh pak Man (Susrama, red). Semua orang ada. Sampai sekarang mereka masih ada. Mereka nggak dijadikan saksi,” tukasnya.