26.4 C
Jakarta
13 November 2024, 5:41 AM WIB

Putu Artha: Kasus Kampung Jawa dan Ngaben Sudaji Bukan Soal Agama

DENPASAR – Kasus membangunkan orang sahur di akhir bulan Ramadhan, Sabtu (23/5) lalu yang dilakukan sekelompok pemuda di Dusun Wanasari, Kampung Jawa, Denpasar, memancing polemik.

Agar ulah segelintir oknum yang menyalakan flare, kembang api, dan menabuh bedug tidak menimbulkan perpecahan di masyarakat, aparat berwenang diharapkan bisa berbuat adil dan bijaksana.

“Aparat keamanan semoga bisa bergerak cepat dalam memproses dan menyelesaikan kedua kasus ini secara adil dan setara agar kegaduhan dan rasa nyaman dan keadilan dapat dirasakan masyarakat,” ucap mantan Komisioner KPU RI, I Gusti Putu Artha.

Putu Artha menyebut, kasus ngaben Sudaji dan Kampung Jawa bukan kasus menyoal agama dan SARA.

Keduanya murni kasus hukum yang kebetulan saja objeknya berkaitan dengan pelaksanaan ajaran agama di satu sisi dan penegakan hukum atas penanganan Covid – 19 di sisi lain.

“Jika netizen yang rakyat Bali banyak protes, kritik keras dan berteriak di media sosial, mereka sedang tidak mempersalahkan dan tidak marah terhadap semeton “nyame Slam” (saudara Islam).

Mereka sedang marah pada potensi terjadinya ketidakadilan dalam penanganan dua kasus hukum bernuansa pelaksanaan

ajaran agama yang berbeda. Sekali lagi, rasa keadilan itu yang menyentuh hati terdalam kita semua,” tandasnya.

Putu Artha menekankan pada posisi ini aparat penegak hukum wajib bertindak adil dan setara tanpa melihat latar belakang SARA dalam penegakan hukum kasus Kampung Jawa dan Sudaji.

Aparat penegak hukum harus sama seriusnya memperlakukan kasus Kampung Jawa dan Sudaji. Sama-sama diperiksa secara serius dan jika memang salah dan ada tersangka ditersangkakan.

“Bagi saya dengan melihat video, maka unsur-unsur pelanggaran Perwali soal PKM, penggunaan kembang api dan lain-lain

telah mengarah pada gangguan ketertiban atas pelaksanaan PKM di Kota Denpasar dan pelanggaran hukum lain,” urainya.

Ditambahkannya, semua pihak wajib memaafkan kedua kasus ini: Sudaji dan Kampung Jawa. Tapi, demi wibawa hukum kedua kasus harus diproses sampai hukum menyatakan yang bersangkutan bersalah atau tidak.

“Tidak benar juga jika dilakukan barter kasus. Sudaji damai kasus Kampung Jawa juga damai. Ini sama saja akan menginjak wibawa hukum.

Hukumlah yang harus dengan bukti-bukti yang ada menyatakan kasus Sudaji dan Kampung Jawa bersalah atau tidak di mata hukum,” tegasnya.

Lebih lanjut, ungkap Putu Artha semua pihak terutama warga Bali jangan terprovokasi menjadikan kasus Sudaji dan Kampung Jawa sebagai kasus SARA.

Semua pihak harus jernih melihat bahwa ini kasus hukum dan soal tegaknya keadilan. Dalam sejarah hubungan antar umat beragama di Bali tak ada cerita soal keributan berlatar belakang agama.

“Kita semua sangat paham soal ini. Karena itu, jika ada yang menyebutkan kasus-kasus ini berkaitan dengan agama dapat dipastikan yang bersangkutan sedang melakukan provokasi. Jangan terpancing,” sarannya. 

DENPASAR – Kasus membangunkan orang sahur di akhir bulan Ramadhan, Sabtu (23/5) lalu yang dilakukan sekelompok pemuda di Dusun Wanasari, Kampung Jawa, Denpasar, memancing polemik.

Agar ulah segelintir oknum yang menyalakan flare, kembang api, dan menabuh bedug tidak menimbulkan perpecahan di masyarakat, aparat berwenang diharapkan bisa berbuat adil dan bijaksana.

“Aparat keamanan semoga bisa bergerak cepat dalam memproses dan menyelesaikan kedua kasus ini secara adil dan setara agar kegaduhan dan rasa nyaman dan keadilan dapat dirasakan masyarakat,” ucap mantan Komisioner KPU RI, I Gusti Putu Artha.

Putu Artha menyebut, kasus ngaben Sudaji dan Kampung Jawa bukan kasus menyoal agama dan SARA.

Keduanya murni kasus hukum yang kebetulan saja objeknya berkaitan dengan pelaksanaan ajaran agama di satu sisi dan penegakan hukum atas penanganan Covid – 19 di sisi lain.

“Jika netizen yang rakyat Bali banyak protes, kritik keras dan berteriak di media sosial, mereka sedang tidak mempersalahkan dan tidak marah terhadap semeton “nyame Slam” (saudara Islam).

Mereka sedang marah pada potensi terjadinya ketidakadilan dalam penanganan dua kasus hukum bernuansa pelaksanaan

ajaran agama yang berbeda. Sekali lagi, rasa keadilan itu yang menyentuh hati terdalam kita semua,” tandasnya.

Putu Artha menekankan pada posisi ini aparat penegak hukum wajib bertindak adil dan setara tanpa melihat latar belakang SARA dalam penegakan hukum kasus Kampung Jawa dan Sudaji.

Aparat penegak hukum harus sama seriusnya memperlakukan kasus Kampung Jawa dan Sudaji. Sama-sama diperiksa secara serius dan jika memang salah dan ada tersangka ditersangkakan.

“Bagi saya dengan melihat video, maka unsur-unsur pelanggaran Perwali soal PKM, penggunaan kembang api dan lain-lain

telah mengarah pada gangguan ketertiban atas pelaksanaan PKM di Kota Denpasar dan pelanggaran hukum lain,” urainya.

Ditambahkannya, semua pihak wajib memaafkan kedua kasus ini: Sudaji dan Kampung Jawa. Tapi, demi wibawa hukum kedua kasus harus diproses sampai hukum menyatakan yang bersangkutan bersalah atau tidak.

“Tidak benar juga jika dilakukan barter kasus. Sudaji damai kasus Kampung Jawa juga damai. Ini sama saja akan menginjak wibawa hukum.

Hukumlah yang harus dengan bukti-bukti yang ada menyatakan kasus Sudaji dan Kampung Jawa bersalah atau tidak di mata hukum,” tegasnya.

Lebih lanjut, ungkap Putu Artha semua pihak terutama warga Bali jangan terprovokasi menjadikan kasus Sudaji dan Kampung Jawa sebagai kasus SARA.

Semua pihak harus jernih melihat bahwa ini kasus hukum dan soal tegaknya keadilan. Dalam sejarah hubungan antar umat beragama di Bali tak ada cerita soal keributan berlatar belakang agama.

“Kita semua sangat paham soal ini. Karena itu, jika ada yang menyebutkan kasus-kasus ini berkaitan dengan agama dapat dipastikan yang bersangkutan sedang melakukan provokasi. Jangan terpancing,” sarannya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/