33.7 C
Jakarta
30 Oktober 2024, 19:56 PM WIB

Dari Sidang Lanjutan Korupsi DID Tabanan

Terdakwa Dewa Wiratmaja Ngaku Butuh “Peluru” untuk Melobi

DENPASAR– Jaksa KPK terus menggali peran terdakwa I Dewa Nyoman Wiratmaja sebagai staf khusus (stafsus) mantan Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti. Ada tiga orang saksi yang dihadirkan KPK dalam sidang di Pengadilan Tipikor Denpasar, Kamis (30/6).

 

Saksi pertama adalah Ida Bagus Wiratmaja, 48, (Kepala Bappeda Litbang Tabanan); Made Dedy Darma Saputra, 40, (Sekretaris Bappeda Litbang); dan I Putu Eka Nurcahyadi (Ketua Komisi I DPRD Tabanan dan anggota Banggar DPRD Tabanan).

 

Ketiga saksi kompak menyebut kenal terdakwa Dewa Suratmaja setelah dikenalkan Bupati Eka dalam beberapa pertemuan. Sebelum menjabat stafsus keuangan dan ekonomi bupati, terdakwa menjabat dewan pengawas RSUD Tabanan.

 

Pengakuan menarik disampaikan saksi Eka Nurcahyadi. Dijelaskan, pada 16 Agustus 2017 dirinya menelepon terdakwa untuk menanyakan tentang defisit anggaran yang dialami Pemkab Tabanan. Sebagai anggota Banggar dirinya perlu tahu kondisi keuangan daerah.

 

“Saat itu Pak Dewa (terdakwa) menjawab sedang diusahakan, katanya ada orang pusat yang akan membantu mengurus DID untuk Tabanan,” kata Eka Nurcahyadi di depan majelis hakim yang diketuai I Nyoman Wiguna.

 

Politikus asal Marga itu lantas bertanya apakah harus ada lobi terhadap orang pusat, terdakwa mengiyakan. Bahkan, terdakwa menyebut harus pakai “peluru” untuk melobi. Nah, untuk mempertegas percakapan saksi dan terdakwa, jaksa KPK memutar rekaman percakapan di tengah persidangan. “Iya, harus pakai peluru,” kata Eka Nurcahyadi menirukan ucapan terdakwa.

 

Jaksa KPK langsung mengejar apa yang dimaksud dengan “peluru” dalam percakapan itu. Eka Nurcahyadi sempat gelagapan. “Sepengetahuan saksi, apakah yang dimaksud “peluru” oleh terdakwa?” cecar jaksa. “Mungkin maksudnya usaha,” ucap Eka Nurcahyadi.

 

Di luar dugaan, jawaban itu membuat terdakwa Dewa tersenyum lebar. Dewa sampai harus membuka maskernya karena menertawakan jawaban Eka Nurcahyadi.

 

Sementara itu, saksi Wiratmaja mengatakan, dalam penyusunan anggaran dan keuangan daerah, bupati meminta perangkat daerah agar koordinasi dengan terdakwa.

 

Wiratmaja mengungkapkan, setiap tahun Kabupaten Tabanan selalu mengalami defisit anggaran. Defisit itu biasanya ditutupi dana Silpa, pengurangan belanja atau penundaan pekerjaan.

 

Jaksa KPK lantas menanyakan penyebab defisit anggaran pada saksi. “Defisit terjadi karena kemampuan keuangan terbatas, sedangkan struktur organisasi gemuk dan belanjanya kebanyakan,” jelas pria yang menjabat Kepala Bappeda Litbang sejak 2016 itu.

 

Wiratmaja mengaku sering diskusi dan minta pertimbangan terhadap terdakwa. “Kenapa terdakwa Dewa ini seakan-akan mendapat keistimewaan dari Bu Eka? Sementara dia tidak termasuk dalam struktur organisasi daerah,” cecar jaksa KPK.

 

Saksi mengaku tidak tahu. Dia hanya menjalankan perintah bupati agar berkoordinasi dengan terdakwa dalam hal penyusunan anggaran. Puncaknya pada 2017 saat terdakwa menyuruh saksi membuat proposal permohonan DID tahun anggaran 2018.

 

Saat itu, tutur Wiratmaja, terdakwa bercerita sudah bertemu dengan beberapa pejabat keuangan. Terdakwa menyebutkan nama Yaya Purnomo yang akan membantu mengawal DID untuk Tabanan. Terdakwa minta agar saksi membuat proposal bantuan DID sebesar Rp 65 miliar.

 

Menurut saksi, proposal itu sejatinya tidak diperlukan karena secara normatif tidak diperlukan permohonan untuk mendapatkan bantuan DID dari pemerintah pusat.

 

DID diberikan setiap tahun secara otomatis berdasar kriteria yang sudah ditentukan, salah satunya penilaian Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). “Untuk DID sifatnya pemda itu pasif, tidak perlu proposal atau usulan,” jelas saksi.

 

Wiratmaja lantas menugaskan Dedy untuk membuat proposal yang diminta terdakwa. Dalam tiga hari proposal sudah jadi. Proposal lantas diserahkan sekretaris pribadi Bupati Eka.

 

Jaksa KPK menanyakan percakapan antara terdakwa dengan saksi yang menyebut dibutuhkan biaya khusus untuk mengawal usulan DID. Terdakwa juga sempat membahas rencana pertemuan dengan rekanan di rumah keluarga besar Bupati Eka di Banjar Tegeh, Baturiti, Tabanan.

 

Saksi membenarkan percakapan itu. Namun, Wiratmaja mengaku tidak tahu persis apa yang dimaksud dana untuk mengawal DID. Yang ajaib, terdakwa sudah berani memastikan Tabanan bakal mendapat DID besar dari pusat pada tahun anggaran 2018.

 

“Katanya Pak Dewa sudah bertemu Pak Yaya lewat jalur Pak Baharulah Akbar (Wakil Ketua BPK RI). Katanya Tabanan akan dapat lebih besar dari tahun sebelumnya,” ungkap saksi.

 

Dan, ucapan terdakwa terbukti. Pada Oktober 2017 diumumkan Tabanan mendapat alokasi DID sebesar Rp 51 miliar untuk tahun anggaran 2018. Jumlah tersebut melesat jauh dibandingkan tahun sebelumnya hanya mendapat Rp 7,5 miliar.

 

Sementara itu, saksi Dedy mengakui dirinya yang membuat proposal. “Saya menyusun proposal DID selama tiga hari. Setelah itu saya serahkan ke meja sekpri bupati. Saya tidak tahu ditandatangani atau tidak,” ucapnya.

 

Kembali pada saksi Eka Nurcahyadi. Sebagai anggota Banggar DPRD Tabanan, dia mengaku kenal terdakwa sebagai stafsus melalui kegiatan-kegiatan pemerintah daerah. Eka Nur juga tahu kalau terdakwa banyak memberikan masukan terhadap penyusunan APBD. “Yang kami tahu terdakwa punya akses langsung ke bupati,” terang Eka Nur.

 

Bahkan, di kalangan dewan, sudah menjadi rahasia umum jika ada kepentingan dengan bupati yang berkaitan dengan anggaran agar disampaikan melalui terdakwa secara informal. (san)

DENPASAR– Jaksa KPK terus menggali peran terdakwa I Dewa Nyoman Wiratmaja sebagai staf khusus (stafsus) mantan Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti. Ada tiga orang saksi yang dihadirkan KPK dalam sidang di Pengadilan Tipikor Denpasar, Kamis (30/6).

 

Saksi pertama adalah Ida Bagus Wiratmaja, 48, (Kepala Bappeda Litbang Tabanan); Made Dedy Darma Saputra, 40, (Sekretaris Bappeda Litbang); dan I Putu Eka Nurcahyadi (Ketua Komisi I DPRD Tabanan dan anggota Banggar DPRD Tabanan).

 

Ketiga saksi kompak menyebut kenal terdakwa Dewa Suratmaja setelah dikenalkan Bupati Eka dalam beberapa pertemuan. Sebelum menjabat stafsus keuangan dan ekonomi bupati, terdakwa menjabat dewan pengawas RSUD Tabanan.

 

Pengakuan menarik disampaikan saksi Eka Nurcahyadi. Dijelaskan, pada 16 Agustus 2017 dirinya menelepon terdakwa untuk menanyakan tentang defisit anggaran yang dialami Pemkab Tabanan. Sebagai anggota Banggar dirinya perlu tahu kondisi keuangan daerah.

 

“Saat itu Pak Dewa (terdakwa) menjawab sedang diusahakan, katanya ada orang pusat yang akan membantu mengurus DID untuk Tabanan,” kata Eka Nurcahyadi di depan majelis hakim yang diketuai I Nyoman Wiguna.

 

Politikus asal Marga itu lantas bertanya apakah harus ada lobi terhadap orang pusat, terdakwa mengiyakan. Bahkan, terdakwa menyebut harus pakai “peluru” untuk melobi. Nah, untuk mempertegas percakapan saksi dan terdakwa, jaksa KPK memutar rekaman percakapan di tengah persidangan. “Iya, harus pakai peluru,” kata Eka Nurcahyadi menirukan ucapan terdakwa.

 

Jaksa KPK langsung mengejar apa yang dimaksud dengan “peluru” dalam percakapan itu. Eka Nurcahyadi sempat gelagapan. “Sepengetahuan saksi, apakah yang dimaksud “peluru” oleh terdakwa?” cecar jaksa. “Mungkin maksudnya usaha,” ucap Eka Nurcahyadi.

 

Di luar dugaan, jawaban itu membuat terdakwa Dewa tersenyum lebar. Dewa sampai harus membuka maskernya karena menertawakan jawaban Eka Nurcahyadi.

 

Sementara itu, saksi Wiratmaja mengatakan, dalam penyusunan anggaran dan keuangan daerah, bupati meminta perangkat daerah agar koordinasi dengan terdakwa.

 

Wiratmaja mengungkapkan, setiap tahun Kabupaten Tabanan selalu mengalami defisit anggaran. Defisit itu biasanya ditutupi dana Silpa, pengurangan belanja atau penundaan pekerjaan.

 

Jaksa KPK lantas menanyakan penyebab defisit anggaran pada saksi. “Defisit terjadi karena kemampuan keuangan terbatas, sedangkan struktur organisasi gemuk dan belanjanya kebanyakan,” jelas pria yang menjabat Kepala Bappeda Litbang sejak 2016 itu.

 

Wiratmaja mengaku sering diskusi dan minta pertimbangan terhadap terdakwa. “Kenapa terdakwa Dewa ini seakan-akan mendapat keistimewaan dari Bu Eka? Sementara dia tidak termasuk dalam struktur organisasi daerah,” cecar jaksa KPK.

 

Saksi mengaku tidak tahu. Dia hanya menjalankan perintah bupati agar berkoordinasi dengan terdakwa dalam hal penyusunan anggaran. Puncaknya pada 2017 saat terdakwa menyuruh saksi membuat proposal permohonan DID tahun anggaran 2018.

 

Saat itu, tutur Wiratmaja, terdakwa bercerita sudah bertemu dengan beberapa pejabat keuangan. Terdakwa menyebutkan nama Yaya Purnomo yang akan membantu mengawal DID untuk Tabanan. Terdakwa minta agar saksi membuat proposal bantuan DID sebesar Rp 65 miliar.

 

Menurut saksi, proposal itu sejatinya tidak diperlukan karena secara normatif tidak diperlukan permohonan untuk mendapatkan bantuan DID dari pemerintah pusat.

 

DID diberikan setiap tahun secara otomatis berdasar kriteria yang sudah ditentukan, salah satunya penilaian Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). “Untuk DID sifatnya pemda itu pasif, tidak perlu proposal atau usulan,” jelas saksi.

 

Wiratmaja lantas menugaskan Dedy untuk membuat proposal yang diminta terdakwa. Dalam tiga hari proposal sudah jadi. Proposal lantas diserahkan sekretaris pribadi Bupati Eka.

 

Jaksa KPK menanyakan percakapan antara terdakwa dengan saksi yang menyebut dibutuhkan biaya khusus untuk mengawal usulan DID. Terdakwa juga sempat membahas rencana pertemuan dengan rekanan di rumah keluarga besar Bupati Eka di Banjar Tegeh, Baturiti, Tabanan.

 

Saksi membenarkan percakapan itu. Namun, Wiratmaja mengaku tidak tahu persis apa yang dimaksud dana untuk mengawal DID. Yang ajaib, terdakwa sudah berani memastikan Tabanan bakal mendapat DID besar dari pusat pada tahun anggaran 2018.

 

“Katanya Pak Dewa sudah bertemu Pak Yaya lewat jalur Pak Baharulah Akbar (Wakil Ketua BPK RI). Katanya Tabanan akan dapat lebih besar dari tahun sebelumnya,” ungkap saksi.

 

Dan, ucapan terdakwa terbukti. Pada Oktober 2017 diumumkan Tabanan mendapat alokasi DID sebesar Rp 51 miliar untuk tahun anggaran 2018. Jumlah tersebut melesat jauh dibandingkan tahun sebelumnya hanya mendapat Rp 7,5 miliar.

 

Sementara itu, saksi Dedy mengakui dirinya yang membuat proposal. “Saya menyusun proposal DID selama tiga hari. Setelah itu saya serahkan ke meja sekpri bupati. Saya tidak tahu ditandatangani atau tidak,” ucapnya.

 

Kembali pada saksi Eka Nurcahyadi. Sebagai anggota Banggar DPRD Tabanan, dia mengaku kenal terdakwa sebagai stafsus melalui kegiatan-kegiatan pemerintah daerah. Eka Nur juga tahu kalau terdakwa banyak memberikan masukan terhadap penyusunan APBD. “Yang kami tahu terdakwa punya akses langsung ke bupati,” terang Eka Nur.

 

Bahkan, di kalangan dewan, sudah menjadi rahasia umum jika ada kepentingan dengan bupati yang berkaitan dengan anggaran agar disampaikan melalui terdakwa secara informal. (san)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/