29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 1:44 AM WIB

Jadi Tongkrongan Anak-anak Millenial, Harus Rajin Bikin Inovasi Produk

Menjamurnya bisnis kedai kopi di Singaraja tidak hanya mengikuti tren kalangan millennial yang mulai suka dengan kopi, tapi murni karena ada peluang bisnis. Seperti apa?

JULIADI, Singaraja
BANYAK cafe belum menyajikan kopi yang sebenarnya. Mulai dari proses pembuatan hingga kopi tersebut dapat dinikmati secara utuh.

Peluang itu pula yang dilirik Barak coffee yang berada di Jalan Sahadewa No. 9A Singaraja yang dirintis sejak tahun 2012.

Pemilik Barak Coffee Aditya, 34, bersama istrinya Luh Putu Murti, 33, mengaku tertarik membuka usaha kedai kopi karena melihat peluang pasar di Singaraja.

Banyak café-café kopi, namun harga menggila mencapai puluhan ribu. Tak cukup buat kantong anak muda Singaraja. Apalagi anak muda Singaraja senang nongkrong hingga tengah malam.

“Alasan itulah saya buka coffee shop bersama suami. Kebetulan juga suami malang melintang di dunia kopi. Terlebih lagi suami lama jadi barista di Semarang,” kata Luh Putu Murti.

Coffee shop yang dia buka cukup menjangkau kantong anak muda, anak kuliahan, pelajar SMA dan masyarakat kalangan menengah ke bawah.

Harga kopi di Barak Coffee cuma dibanderol Rp 5 ribu sampai Rp 15 ribu. Menurut Murti, untuk Singaraja mulai ramai kedai kopi sejak 2017 lalu dan menjadi tren tempat tongkrongan anak muda saat malam minggu tiba.

Sudah ada sekitar puluhan kedai kopi saat ini. “Kalau boleh jujur kedai kopi kami yang mengawali pertama kali. Hingga diikuti membuka oleh kedai kopi lainnya,” ucapnya.

Diakui Luh Murti, membuka kedai kopi dengan nama Barak Coffee dari awal banyak yang meragukan.

“Banyak yang menilai usaha kami tidak akan bertahan lama. Beli aja kopi aja di warung satu sachet Rp 2 ribuan cukup diseduh dapat kopi,” ungkap Luh Murti.

Meski ada penilaian seperti itu tak membuat dia harus setengah-setengah menekuni bisnis kopi.

Instens di pemasaran dan harus ada inovasi baru soal kopi itu yang dia pegang.  Sehingga varian apa saja bisa ditawarkan kepada penikmat kopi yang datang.

“Kami tidak kaku lebih banyak belajar rasa kopi dari pelanggan. Kadang mereka pelanggan coba disuruh buat kopi dengan rasa berbeda,” ujarnya.

Untuk bahan kopi masih menggunakan kopi lokal asal daerah Gitgit, Buleleng dengan jenis robusta dan arabika.

“Dua varian kopi ini kami coba ramu atau racik sehingga mampu menghasilkan beberapa varian rasa kopi. Sementara penikmat kopi Singaraja masih dengan lidah kopi manis,” tuturnya.

Kini anak muda Singaraja tidak hanya tahu soal kopi saja. Tetapi tahu varian dan jenis kopi setalah kedai kopi mulai ada.

Bahkan, kopi tidak hanya dapat disajikan dalam bentuk kopi bisa buat es, dicampur es krim dan lainnya. “Ini kan lagi tren di kedai warung,” bebernya.

“Sedangkan untuk pelanggan setiap hari 50 orang lebih. Karena kami buka mulai pukul 13.00 hingga pukul 24.00 malam. Dan untuk omset dari kedai kopi ring kami Rp 20 juta perbulan,” pungkasnya.

Di sisi lain Anak Agung Ngurah Tata Pinandhika, 24, tahun yang memiliki kedai kopi dengan nama Minimale Kopi mengatakan, kini banyak kedai kopi di Singaraja.

Menurutnya, kedai kopi bukan sebatas tempat ngopi biasa. Tetapi menjadi lokasi tempat tongkrongan kalangan millenial hingga tengah malam sambil menikmati bermain game.

“Saya buka kedai kopi, tidak ikut-ikutan. Jadi usai kuliah di Surabaya, balik kampung ke Singaraja, tidak melihat lokasi kumpul anak muda.

Sehingga coba buka kedai kopi. Belum lama sih baru buka saya tahun 2018 lalu,” tuturnya.  

Diakui pria lulusan salah satu kampus di Surabaya, tren kopi memang ada masanya. Sebagai pelaku usaha kedai kopi, Tata melihat kedai kopi akan bertahan lama seiring pergeseran waktu.

Karena anak muda dan masyarakat yang ke kedai kopi, bukan menyajikan kopi. “Nyatanya orang-orang yang datang ke coffee shop, bukan mencari kopi.

Tetapi mereka meminum kopi yang sudah diolah dalam bentuk lain. Misalnya es kopi susu gula aren dan olahan kopi lainnya,” ucapnya.

Meski kian menjamur kedai di Singajara sebagai pelaku bisnis kopi itu hal yang wajar. Namun tetap harus mempertahankan kualitas brand.

“Kalau saya banyak diskusi dengan teman diluar dari Singaraja, soal menu kopi baru. Kemudian banyak inovasi dan hal baru. Khusus saya seminggu 2 menu baru harus ada Sehingga pengunjung tertarik,” ucapnya.

Tata menambahkan pelanggan masih dominasi kalangan anak muda. Rata-rata setiap hari 35 sampai 40 orang. (*)


Menjamurnya bisnis kedai kopi di Singaraja tidak hanya mengikuti tren kalangan millennial yang mulai suka dengan kopi, tapi murni karena ada peluang bisnis. Seperti apa?

JULIADI, Singaraja
BANYAK cafe belum menyajikan kopi yang sebenarnya. Mulai dari proses pembuatan hingga kopi tersebut dapat dinikmati secara utuh.

Peluang itu pula yang dilirik Barak coffee yang berada di Jalan Sahadewa No. 9A Singaraja yang dirintis sejak tahun 2012.

Pemilik Barak Coffee Aditya, 34, bersama istrinya Luh Putu Murti, 33, mengaku tertarik membuka usaha kedai kopi karena melihat peluang pasar di Singaraja.

Banyak café-café kopi, namun harga menggila mencapai puluhan ribu. Tak cukup buat kantong anak muda Singaraja. Apalagi anak muda Singaraja senang nongkrong hingga tengah malam.

“Alasan itulah saya buka coffee shop bersama suami. Kebetulan juga suami malang melintang di dunia kopi. Terlebih lagi suami lama jadi barista di Semarang,” kata Luh Putu Murti.

Coffee shop yang dia buka cukup menjangkau kantong anak muda, anak kuliahan, pelajar SMA dan masyarakat kalangan menengah ke bawah.

Harga kopi di Barak Coffee cuma dibanderol Rp 5 ribu sampai Rp 15 ribu. Menurut Murti, untuk Singaraja mulai ramai kedai kopi sejak 2017 lalu dan menjadi tren tempat tongkrongan anak muda saat malam minggu tiba.

Sudah ada sekitar puluhan kedai kopi saat ini. “Kalau boleh jujur kedai kopi kami yang mengawali pertama kali. Hingga diikuti membuka oleh kedai kopi lainnya,” ucapnya.

Diakui Luh Murti, membuka kedai kopi dengan nama Barak Coffee dari awal banyak yang meragukan.

“Banyak yang menilai usaha kami tidak akan bertahan lama. Beli aja kopi aja di warung satu sachet Rp 2 ribuan cukup diseduh dapat kopi,” ungkap Luh Murti.

Meski ada penilaian seperti itu tak membuat dia harus setengah-setengah menekuni bisnis kopi.

Instens di pemasaran dan harus ada inovasi baru soal kopi itu yang dia pegang.  Sehingga varian apa saja bisa ditawarkan kepada penikmat kopi yang datang.

“Kami tidak kaku lebih banyak belajar rasa kopi dari pelanggan. Kadang mereka pelanggan coba disuruh buat kopi dengan rasa berbeda,” ujarnya.

Untuk bahan kopi masih menggunakan kopi lokal asal daerah Gitgit, Buleleng dengan jenis robusta dan arabika.

“Dua varian kopi ini kami coba ramu atau racik sehingga mampu menghasilkan beberapa varian rasa kopi. Sementara penikmat kopi Singaraja masih dengan lidah kopi manis,” tuturnya.

Kini anak muda Singaraja tidak hanya tahu soal kopi saja. Tetapi tahu varian dan jenis kopi setalah kedai kopi mulai ada.

Bahkan, kopi tidak hanya dapat disajikan dalam bentuk kopi bisa buat es, dicampur es krim dan lainnya. “Ini kan lagi tren di kedai warung,” bebernya.

“Sedangkan untuk pelanggan setiap hari 50 orang lebih. Karena kami buka mulai pukul 13.00 hingga pukul 24.00 malam. Dan untuk omset dari kedai kopi ring kami Rp 20 juta perbulan,” pungkasnya.

Di sisi lain Anak Agung Ngurah Tata Pinandhika, 24, tahun yang memiliki kedai kopi dengan nama Minimale Kopi mengatakan, kini banyak kedai kopi di Singaraja.

Menurutnya, kedai kopi bukan sebatas tempat ngopi biasa. Tetapi menjadi lokasi tempat tongkrongan kalangan millenial hingga tengah malam sambil menikmati bermain game.

“Saya buka kedai kopi, tidak ikut-ikutan. Jadi usai kuliah di Surabaya, balik kampung ke Singaraja, tidak melihat lokasi kumpul anak muda.

Sehingga coba buka kedai kopi. Belum lama sih baru buka saya tahun 2018 lalu,” tuturnya.  

Diakui pria lulusan salah satu kampus di Surabaya, tren kopi memang ada masanya. Sebagai pelaku usaha kedai kopi, Tata melihat kedai kopi akan bertahan lama seiring pergeseran waktu.

Karena anak muda dan masyarakat yang ke kedai kopi, bukan menyajikan kopi. “Nyatanya orang-orang yang datang ke coffee shop, bukan mencari kopi.

Tetapi mereka meminum kopi yang sudah diolah dalam bentuk lain. Misalnya es kopi susu gula aren dan olahan kopi lainnya,” ucapnya.

Meski kian menjamur kedai di Singajara sebagai pelaku bisnis kopi itu hal yang wajar. Namun tetap harus mempertahankan kualitas brand.

“Kalau saya banyak diskusi dengan teman diluar dari Singaraja, soal menu kopi baru. Kemudian banyak inovasi dan hal baru. Khusus saya seminggu 2 menu baru harus ada Sehingga pengunjung tertarik,” ucapnya.

Tata menambahkan pelanggan masih dominasi kalangan anak muda. Rata-rata setiap hari 35 sampai 40 orang. (*)


Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/