SAAT Jawa Pos Radar Bali bertandang ke tempat kos Zakaria Paginadi yang berlokasi di Jalan Jaya Giri XIV nomor 9 X, Denpasar, sang empu tempat tinggal tengah menyiapkan kuksa.
Kuksa adalah kerajinan berbahan kayu berbentuk cangkir unik yang terbuat dari kayu. Umumnya, kuksa digunakan para penikmat kopi dan teh.
Dari kuksa, pria 28 tahun ini melihat peluang bisnis yang cemerlang. Dia lantas menawarkan produk berbeda dari yang lain.
Kata pria yang akrab disapa Ayik ini, di Indonesia yang menyelami bisnis kuksa masih bisa dihitung dengan jari.
Hanya empat orang saja. Yang membedakan produknya dengan yang lain, ia mengerjakan kuksa tersebut secara full handmade tanpa bantuan mesin.
“Sudah dua tahun ini saya mencoba memasarkan,” ujarnya mengawali cerita. Sudah du tahun ini dia menggeluti kerajinan kuksa.
Diuntungkan, terlahir dari keluarga pengusaha mebel yang terbiasa bersentuhan dengan kayu, membuat Ayik banyak menyerap ilmu untuk membuat berbagai pola kerajinan berbahan kayu.
Namun, sejak dua tahun lalu, berawal dari forum pegiat kayu dan pencinta kuksa Internasional ia mendapat ide untuk mengembangkan kuksa di Bali.
“Ini kerajinan dari negara Skandinavia. Tapi, modelnya beda, saya mencari pola sendiri,” katanya.
Pertama kali, kuksa tersebut dia bawa saat mendaki gunung dengan hanya membuat satu biji saja untuk keperluan pribadi.
Selain dibawa mendaki untuk sekadar nyeruput kooi dengan cara unik dan beda, kuksa buatannya kerap dibawa saat menikmati kopi di beberapa kedai kopi kota Denpasar.
“Saat ngopi, saya bawa kuksanya. Setelah itu saya foto. Mulai lah, ada salah satu kedai kopi yang tertarik dan ingin membuat kuksa buatan saya,” tutur pria yang juga berprofesi sebagai fotografer ini.
Bak gayung bersambut, ini menjadi awal terbukanya peluang bisnis. Pria asal Bedugul ini pun memanfaatkan media sosial untuk tempat promosinya.
Dari beberapa katalog itu, ia mulai menerima beberapa pesanan dari berbagai kota di Indonesia. Dia menjelaskan, beberapa tahapan yang pengerjaan membuat kuksa.
Awalnya, mengonsep pola atau bentuk. Selanjutnya melakukan pemahatan hingga terbentuk pola kasar.
“Setelah terbentuk pola kasar, direbus menggunakan air garam dan didiamkan dalam kamar selama dua minggu agar tidak pecah ketika dipakai,” terang pria kelahiran 1989 itu.
Berikutnya baru tahap finishing. Mulai dari proses penghalusan dengan amplas hingga lima kali.
“Untuk mengeluarkan serat kayu dan membuat kuksa tersebut terlihat cantik, saya pakai balsam kayu dari bahan olive oil,” imbuhnya.
Setelah semuanya selesai, ada proses testing untuk menjamin kuksa tersebut bisa digunakan dalam jangka waktu yang panjang.
“Biasanya saya tes menggunakan air mendidih. Kalau tidak pecah, berarti lolos dan layak di jual,” tambah dia. Bahan baku sendiri, ia menggunakan limbah kayu dari perusahaan mebel.
Bahkan, beberapa perusahaan mebel kini telah menjadi mitra kerjanya. Umumnya, kayu buatannya tersebut menggunakan kayu jati berbagai jenis.
Ini menjadi ciri khas sekaligus nilai jual di konsumen luar negeri seperti Jerman, Amerika dan Australia.
“Yang memburu kuksa ini selain kafe ada juga perorangan. Biasanya kolektor kuksa yang suka ngopi dan teh,” terang lulusan Stikom Denpasar ini.
Uniknya, produk miliknya ini tidak dibuat secara masal. Bahkan, dalam satu bulan hanya menerima satu lusin order. Hal ini dilakukan untuk menjaga kualitas.
Selain itu cara tersebut dilakukan agar harga kuksa miliknya tidak anjlok lantaran diproduksi secara masal.
“Banyak yang mau reseller, tapi saya tolak. Alasannya itu tadi agar tidak murahan. Jadi untuk satu lusin itu untuk satu bulan nanti saya buka order lagi,” bebernya.
Untuk satu piecis kuksa, ia menjual dengan harga variatif. Yakni antara Rp 125 ribu hingga Rp 400 ribu dengan tingkat model ukiran.
“Untuk ukiranya saya mengusung ukiran Bali, ini menjadi nilai plus,” imbuhnya lagi. Namun di luar kusa, ia juga menerima desain permintaan lain.
Misalnya talenen, mangkuk dan jenis lain. Dari kerajinan yang digeluti itu, ia mendapatkan omset kotor hingga Rp 5 juta per bulan