25.2 C
Jakarta
22 November 2024, 6:06 AM WIB

Sempat Waswas, Tak Ada Calo di Terminal Singapura

Rombongan backpacker Jawa Pos Radar Bali berkelana ke negeri jiran selama tiga hari Jumat-Minggu lalu (20-22/4).

Tanpa guide, perjalanan backpackeran tak hanya bikin deg-degan. Tapi jadi punya kesan tersendiri di negeri seberang.

 

JUMAT dini hari (20/4), rombongan Jawa Pos Radar Bali bertolak dari kantor media ini menuju Bandara Ngurah Rai, Tuban.

Selanjutnya ke Bandara Changi, Singapura. Masih pagi buta. Selepas pukul 04.00, berangkat bersama dari kantor.

Ada delapan orang dalam rombongan. Andi B. Wicaksono (general manajer), Hari Sugeng Santoso (manajer iklan), Made Sukamara (staf bagian iklan),

Novi Ruswandono (kepala keuangan), Wayan Putra (wartawan), Hari Puspita (redaktur pelaksana), Made Astini (keuangan), Didik Triwiyanto (kepala pemasaran) dan Ni Made Areni (sekretaris redaksi/HRD).

Dingin masih terasa menyengat tulang. Tapi Bandara Ngurah Rai yang setiap hari rata-rata dibanjiri 17 ribu wisatawan ini sudah mulai terasa geliatnya. Sudah ramai.

Hingga antre di bandara, kami belum mendapat rundown acara. Andi B. Wicaksono, selalu guide acara hanya berujar pendek saja, saat ditanya.

“Pokoknya ini perjalanan seru,” begitu, jawabnya. Begitu berangkat pukul 07.00, tiba di Changi, sekitar pukul 09.30, kami habiskan sekitar satu jam untuk antre pemeriksaan keimigrasian, registrasi wifi.

Juga mengisi botol biar dapat air minum gratis di bandara. Dialog-dialog berbahasa Indonesia banyak terdengar saat mengantre di pemeriksaan paspor.

Sebagian berbahasa Jawa. Meski sebagian ada bule. Selepas dari kesibukan teknis di Changi, kami menghabiskan perjalanan untuk keliling negara seluas 719,9 kilometer persegi, berpenduduk 5,6 juta tersebut.

Cuma sekitar seperenamnya Pulau Bali, yang seluas 5.633 kilometer persegi. Perjalanan dari satu tempat ke tempat hanya lewat MRT (mass rapid transit) atau angkutan cepat terpadu.

Ke sana kemari lewat sejumlah stasiun kereta cepat dengan ongkos murah. Sekitar seratusan ribu, bila dirupiahkan.

Tak ada yang istimewa sebetulnya untuk objek wisata di negeri tetangga, Negeri Singa ini. Macam Universal Studio, Merlion Park, semua hanyalah objek wisata buatan.

Kalau kami dari Bali yang sudah kenyang dengan wisata alam, seni, budaya, tentu ini tak lebih berkunjung ke Garuda Wisnu Kencana (GWK) Jimbaran.

Atau ke Jatim Park, di Malang, Jawa Timur, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), misalnya. Semua serba buatan.

Pun begitu saat di Malaysia. Yang ada hanya objek wisata buatan. Macam Menara Petronas dan patung raksasa di Batu Caves.

Hanya beberapa hal yang terasa beda, selain sarana transportasi, gedung-gedung pencakar langit. Yakni kedisiplinan masyarakatnya untuk urusan sampah dan kedisiplinan memakai fasilitas umum.

Semacam dalam kereta MRT. Semua serba teratur. Rapi, tepat waktu. Hingga malam, seusai berswafoto ria di kompleks Merlion Park,

ke kawasan kampung Bugis atau Bugis Street, kami segera ke lokasi terminal keberangkatan bus Singapura, selepas pukul 22.00.

Di kawasan Golden Mile Complex. Tak begitu jauh dari kampung Bugis. Kami sempat waswas dengan kondisi terminal bus antar negara.

Bayangan kami, terminalnya mirip di Bali. Macam Terminal Ubung, Denpasar atau Terminal Mengwi, Badung, di malam hari.

Banyak calo, banyak preman, banyak orang memaksa beli tiket. Ternyata, sesampai di Golden Mile Complex, hanya ada stan jualan tiket bus.

Tak ada calo atau preman mabuk seperti dalam bayangan kami sebelumnya. Aman. Tenang. Damai. Adem ayem.

Di seberang jalan ada sejumlah kafe atau semacam warung yang buka sampai dini hari. Lagu-lagunya lagu dangdut koplo.

Macam lagu Via Vallen, Nella Kharisma hingga lagu yang agak lama, punya Inul Daratista.

“Musik ini cocok untuk teman jualan,” ujar Nasir, warga Singapura berwajah India, berkulit gelap, yang jualan di kawasan terminal Golden Mile Complex itu.

Kami pun tentram dibuatnya. Menikmati kopi, teh, kue,  sambil menunggu keberangkatan bus jam 23.30 menuju Kuala Lumpur. 

Rombongan backpacker Jawa Pos Radar Bali berkelana ke negeri jiran selama tiga hari Jumat-Minggu lalu (20-22/4).

Tanpa guide, perjalanan backpackeran tak hanya bikin deg-degan. Tapi jadi punya kesan tersendiri di negeri seberang.

 

JUMAT dini hari (20/4), rombongan Jawa Pos Radar Bali bertolak dari kantor media ini menuju Bandara Ngurah Rai, Tuban.

Selanjutnya ke Bandara Changi, Singapura. Masih pagi buta. Selepas pukul 04.00, berangkat bersama dari kantor.

Ada delapan orang dalam rombongan. Andi B. Wicaksono (general manajer), Hari Sugeng Santoso (manajer iklan), Made Sukamara (staf bagian iklan),

Novi Ruswandono (kepala keuangan), Wayan Putra (wartawan), Hari Puspita (redaktur pelaksana), Made Astini (keuangan), Didik Triwiyanto (kepala pemasaran) dan Ni Made Areni (sekretaris redaksi/HRD).

Dingin masih terasa menyengat tulang. Tapi Bandara Ngurah Rai yang setiap hari rata-rata dibanjiri 17 ribu wisatawan ini sudah mulai terasa geliatnya. Sudah ramai.

Hingga antre di bandara, kami belum mendapat rundown acara. Andi B. Wicaksono, selalu guide acara hanya berujar pendek saja, saat ditanya.

“Pokoknya ini perjalanan seru,” begitu, jawabnya. Begitu berangkat pukul 07.00, tiba di Changi, sekitar pukul 09.30, kami habiskan sekitar satu jam untuk antre pemeriksaan keimigrasian, registrasi wifi.

Juga mengisi botol biar dapat air minum gratis di bandara. Dialog-dialog berbahasa Indonesia banyak terdengar saat mengantre di pemeriksaan paspor.

Sebagian berbahasa Jawa. Meski sebagian ada bule. Selepas dari kesibukan teknis di Changi, kami menghabiskan perjalanan untuk keliling negara seluas 719,9 kilometer persegi, berpenduduk 5,6 juta tersebut.

Cuma sekitar seperenamnya Pulau Bali, yang seluas 5.633 kilometer persegi. Perjalanan dari satu tempat ke tempat hanya lewat MRT (mass rapid transit) atau angkutan cepat terpadu.

Ke sana kemari lewat sejumlah stasiun kereta cepat dengan ongkos murah. Sekitar seratusan ribu, bila dirupiahkan.

Tak ada yang istimewa sebetulnya untuk objek wisata di negeri tetangga, Negeri Singa ini. Macam Universal Studio, Merlion Park, semua hanyalah objek wisata buatan.

Kalau kami dari Bali yang sudah kenyang dengan wisata alam, seni, budaya, tentu ini tak lebih berkunjung ke Garuda Wisnu Kencana (GWK) Jimbaran.

Atau ke Jatim Park, di Malang, Jawa Timur, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), misalnya. Semua serba buatan.

Pun begitu saat di Malaysia. Yang ada hanya objek wisata buatan. Macam Menara Petronas dan patung raksasa di Batu Caves.

Hanya beberapa hal yang terasa beda, selain sarana transportasi, gedung-gedung pencakar langit. Yakni kedisiplinan masyarakatnya untuk urusan sampah dan kedisiplinan memakai fasilitas umum.

Semacam dalam kereta MRT. Semua serba teratur. Rapi, tepat waktu. Hingga malam, seusai berswafoto ria di kompleks Merlion Park,

ke kawasan kampung Bugis atau Bugis Street, kami segera ke lokasi terminal keberangkatan bus Singapura, selepas pukul 22.00.

Di kawasan Golden Mile Complex. Tak begitu jauh dari kampung Bugis. Kami sempat waswas dengan kondisi terminal bus antar negara.

Bayangan kami, terminalnya mirip di Bali. Macam Terminal Ubung, Denpasar atau Terminal Mengwi, Badung, di malam hari.

Banyak calo, banyak preman, banyak orang memaksa beli tiket. Ternyata, sesampai di Golden Mile Complex, hanya ada stan jualan tiket bus.

Tak ada calo atau preman mabuk seperti dalam bayangan kami sebelumnya. Aman. Tenang. Damai. Adem ayem.

Di seberang jalan ada sejumlah kafe atau semacam warung yang buka sampai dini hari. Lagu-lagunya lagu dangdut koplo.

Macam lagu Via Vallen, Nella Kharisma hingga lagu yang agak lama, punya Inul Daratista.

“Musik ini cocok untuk teman jualan,” ujar Nasir, warga Singapura berwajah India, berkulit gelap, yang jualan di kawasan terminal Golden Mile Complex itu.

Kami pun tentram dibuatnya. Menikmati kopi, teh, kue,  sambil menunggu keberangkatan bus jam 23.30 menuju Kuala Lumpur. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/