28.4 C
Jakarta
11 Desember 2024, 22:10 PM WIB

Kelainan Sejak 4 Bulan Kandungan, Kini Tiap Hari Bergantung Oksigen

Bayi Ni Komang Wikan Septiana Dewi sudah berusia 3 bulan.

 

Sempat dirawat di rumah sakit, kini bayi perempuan malang yang lahir tanpa tempurung kepala itu dirawat dan diasuh ala kadarnya di rumah orang tuanya di Tempekan Babakan, Banjar Kenanga, Desa Batubulan Kangin, Kecamatan Sukawati.

 

IB INDRA PRASETIA, Gianyar

 

SETELAH menelusuri jalan berpaving, tepat di paling ujung, Jawa Pos Radar Bali akhirnya menemukan kediaman bayi Septiana.

 

Sesampai teras rumah, gonggongan anjing putih langsung menyambut.

 

Selanjutnya, usai memasuki pekarangan, ibu bayi, yakni Desak Ketut Septiari sambil menggendong bayi Septiana langsung menyambut ramah.

Sedangkan tak jauh dari tempat Desak Septiari, dua kakak sang bayi Septiana yang  terlahir normal tampak bermain di teras rumah.

 

“Silahkan duduk. Anak saya baru saja bangun,” ujar ibunda Desak Ketut Septiari sembari menggendong bayinya ke teras rumah.

 

Bayi Komang baru bangun siang. Dia harus digendong beralaskan bantal supaya kepala belakangnya tidak terbentur.

 

Desak yang bekerja di salah satu pusat perbelanjaan di Denpasar mengaku cuti untuk mengurus si bayi.

 

“Bapaknya lagi kerja, jadi security di Gatsu,” jelasnya.

 

Desak pun bercerita selama masa kehamilannya. “Waktu hamil kontrol tiap bulan. Tapi ini beda, waktu di dalam kandungan tidak aktif, beda sama kakaknya aktif sekali,” jelasnya.

 

Tanda-tanda kelainan mulai muncul pada 4 bulan kehamilan.

“Hamil 4 bulan tahu kaki dan tangan bengkok. Kami periksa di Sukawati. Disuruh sama dokter. Ini katanya ada kelainan. Maka di suruh periksa ke dokter di WR Supratman. Dicek 3 dimensi. Kelihatan bengkok,” jelasnya.

 

Desak mengaku telah disarankan oleh dokter. “Katanya di dunia medis, sebetulnya nggak boleh dilahirkan. Harus dikoret. Kami takut,” jelasnya.

 

Akhirnya pasangan suami istri itu berembuk dengan keluarga besarnya. “Tanya ke keluarga besar. Katanya apa dikasih (diberikan, red), itu tunas (ambil, red). Maka kami lanjutkan,” jelasnya.

 

Desak dan suaminya pun sudah berpikir dua kali untuk melanjutkan kehamilan mereka.

 

“Kalau usia panjang, kemungkinan ada komplikasi. Pas lahir, ada bengkok. Pas lahir saya belum dikasih tahu, kalau kepala nggak ada tempurung,” jelasnya.

 

Lanjut Desak, sampai besar, putrinya itu tidak akan bisa tumbuh tempurung. “Hanya tumbuh kulit dan rambut. Tapi nanti kalau tumbuhnya, bisa kayak Ucok Baba (artis kerdil, red),” jelasnya.

 

Setelah dilahirkan, si bayi harus masuk inkubator selama 5 hari. “Habis itu pulang. Kondisi bagus,” jelasnya.

 

Beberapa hari kemudian, si bayi menderita batuk. “Kami bawa ke dokter di Ketewel. Dokter nggak berani mengambil. Disuruh ke spesilis. Dibilang paru pendek. Takutnya ada infeksi,” jelasnya.

 

Untuk penyembuhan batuk itu, Desak dan suaminya sempat bolak-balik ke rumah sakit. Mulai ke Sanglah hingga Bakti Rahayu.

 

“Terakhir ini dirawat sebulan. Dari 23 November sampai 23 Desember di Sanglah. Selama di RSUP Sanglah Denpasar, dipakaikan oksigen,” jelasnnya.

 

Sepulang dari RSUP Sanglah, bayi malang itu tetap harus memperoleh perawatan.

 

“Kami beli tabung oksigen, alat ukur oksigen dan isi ulang sampai Rp 2,1 juta. Kalau habis oksigennya, isi ulang lagi Rp 70 ribu,” jelasnya.

Bayi Komang juga harus terus dicek menggunakan alat ukur oksigen.

“Kalau oksigen turun, baru saya masukkan selang. Ini sekarang tidak, karena masih normal,” ujar Desak sesekali melihat alat ukur oksigen berwarna kuning yang ditempel di kaki kiri bayi.

 

Untuk biaya pengobatan, bayi Komang sudah mendapat fasilitas BPJS Kesehatan. Desak pun tak mengerti penyebab kelainan yang diderita putrinya itu. “Penyebab katanya kelainan genetik. Karena virus,” tukasnya.

Bayi Ni Komang Wikan Septiana Dewi sudah berusia 3 bulan.

 

Sempat dirawat di rumah sakit, kini bayi perempuan malang yang lahir tanpa tempurung kepala itu dirawat dan diasuh ala kadarnya di rumah orang tuanya di Tempekan Babakan, Banjar Kenanga, Desa Batubulan Kangin, Kecamatan Sukawati.

 

IB INDRA PRASETIA, Gianyar

 

SETELAH menelusuri jalan berpaving, tepat di paling ujung, Jawa Pos Radar Bali akhirnya menemukan kediaman bayi Septiana.

 

Sesampai teras rumah, gonggongan anjing putih langsung menyambut.

 

Selanjutnya, usai memasuki pekarangan, ibu bayi, yakni Desak Ketut Septiari sambil menggendong bayi Septiana langsung menyambut ramah.

Sedangkan tak jauh dari tempat Desak Septiari, dua kakak sang bayi Septiana yang  terlahir normal tampak bermain di teras rumah.

 

“Silahkan duduk. Anak saya baru saja bangun,” ujar ibunda Desak Ketut Septiari sembari menggendong bayinya ke teras rumah.

 

Bayi Komang baru bangun siang. Dia harus digendong beralaskan bantal supaya kepala belakangnya tidak terbentur.

 

Desak yang bekerja di salah satu pusat perbelanjaan di Denpasar mengaku cuti untuk mengurus si bayi.

 

“Bapaknya lagi kerja, jadi security di Gatsu,” jelasnya.

 

Desak pun bercerita selama masa kehamilannya. “Waktu hamil kontrol tiap bulan. Tapi ini beda, waktu di dalam kandungan tidak aktif, beda sama kakaknya aktif sekali,” jelasnya.

 

Tanda-tanda kelainan mulai muncul pada 4 bulan kehamilan.

“Hamil 4 bulan tahu kaki dan tangan bengkok. Kami periksa di Sukawati. Disuruh sama dokter. Ini katanya ada kelainan. Maka di suruh periksa ke dokter di WR Supratman. Dicek 3 dimensi. Kelihatan bengkok,” jelasnya.

 

Desak mengaku telah disarankan oleh dokter. “Katanya di dunia medis, sebetulnya nggak boleh dilahirkan. Harus dikoret. Kami takut,” jelasnya.

 

Akhirnya pasangan suami istri itu berembuk dengan keluarga besarnya. “Tanya ke keluarga besar. Katanya apa dikasih (diberikan, red), itu tunas (ambil, red). Maka kami lanjutkan,” jelasnya.

 

Desak dan suaminya pun sudah berpikir dua kali untuk melanjutkan kehamilan mereka.

 

“Kalau usia panjang, kemungkinan ada komplikasi. Pas lahir, ada bengkok. Pas lahir saya belum dikasih tahu, kalau kepala nggak ada tempurung,” jelasnya.

 

Lanjut Desak, sampai besar, putrinya itu tidak akan bisa tumbuh tempurung. “Hanya tumbuh kulit dan rambut. Tapi nanti kalau tumbuhnya, bisa kayak Ucok Baba (artis kerdil, red),” jelasnya.

 

Setelah dilahirkan, si bayi harus masuk inkubator selama 5 hari. “Habis itu pulang. Kondisi bagus,” jelasnya.

 

Beberapa hari kemudian, si bayi menderita batuk. “Kami bawa ke dokter di Ketewel. Dokter nggak berani mengambil. Disuruh ke spesilis. Dibilang paru pendek. Takutnya ada infeksi,” jelasnya.

 

Untuk penyembuhan batuk itu, Desak dan suaminya sempat bolak-balik ke rumah sakit. Mulai ke Sanglah hingga Bakti Rahayu.

 

“Terakhir ini dirawat sebulan. Dari 23 November sampai 23 Desember di Sanglah. Selama di RSUP Sanglah Denpasar, dipakaikan oksigen,” jelasnnya.

 

Sepulang dari RSUP Sanglah, bayi malang itu tetap harus memperoleh perawatan.

 

“Kami beli tabung oksigen, alat ukur oksigen dan isi ulang sampai Rp 2,1 juta. Kalau habis oksigennya, isi ulang lagi Rp 70 ribu,” jelasnya.

Bayi Komang juga harus terus dicek menggunakan alat ukur oksigen.

“Kalau oksigen turun, baru saya masukkan selang. Ini sekarang tidak, karena masih normal,” ujar Desak sesekali melihat alat ukur oksigen berwarna kuning yang ditempel di kaki kiri bayi.

 

Untuk biaya pengobatan, bayi Komang sudah mendapat fasilitas BPJS Kesehatan. Desak pun tak mengerti penyebab kelainan yang diderita putrinya itu. “Penyebab katanya kelainan genetik. Karena virus,” tukasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/