Pembahasan ranperda pengganti Perda 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bali, dipastikan molor.
Padahal ada poin penting yang paling ditunggu, yakni perubahan aturan ketinggian bangunan di Bali.
BALI kini seperti sudah menapak di masa depan. Siapa sangka Bali kini punya jalan tol di atas laut? Siapa mengira kini Bali punya dua underpass di Bypass Ngurah Rai?
Zaman sudah berubah. Kultur pun mengikuti. Terakhir, beberapa tahun belakangan, kebutuhan akan infrastruktur makin meningkat.
Di satu sisi, harga tanah kian lama makin melambung. Efeknya, karena aturan ketinggian, membangun di Bali harus horizontal.
Tidak hanya bangunan pribadi, namun juga bangunan publik. Nah, kini aturan tinggi bangunan di Bali akan direvisi.
Dengan mengutamakan bangunan untuk fasilitas publik. Seperti rumah sakit, sekolah, serta gedung pemerintahan.
Kasubag Humas RS Sanglah Dewa Ketut Kresna menyatakan pihaknya setuju tinggi bangunan untuk fasilitas umum melebihi 15 meter.
Sehingga rumah sakit bisa membangun secara vertikal agar lebih tinggi. Karena sejatinya RS membutuhkan ruangan yang lebih banyak. Apalagi RS Sanglah berstatus umum pusat.
“Akan mengefisienkan lahan dan pelayanan serta sumber daya manusia (SDM),” ucapnya saat diwawancarai Jawa Pos Radar Bali.
Diakui, saat ini di Bali mungkin bukan RS Sanglah saja. Seperti bangunan lain juga. Ia pun menyambut baik usulan tersebut, fasum bisa lebih tinggi bangunannya sehingga RS Sanglah dapat mewujudkan pelayanan terintegrasi.
“Kan terbatas juga. Kayak hotel-hotel. Terbatas juga. Ya, ini memudahkan fasum seperti RS mewujudkan pelayanan terintegrasi satu atap yang efisien tempat, waktu, dan sumber daya,” jelasnya.
Sebelumnya, Ketua DPRD Provinsi Bali I Nyoman Adi Wiryatama, mengatakan bahwa pembahasan perubahan RTRW tidak bisa diselesaikan tahun 2018.
Alasannya harus ada pembahasan lebih dalam sehingga perda yang dilahirkan menjadi berkualitas. Ia mengingatkan jangan sampai RTRW ini hanya menjadi pembungkus kacang.
“Kami ingin perubahan RTRW berkualitas. Berguna bagi kita semua agar tidak sekadar perda pembungkus kacang. Kami sesuaikan karena kita dinamis. Masyarakat Bali bergerak terus,” ujar mantan bupati Tabanan ini.
Menurutnya, diperpanjangnya pembahasan RTRW untuk meminimalisasi dampak dan lingkungan tidak tereksplorasi. Seperti ketinggian bangunan dan koefisien dasar bangunan (KDB) yang akan diubah.
“Itu ke depan kita pikirkan zona-zona tertentu. Kita pikirkan apa yang kita perlukan. Tidak semua kita ubah. Yang kita perlukan waktu yang panjang,” jelasnya.
Dikonfirmasi terpisah, Wakil Ketua DPRD Provinsi Bali Nyoman Sugawa Korry menyatakan hal yang sama juga.
Ia setuju jika itu untuk kepentingan umum, seperti rumah sakit, sekolah, dan kepentingan fasilitas umum lainnya.
“Saya setuju kalau untuk fasilitas umum seperti sekolah dan rumah sakit. Itu saya setuju untuk ditoleransi,” ucap politisi Golkar ini.
Ia pun juga mengaku bahwa permintaan itu datang dari masyarakat sendiri. Bahwa harus bisa diberikan toleransi untuk ketinggian bangunan pada fasilitas umum.
Ketua Pansus RTRWP Ketut Kariyasa Adnyana menyatakan aspirasi tersebut karena pertumbuhan penduduk yang meningkat. Dan, harus penyediaan tempat yang layak.
Tetapi, memang di draft belum ditulis karena dia mengaku memang murni dari komponen masyarakat.
“Melihat sempitnya lahan di Bali jadi ada toleransi ketinggian bangunan untuk fasilitas umum seperti rumah sakit,” ucap pria yang juga menjabat sebagai sekretaris Komisi III DPRD Bali itu.
Tetapi, di sisi lain juga mengenai ketinggian tersebut masih dibahas. Akan dikaji oleh tim ahli dari Pemerintah Provinsi Bali, para pakar, tokoh masyarakat, dan instansi terkait.
Sementara itu, pembahasan RTRW ini sebagai pedoman membangun di Bali. Sebab, diakuinya Provinsi Bali tidak memiliki wilayah.
Namun, dibutuhkan pengaturan secara umum. Tujuannya juga agar tidak terjadi ketimpangan pembangunan di Bali. Seperti hanya terpusat di Bali Selatan.
“Selama ini yang sering jadi keluhan, di luar kabupaten yang ini sudah jadi penyakit turun menurun.
Mungkin kesalahan kebijakan sebelumnya yang ingin membangun kue – kue ekonomi itu ada di Bali selatan,” papar Kariyasa.
“Dengan alasan bagaimana kita menjaga dan melestarikan. Itu kan sangat klasik. Saat ini apa yang musti kita berikan seperti Tabanan,
menjaga sawah yang hijau dan sebagainya. Bagaimana Karangasem, Bangli, dan lain-lainnya,” tandasnya. (*)