Warga di kompleks Perumahan Mutiara Abianbase, Mengwi, Badung, masih belum percaya jika rumah mewah milik Hendrik Pardede,55, dihuni puluhan orang Warga Negara (WN) Tiongkok.
Pasalnya, sekitar enam bulan terakhir rumah dengan pagar bercat cokelat itu oleh warga disebut “rumah hantu”.
MAULANA SANDIJAYA, Mangupura
TIDAK sulit mencari rumah milik Hendrik Pardede. Dari RSUD Mangusada, Kapal, Badung, belok ke utara ke Jalan Raya Abianbase – Dalung, hanya berjarak sekitar 500 meter.
Di kiri jalan tertulis Perumahan Mutiara Abianbase. Masuk ke arah timur sekitar 100 meter maka akan terlihat rumah besar ditumbuhi tanaman dan rumput liar.
Rumah bernomor 1A itu berhadapan dengan bangunan luas tempat penyelipan gabah. Dari luar rumah menghadap ke selatan itu seperti rumah tak terawat. Suwung alias sepi.
Garis polisi melingkar dari pintu gerbang depan rumah, hingga pagar belakang. Garis polisi itu menjadi perhatian tersendiri bagi warga yang melintas.
“Karena tidak ada penghuninya, kami di sini sering menyebutnya rumah hantu,” ujar Lurah Abianbase, I Dewa Gede Rai Wijaya, saat ditemui koran ini kemarin (2/5) di kantornya.
Kantor Lurah Abianbase berada tak jauh dari rumah Pardede. Jaraknya hanya sekitar 50 meter. Bedanya, kantor lurah ada di dalam kompleks perumahan, sedangkan rumah Pardede di luar pintu masuk kompleks.
Menurut Wijaya, setelah ditinggal Pardede sejak dua tahun lalu, tidak terapantau siapa yang menghuni rumah.
Selama tujuh tahun menjadi lurah, Wijaya menyebut rumah tersebut sangat tertutup. Dia tidak pernah bertemu dengan empunya rumah, Pardede.
Padahal, sedikitnya sehari dua kali Wijaya melewati rumah itu. Saat pergi dan pulang kantor. Setiap Jumat Wijaya bersama staf kelurahan juga keliling perumahan melakukan bersih-bersih lingkungan.
Tapi, sekalipun Wijaya tak pernah melihat ada orang di dalam rumah. “Kalau pun ada aktivitas hanya saat papasan ada mobil masuk
atau keluar rumah. Setelah itu pintu gerbang ditutup rapat. Seolah-olah perhuninya sangat private,” tukasnya.
Menurut pria asli Keramas, Gianyar, itu awalnya rumah milik Pardede dari luar terlihat rapi. Rumput dan tanaman yang ada di taman di atas parit rutin dipangkas.
Namun, sejak enam bulan hingga tujuh bulan lalu rumah dengan pintu gerbang kayu itu berubah menjadi tak terawat. Siang dan malam sering gelap seperti tidak ada aktivitas manusia.
Ada 80 unit rumah di Perumahan Mutiara Abianbase. Penghuninya didominasi warga pendatang dari dalam dan luar Pulau Bali.
Karena pendatang, maka pekerjaan penghuninya rata-rata pegawai swasta atau wiraswasta. Wijaya dan warga tidak terlalu memerhatikan karena sempat terpasang tulisan rumah dijual/dikontrakkan.
Wijaya mengira rumah tidak lagi terurus karena pemilknya sudah pindah. “Saya pikir tidak terawat karena belum laku. Makanya wajar terlihat sintru (angker),” terangnya.
Wijaya juga tidak sadar tulisan rumah dijual/dikontrak sudah tidak ada. “Saya kira benar-benar sudah tidak ada aktivitas,
tahunya ada penggerebekan. Setelah penggerebekan baru kami tahu kalau selama ini ada orang di dalam rumah,” ucap pria 41 tahun itu.
Karena sepi, juru pemantau jentik (jumantik) tak pernah masuk rumah Pardede. Selain sepi, petugas juga merasa sungkan karena rumah besar dan tertutup.
Namun, sehari setelah penggerebakan kemarin, Wijaya baru banyak mendapat laporan penghuni kos yang berada di belakang rumah Pardede.
Sebagian penghuni kos-kosan delapan kamar, terutama yang ada di lantai dua sering melihat ada banyak jemuran pakaian di halaman belakang.
Tapi, anehnya tidak pernah terlihat siapa gerangan yang menjemur pakaian. Sayangnya, warga tidak berani melapor meski saat itu merasa keheranan.
“Kok bisa, tidak ada penghuninya tapi banyak jemuran. Tapi, penghuni kos tidak berani lapor karena mereka juga pendatang,” imbuh lurah lulusan IPDN Jatinagor, Jawa Barat, itu.
Menurut Wijaya, Pardede sendiri sangat jarang berkomunikasi dengan warga dan pihak kelurahan. Padahal, Pardede adalah pengembang Perumahan Mutiara Abianbase.
Bahkan, Wijaya sempat kesulitan saat meminta warga menemui Pardede untuk menyerahkan fasiltas umum (fasum) perumahan agar bisa dibantu pemerintahan.
Fasum seperti jalan, pura, balai pertemuan tidak bisa mendapat bantuan pemerintah sebelum diserahterimakan pengembang.
“Rumah elite hampir tidak ada komunikasi dengan warga sekitar. Jadi, warga tidak tahu seperti apa kondisinya. Ini juga menjadi pengalaman bagi kami agar lebih peduli dengan lingkungan,” kata bapak dua anak itu.
“Seperti kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak,” pungkasnya.
Diwawancarai terpisah, Kaling Br. Semate Nyoman Nasiun menyebut sudah menginformasikan pada Pardede jika rumahnya digerebek polisi.
Menurut Nasiun, selama ini dirinya bertemu Pardede hanya dua atau tiga kali saat mengurus administrasi kependudukan. “Kalaupun ada kepentingan paling menyuruh anak buahnya,” ujar pria 51 tahun itu.
Ditambahkan Nasiun, sekitar dua atau tiga bulan lalu Pardede resmi pindah domisili ke Kuta. Pada akhir 2017 rumah Pardede memang sepi.
Sejak enam bulan terakhir pecalang setempat juga sudah tidak pernah melakukan sidak karena diambil pecalang desa.
“Sejak akhir 2017 tiyang lihat dari luar tidak ada tanda-tanda kehidupan. Apalagi dari luar kelihatan digembok. Karena itu kami tidak curiga,” tukasnya.