Lukisan dari Desa Keliki, Kecamatan Tegalalang dulu sempat mendunia dan dikenal dengan gaya khas berlatar pulau Bali. Tapi, itu dulu. Sekarang, era keemasan itu telah sirna. Kini, I Wayan “Nanoe” Ariana, guru Sekolah Dasar (SD) yang nyambi mengajari melukis bertekad membangkitkan masa keemasan desanya.
IB INDRA PRASETIA, Tegalalang
DI sebuah bengkel lukisan I Wayan Gama di Banjar Keliki, Desa Keliki, Kecamatan Tegalalang, yang berdiri sejak 2005, anak-anak kecil memenuhi bengkel lukisan.
Seorang pemuda kelahiran 1992, I Wayan “Nanoe” Ariana bersama enam rekannya tampak mengajarkan melukis anak-anak di Desa Keliki secara sukarela.
Kurang lebih ada 25 anak Desa Keliki itu tampak semangat mengikuti kelas melukis. Nanoe yang seorang guru tidak tetap (GTT) bidang studi agama Hindu di SDN 6 Taro itu mengaku, anak-anak yang mau belajar di bengkel melukis tidak dipungut biaya.
“Semuanya gratis. Mereka tidak dikenakan biaya,” ujar Nanoe, kemarin (2/8). Misi sukarela itu tak lain sebagai upaya menggeliatkan lagi lukisan gaya Keliki yang sempat menggapai masa jaya.
Nanoe yang memulai mengajarkan melukis sejak usianya 11 tahun itu mencoba melestarikan gaya lukisan Keliki.
Lukisan yang jadi ikon itu berlatar pulau Bali. Kemudian, di gambar pulau itu, para pelukis bisa menorehkan ide kreatif mereka.
Pulau bisa diukir sedemikian rupa. Bisa memberikan gambar alam maupun kehidupan masyarakat sehari-hari, tergantung dari imajinasi si pelukis.
Dikatakan Nanoe, anak-anak mulai usia 8 tahun ke atas, sepulang sekolah selalu menyempatkan diri belajar melukis.
Untuk bisa menguasai teknik melukis gaya Keliki, minimal anak-anak belajar selama 2 sampai 3 tahun.
Nanoe mengaku, untuk belajar, diawali dengan membuat sketsa. Si pelukis bebas menentukan sketsa sesuai keinginannya.
Objek yang dipilih bisa gambar dewa-dewi, penari tradisional Bali maupun tokoh cerita wayang. Kemudian, membuat detail dan terakhir baru diwarnai.
“Anak-anak ini adalah penjaga kelangsungan lukisan Keliki. Bertahan di tengah moderenisasi dan industrialisasi lukisan lokal,” terang putra dari I Nyoman Suwidia dan Ni Ketut Nonir itu.
Walau gratis, sekolah melukis ini punya trik bertahan hidup. Desa Keliki yang mendapat imbas kedatangan turis dari Ubud, menjadikan sekolah melukis itu dikunjungi turis.
Bagi turis yang tertarik dengan lukisan selain bisa ikut belajar, mereka juga terkadang membeli lukisannya.
“Hasil lukisan 90 persen diberikan ke murid yang belajar melukis, dan 10 persen penjualan untuk sekolah melukis ini,” terang Nanoe.
Bagi Nanoe, murid-muridnya bebas berekspresi. Mereka tidak akan dipatok pada gaya lama. Mereka juga diajari stigma baru.
Lulusan Institut Hindi Dharma Negeri (IHDN) melukis gaya Keliki dipadukan dengan kritik terhadap Bali. Lukisan yang dituangkan oleh Nanoe mengandung banyak cerita, pesan moral dan kritik sosial.
Nanoe menuangkan pemikirannya tentang Alam Bali yang telah berubah ke dalam 24 karya lukisan yang dihasilkannya selama 2 tahun terakhir.
Karya-karya ini juga yang membuatnya terpanggil untuk menulis buku yang berjudul “Bali Preserving The Paradise”.
Dalam buku yang dicetak terbatas hanya 100 eksemplar ini, Nanoe menceritakan tentang dirinya, sekolah melukisnya.
Lewat buku itu, dia mencoba mengedukasi pembaca tentang gaya lukisan Keliki. “Saya buat buku ini supaya orang lebih mudah memahami gaya lukisan Keliki,” jelasnya.
Dijelaskannya, kritik sosial yang ia tuangkan dalam lukisannya diantaranya mengungkapkan kemacetan di Bali, kekeringan pada musim kemarau, banjir pada musim hujan, reklamasi laut yang akan mengancam kelangsungan makhluk hidup.
Termasuk perubahan moral dan mental masyarakat. Juga berisi persaingan ekonomi dan kerakusan yang mengakibatkan manusia individualis.
“Seolah falsafah dan spiritualitas hidup tidak lagi penting. Bagaimana Bali bertahan dan mempertahankan diri dengan Tri Hita Karana?,” tandasnya.