Aktivis pemuda ini sekarang tanam bawang. Dari rapat ke rapat pindah ke cangkul-mencangkul. Dari kantor pusat di Jakarta ke atas gunung di pedalaman Malang Selatan.
Ia aktivis yang akhirnya mampu melihat peluang bisnis. Ia bisa melihat sisi bisnis dari sebuah kebijakan baru pemerintah. Yakni kebijakan bagus peninggalan kabinet Presiden Jokowi periode pertama: importir bawang harus tanam bawang.
Impor bawang kita memang gila. Dan semakin gila. Yang membuat bawang lokal klepek-klepek. Terakhir impor bawang kita mencapai 420.000 ton setahun. Tahun lalu.
Padahal kebutuhan bawang nasional kita 450.000 ton. Berarti impor kita mencapai 90 persen. Tarik-ulur pun tidak habis-habisnya. Khususnya antar dua kementerian.
Akhirnya muncullah kebijakan baru itu. Impor jalan terus. Tapi importir harus tanam bawang. Setiap impor 60.000 ton harus tanam bawang 150 hektare. Aktivis itu tahu: importir tidak bisa mencangkul.
Apalagi di gunung. Maka aktivis itu pun bekerja sama dengan importir. Ia yang mencangkul. Importir yang membiayai. Nama aktivis itu Ahmad Labib, 35 tahun. Labib adalah pengurus pusat Pemuda Muhammadiyah.
Ia nyaris menjadi Ketua Umum di muktamar yang lalu. Ia kalah dari Sunanto. Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah sekarang ini. Saya bertemu Labib di Denpasar, Bali. Minggu lalu.
Hari itu saudagar bisnis Muhammadiyah kumpul di Bali. Untuk membicarakan bagaimana cara memajukan pebisnis dari lingkungan Muhammadiyah. Saya diundang sebagai salah satu pembicara.
“Saya yang jemput ke bandara,” ujar Labib lewat telepon. Saya senang dijemput –semata agar bisa ngobrol dengan pengurus. Untuk mengetahui saya nanti harus bicara apa.
Agar sesuai dengan keinginan yang hadir. Baru dari Labib itu saya tahu pelaksanaan kebijakan bawang seperti itu. Ketika diminta naik panggung saya tidak mau pidato.
“Saya akan presentasi dengan slide tiga dimensi,” kata saya. Maka saya panggil Labib ke atas panggung. Saya ceritakan bahwa tokoh kita itu lagi di persimpangan jalan.
Antara jalan aktivis dan jalan bisnis. Itulah persimpangan yang akan bisa membuat Labib sukses. Atau justru membuatnya terpuruk. Bahkan bisa mungkin membuatnya gila.
Dunia ‘aktivis politik’ hampir bertolak belakang dengan dunia bisnis. Apakah Labib sanggup bantir setir 180 derajat. Menjadi aktivis lebih banyak berpikir dan berbicara.
Di dunia bisnis hanya bekerja dan bekerja. Salah bicara bisa minta maaf. Salah kerja bisa hilang uang. Dunia politik adalah dunia riuh-gemuruh. Dunia bisnis adalah dunia senyap –berhasil mendapat laba pun gak usah bercerita.
Dan banyak lagi yang bertolak belakang lainnya. Tapi ada juga sisi baiknya. Seorang aktivis biasanya militan. Kadang juga kurang tidur. Tinggal bisakah mengalihkan militansinya itu ke dunia bisnis –yang juga perlu militansi.
Saya punya pengalaman ‘membina’ aktivis untuk masuk dunia bisnis. Ia bukan saja aktivis tapi ekstremis. Ia lulus teknik elektro UGM. Cumlaude. Ayahnya guru nahwu saya.
Sang ayah ketakutan anaknya lulus –dan pulang ke rumahnya. Sang ayah bisa ditangkap –sebagai ‘sandera’. Itu zaman Orde Baru. Maka sang ayah mendatangi saya –menyerahkan anaknya itu.
Biar jauh dari kampung halaman. “Baik pak, biar anak bapak ikut saya. Biar ia mengekstremi mesin,” jawab saya. Kecerdasannya di kampus –dan militansinya– ternyata bisa ia alihkan ke pekerjaan. I
a sukses dalam berkarir. Mencapai jabatan puncak sebagai CEO satu grup perusahaan di bawah saya –saat itu. Apakah Labib nanti juga akan sukses? Bahkan bisa menjadi owner sebuah perusahaan bawang terbesar di Indonesia?
Saya minta agar seluruh saudagar Muhammadiyah yang hadir hari itu menjadi saksi. Kita beri waktu Labib lima tahun. Kita monitor Labib. Apakah ia tekun dalam bisnisnya atau mudah kembali tergoda –gemuruh politik.
Gegap gempita politik benar-benar sangat menggiurkan. Di situ banyak provokator, pemandu sorak, dan kompor. Di panggung politik itu penuh tepuk tangan yang menyihir.
Di ladang pertanian penuh keringat dan sepi dari kata-kata puji. Lahan bawang Labib di Desa Tumpang itu tidak tanggung-tanggung. Sampai 150 hektare. Kini ia baru berhasil menanam 10 hektare. Ia baru di langkah awal menjadi pengusaha. Tapi ia sudah mulai melangkah.(Dahlan Iskan)