Oleh: Dahlan Iskan
Waktu Pak Eka Tjipta Widjaja meninggal saya tidak bisa melayat. Saya lagi keliling Taiwan. Dari Taipei saya menulis naskah panjang. Untuk mengenangnya. (Lihat DI’s Way: disway.id/r/344/eka-tjipta ).
Minggu malam kemarin saya bisa hadir. Ketika diadakan acara mengenang Pak Eka. Tepat di hari ke-35 meninggalnya. Sekaligus itulah untuk pertama kali saya ke Tzu Chi Center. Yang megah itu. Yang di Pantai Indah Kapuk Jakarta itu.
Empat anak Pak Eka hadir.
Teguh Ganda Widjaja si sulung. Yang belakangan lebih banyak mengurus grup usaha yang di Tiongkok.
Franky Widjaja, si bungsu juga hadir. Yang lebih banyak urus sektor minyak goreng dan kebun sawit.
Indra Widjaja juga. Yang lebih fokus ke usaha bank dan keuangan.
Pun Sukma Widjaja, putrinya. Yang kelihatan awet muda.
Empat anak lainnya tidak hadir.
Frankle Widjaja lagi di Shanghai. Ia fokus di usaha propertinya yang di sana. Termasuk hotel Westin yang megah di pusat kota Shanghai.
Mokhtar Widjaja satu-satunya perokok berat juga absen.
Sedang Hong Leong, satu-satunya yang sejak awal bikin usaha sendiri, lagi di Singapura. Ia memang merintis usahanya di negara tetangga itu. Pun sampai sekarang lebih banyak hidup di sana.
Agama anak-anak Pak Eka beragam: Kristen, Katholik, Budha. Tapi semuanya menjadi aktivis Budha Tzu Chi. Ikut almarhum bapaknya. Yang menjadi Kristen sejak menikah dengan isteri kedua. Tapi tetap menjadi promotor utama Tzu Chi di Indonesia.
Empat anaknya yang hadir itu memberikan kesaksian. Mengenang sang bapak yang istimewa.
Teguh misalnya, ingat benar. Bagaimana diterjunkan ke Sulawesi Utara. Untuk memahami bisnis kopra sedalam-dalamnya. Sampai harus tidur di mana saja dan makan apa saja. Atau tinggal di mess perusahaan yang tidak berpengatur udara. Harus naik truk mengikuti angkutan kopra. Ke pelabuhan dan ke mana saja.
Kunci sukses Eka, menurut Teguh, sangat sederhana. “Jadilah manusia dulu sebelum jadi pengusaha”.
Eka, kata Teguh, sangat percaya: sukses itu 70 persen karena kerja keras. Yang 30 persen karena gabungan antara kesempatan dan nasib baik. Karena itu berbuat baik adalah penting.
“Kebaikan akan menghasilkan kebaikan,” katanya. Hasil kebaikan itulah yang menentukan faktor 30 persen suksesnya.
Eka selalu mau untuk berbuat baik. Dengan memanfaatkan kekayaannya.
Untuk itu ia harus tahu siapa yang paling ahli berbuat baik. Pilihannya jatuh ke Budha Tzu Chi. Maka lewat Tzu Chi-lah ia lebih banyak mempercayakan misi berbuat baiknya.
“Di Tzu Chi ini,” kata Aguan “dana sumbangan itu 100 persen untuk disalurkan”. Aguan adalah Wakil ketua Tzu Chi Indonesia. Biaya penyaluran tidak boleh diambil dari sumbangan. Pun biaya operasional lainnya. “Relawan sendiri yang harus berkorban untuk operasional,” ujar Aguan.
Selesai acara itu Aguan akan terbang ke Palu. Dengan pesawat pribadinya. Tzu Chi lagi membangun 2.000 rumah. Untuk korban gempa Palu.
Hal serupa dilakukan di Lombok, Aceh dan di mana saja. Persoalannya hanya satu: Tzu Chi selalu ingin membangun rumah yang layak. Tapi pemerintah membatasi biaya per rumah tidak boleh lebih Rp 50 juta.
Keterlibatan Eka di Tzu Chi bermula tahun 1998. Saat terjadi reformasi. Jakarta dilanda kerusuhan. Eka berkunjung ke Hualian, Taiwan. Ke pusatnya Tzu Chi. Bertemu Master Chen Yan. Seorang wanita. Yang mengabdikan hidupnya untuk Budha. Yang di sana dipanggil Shang Ren.
Eka bertanya pada Shang Ren: dalam keadaan Jakarta rusuh seperti itu apa yang harus dilakukan.
Shang Ren menjawab: kasih sayanglah yang harus dilakukan. Yang dalam bahasa Mandarin diistilahkan dengan DAAI (baca: ta ai). Hanya kalau ada ‘ta ai’ bisa damai.
Eka merasa pas dengan jawaban itu. Ia pulang ke Jakarta. Tidak khawatir dengan apa yang terjadi. Ia mantap dengan tekad barunya. Ia salurkan bahan makanan. Yang lagi sangat diperlukan pada situasi saat itu. Ia bagikan beras 80 ton. Dan banyak lagi.
Untuk penyalurannya ia gunakan karyawan Sinar Mas. Belum banyak aktivis Tzu Chi waktu itu.
Tzu Chi menerima aktivis dari agama apa pun. Tidak usah khawatir akan diminta pindah agama.
Tzu Chi tidak punya aturan sembahyang sendiri. Silakan saja sembahyang dengan cara masing-masing. Juga tidak punya tempat ibadah. Dilarang membangun rumah ibadah Tzu Chi.
Sembahyangnya Tzu Chi adalah berbuat baik. Membantu orang. Dan menyayangi orang.
Eka sangat cocok dengan prinsip itu.
Di antara anaknya, Franky-lah yang paling aktif di Tzu Chi.
Tapi Franky akan punya ‘pesaing’ baru. Saudara perempuannya sendiri.
Kemarin malam itu Sukma bersaksi: mulai sekarang saya akan lebih aktif di Tzu Chi.
Sukma akan meneruskan keyakinan ayahnya itu.
Sukma ini menarik. Dia tahu diri. Dia adalah anak wanita di keluarga Tionghoa zaman dulu. Yang masih memegang prinsip lama: anak wanita tidak perlu sekolah. Cukup di rumah. Membantu ibunya kerja di dapur. Dan momong adik-adiknya.
Karena itu ketika bapaknya sudah pindah ke Surabaya Sukma masih bersama ibunya di Makassar. Ketika bapaknya pindah ke Jakarta Sukma juga masih bersama ibunya. Ketika kakak-adiknya sudah sekolah di luar negeri Sukma masih juga di Makassar.
Tapi bagaimana Sukma menjadi begitu pintar? Tidak kalah dengan saudara-saudaranya?
“Saya ini juga lulusan perguruan tinggi,” kata Sukma. “Namanya Universitas Eka Tjipta Widjaja,” katanya. Yang disambut grrrr oleh sekitar 1000 orang. Yang malam itu memenuhi aula Tzu Chi Center.
Hanya saja yang lain lulus universitas dalam waktu 4 atau 5 tahun. Sukma baru lulus setelah 16 tahun.
Selama itulah Sukma digembleng sendiri oleh bapaknya. Justru Sukma-lah yang pertama dipercaya menulis angka di cheque bank.
Pernah Sukma salah dalam menulis angka rupiah. Nol-nya kelebihan. Eka memarahinya habis-habisan. Di bentak-bentak: betapa bahayanya salah dalam menulis angka di lembaran cheque.
Di universitas beneran tidak seperti itu. Pun kalau salah menulis jawaban tidak akan sampai dimarahi dosen sampai begitu.
Bagaimana dengan Hong Leong? Yang dianggap membelot? Yang sejak awal memilih merintis usaha sendiri?
Eka sangat kecewa. Jengkel. Marah. Tapi Hong Leong ternyata sukses. Menjadi pengusaha properti terkemuka di Singapura.
Banyak yang berharap akhirnya Eka harus memuji anaknya itu. Tapi pujian tidak pernah datang.
Suatu saat teman Eka menggodanya: Anakmu itu hebat lho. Sukses besar di Singapura.
Eka tidak terlalu mengambil perhatian. Tapi temannya itu terus bicara tentang kesuksesan Hong Leong. Akhirnya Eka nyeletuk: Singa tidak akan melahirkan anak anjing!
Hong Leong akhirnya mendengar bocoran cerita tentang ‘singa yang tidak akan melahirkan anak anjing’ itu. Sang anak sangat terharu. Ternyata sang bapak memuji kesuksesannya. Sebengal apa pun awalnya. Hanya saja pujian itu disimpan di lubuk hatinya yang paling dalam.
Beberapa non-keluarga juga memberi kesaksian malam itu. Salah satunya Stephen Huang. Yang dikirim Shang Ren ke Jakarta. Sebagai utusan khususnya. Shang Ren tidak pernah ke luar Taiwan. Tidak mau naik pesawat terbang.
“Semua bilang Pak Eka itu orang yang tegas dan selalu serius,” ujar Huang dalam bahasa Mandarin. “Tapi Pak Eka itu sangat suka humor,” tambahnya.
Kedatangan Huang selalu ditunggu Eka. Untuk didengar cerita-cerita humornya.
“Malam ini saya akan ceritakan dua saja. Yang paling disukai pak Eka,” ujar Huang. Yang kini tinggal di Los Angeles, Amerika.
Yang pertama kisah kasir. Yang ditodong pistol di dahinya. Dirampok.
“Saya mau saja memberikan uang ini. Tapi akan ada masalah besar,” ujar si kasir.
“Masalah apa?,” tanya si perampok.
“Kalau uang ini saya berikan bos saya pasti tidak percaya kalau saya bilang dirampok. Saya tetap akan dibilang korupsi. Saya akan dipecat,” jawabnya.
“Maumu bagaimana?,” tanya perampok.
“Tembaklah topi saya ini dua kali. Biar topi saya berlubang.”
Dor. Dor.
“Tembak juga baju saya ini dua kali.”
Dor. Dor.
“Tembak juga celana saya ini dua kali.”
Dor. Dor.
Si kasir tahu benar hitungan. Pistol itu isinya hanya enam peluru. Maka ditinjulah perampok itu.
Eka senang humor seperti itu. Ada kecerdikan di dalamnya. Seperti merefleksikan kecerdikan dirinya.
Humor kedua tentang lomba mengukir kayu. Yang diadakan raja. Taruhannya hadiah besar. Bagi yang ukirannya paling mirip gambar ikan.
Raja memutuskan pengukir pertama yang menang. Pengukir kedua protes. Ukirannyalah yang lebih baik.
Raja tetap pada putusannya. Hasil ukiran pertama memang lebih sempurna.
“Dalam lomba ini juri yang paling tepat adalah kucing,” kata pengukir kedua. “Kucing-lah yang paling tahu mana yang lebih mirip ikan,” tambahnya.
Raja manggut-manggut. Mengakui alasan pengukir kedua. Lalu dipanggillah kucing. Akan dilihat. Mana yang lebih menimbulkan selera untuk dimakan.
Sang kucing ternyata mendatangi ukiran ikan kedua. Menjilat-njilatnya lama.
Maka pengukir kedualah yang kemudian dinyatakan menang.
Dapat hadiah besar.
Kemudian hari si pengukir kedua membuka rahasia kemenangannya.
“Alat ukir yang saya pakai itu saya olesi ikan bakar,” katanya.(dahlan iskan)