Bunuh diri yang dilakukan mantan Kepala BPN Kota Denpasar dan Badung, Tri Nugraha, 53, di pengujung Agustus lalu mengejutkan semua orang.
Selain jaksa dan polisi yang mengawal, pengacara almarhum yaitu Harmaini Idris Hasibuan menjadi saksi hidup peristiwa “harakiri” itu terjadi.
Bagaimana sikap mendiang Tri selama ini dalam menghadapi kasus yang membelitnya, hingga detik-detik terakhir sebelum bunuh diri terjadi,
semua diungkapkan Harmaini dalam wawancara khusus dengan wartawan Jawa Pos Radar Bali. Berikut wawancaranya.
Sejak kapan Anda kenal dengan almarhum Tri Nugraha?
Sejak bulan Juli 2011. Saat itu almarhum menjabat sebagai Kepala Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Badung, dan kami sebagai pelapor dalam upaya hukum
mengajukan gugat konflik kepada Kakantah Kabupaten Badung atas tanah Telajakan Pura Dalem Balangan melawan Hari Boedi Hartono.
Bisa diceritakan secara singkat perkenalan Anda, hingga ditunjuk sebagai Penasihat Hukum?
Hasil dari gugat konflik terhadap Kakantah Kabupaten Badung yang saat itu dijabat oleh almarhum, di mana ternyata almarhum sependapat dengan kami, bahwa isi gugatan kami tersebut dibenarkan.
Dan, almarhum merekomendasikan agar dikabulkan kepada Kanwil Pertanahan Provinsi Bali. Almarhum menyebut bahwa tidak terjadi tumpang tindih
kepemilikan atas tanah telajakan Pura Dalem Balangan dengan Sertifikat Hak Milik atas nama Hari Boedi Hartono.
Adanya kesepahaman ini, bagi kami almarhum sangat perhatian dan menghormati Pura Dalem Balangan Jimbaran dengan tanah telajakannya sebagai tempat ibadah (rumah Tuhan).
Dari itu kami sangat tertarik dengan kepribadian almarhum.
Jadi, seberapa dekat hubungan Anda dengan Tri Nugraha?
Hubungan kami dekat kembali pada Februari 2020, sejak adanya perkara dugaan tindak pidana korupsi gratifikasi dan TPPU dengan tersangka atas nama almarhum.
Selama mendampingi Tri Nugraha, bagaimana sosok almarhum, apa yang Anda paling ingat dari almarhum?
Selama mendampingi almarhum jika kami datang ke Jakarta almarhum suka menginap satu kamar bersama kami di Hotel Santika.
Begitu juga Minggu lampau dari tanggal 16, 17, dan 18 Agustus 2020 kami menginap dalam satu kamar di Hotel Santika Mataram, NTB.
Bagi kami, almarhum adalah sosok yang santun, dermawan, dan tipenya introvert. Soal ibadah almarhum lebih saleh dan tawaduk daripada kami.
Kami melihat almarhum setiap pukul 03.00 dini hari selalu salat tahajud sambil menangis. Almarhum puasa sunah Senin dan Kamis. (maulana sandijaya)