Bunuh diri yang dilakukan mantan Kepala BPN Kota Denpasar dan Badung, Tri Nugraha, 53, di pengujung Agustus lalu menceritakan sisi lain dari sosok almarhum.
Tak terkecuali bagi pengacara tersangka, Harmaini Idris Hasibuan. Harmaini dalam wawancara khusus dengan wartawan Jawa Pos Radar Bali mengungkap banyak hal tentang kliennya itu. Seperti apa?
Bisa Anda ceritakan bagaimana kronologi Anda menemani Tri Nugraha pada 31 Agustus 2020 mulai pukul 10.00 – 20.00 Wita, saat terjadinya peristiwa bunuh diri?
Wah, kalau bagaimana cerita dan kronologi yang terjadi pada 31 Agustus 2020 tersebut telah kami sampaikan di dalam berita acara pemeriksaan di Direskrimum Polda Bali, mulai 31 Agustus, 1 September dan 3 September 2020.
Itu juga saya sampaikan dalam wawancara yang dibuat di Kejati Bali pada 2 dan 3 September 2020 oleh penyidik dari Jamwas Kejaksaan Agung RI. Jadi, tentang itu tolong ditanyakan kepada mereka.
Bagaimana suasana pemeriksaan oleh jaksa penyidik terhadap Tri? Apakah tegang atau biasa saja?
Biasa saja, penuh kekeluargaan. Setiap almarhum dan kami diperiksa penyidik Kejati Bali, kami selalu disuguhi makanan dan minuman.
Dan, sudah barang tentu jaksa penyidik dalam mengajukan pertanyaan lebih banyak bersifat bertanya disebabkan perkara ini berdasarkan adanya laporan temuan dari PPATK,
di mana beban pembuktian ada pada tersangka (almarhum). Sehingga tersangkalah yang harus lebih banyak aktif membuktikan dirinya tidak bersalah.
Saat diperiksa 31 Agustus, pada pukul 12.00 almarhum sempat pamit salat dan makan siang. Apa yang Anda ketahui tentang hal itu?
Karena pembuatan berita acara sudah selesai dan waktu salat duhur sudah masuk, seperti biasa kami diizinkan untuk salat ke musala yang terletak di lantai bawah dekat pintu gerbang masuk Kejati Bali.
Setelah pamit salat, Tri sempat lapor via WhatsApp (WA) sedang dirawat di RS Bali Medika siang itu. Yang mengirim pesan WA ke jaksa penyidik Tri atau Anda diminta tolong?
Almarhum pada saat berbaring sedang diperiksa dokter meminta tolong kepada saya agar melaporkan keberadaannya.
Almarhum saat itu yang sedang dirawat di IGD Bali Med di Jalan Mahendradatta, Padang Sambian. Sambil menyerahkan handphone-nya, almarhum kami foto dalam keadaan diperiksa.
Bukti-bukti pendaftaran perawatan di RS Bali Med bersamaan kami kirim via WA ke jaksa Anang Suhartono yang saat itu berada di Kejati Bali.
Tujuannya agar jaksa mengetahui bahwa almarhum berada di rumah sakit. Selain itu agar jaksa tidak berpikiran bahwa almarhum melarikan diri.
Tri Nugraha datang ke Kejati Bali bersama Anda. Tas yang dibawa apakah isinya atau dalamnya sempat digeledah Jaksa? Atau langsung ditaruh di dalam loker?
Waktu kami datang di Kejati Bali melalui lobi depan telah disambut oleh petugas dengan penjagaan ketat. Almarhum diperintahkan untuk menitip tas maupun handphone ke dalam loker.
Proses almarhum memasukkan tas dompet berwarna hitam tersebut terjadi di hadapan petugas piket dan petugas PTSP dikawal oleh para jaksa.
Setelah almarhum memasukkan tas hitam berikut handphone ke dalam loker, petugas kejaksaan menyerahkan kunci loker untuk dibawa kepada almarhum begitu juga dengan kami.
Tentang tas yang dibawa almarhum, apakah isinya atau dalamnya sempat digeledah jaksa atau tidak, kami tidak tahu.
Apakah Anda tahu jika di dalam tas itu berisi pistol?
Tidak tahu.
Apa yang Anda ketahui tentang isi dalam tas tersebut?
Sampai kejadian almarhum menembak dirinya kami tidak tahu isi di dalam tas tersebut.
Tri menembak dadanya hanya dua menit setelah Anda keluar kamar mandi. Apakah ada yang disampaikan Tri sebelum Anda meninggalkan kamar mandi?
Waktu terdengar letusan, semua yang mengawal almarhum yaitu dua polisi dan lebih dari lima orang jaksa begitu juga dengan kami kaget dan berhamburan tidak tentu arah.
Tetapi pada saat sebelum almarhum mau menutup pintu kedua kamar WC, di mana almarhum menembak dirinya, saat itu kami masih di luar pintu pertama.
Kami mendengar jaksa Ilham menyapa dengan bercanda untuk mencairkan suasana, agar tidak tegang dengan bahasa: “Pak Tri, kok kencing terus.” Almarhum menjawab: “Mungkin stress…he…he…he…” sambil menutup pintu kedua.
Setelah mendengar letusan senjata, apa yang Anda lakukan bersama jaksa dan polisi yang mengawal?
Lari berhamburan karena kaget mendengar letusan.
Apa harapan Anda ke depan terhadap kasus ini?
Kami berharap, baik kejaksaan maupun kepolisian agar ke depan lebih manusiawi dalam memperlakukan tersangka.
Khusus untuk kasus ini yang menyebabkan klien kami menembak dirinya karena putus asa. Sesungguhnya ada kekurangan di dalam penanganan oleh pihak kejaksaan terhadap klien kami.
Di mana kondisi tersangka pada saat hendak ditahan telah berupaya mengajukan jaminan berupa tanah sebanding dengan uang yang diduga sebagai hasil gratifikasi tersebut.
Selain itu, kondisi kesehatan almarhum seharusnya yang mengeluarkan surat keterangan sehat (bukan dokter umum) tetapi dokter ahli jantung.
Almarhum mengidap penyakit jantung, terbukti pernah operasi jantung dan di dalam badannya tertanam dua alat (ring) untuk membantu kelancaran peredaran darah almarhum.
Pembicaraan almarhum pada hari kejadian kepada kami sangat yakin tidak akan ditahan karena kata almarhum, almarhum dalam keadaan sakit.
Pertanyaan terakhir, boleh dijawab boleh tidak. Apakah fee lawyer yang menjadi hak Anda sudah dipenuhi semua?
Berhubung kami dengan almarhum hubungan pertemanannya sudah seperti saudara sendiri, dan kami melihat kondisi ekonomi almarhum memang lagi sangat sulit,
terutama karena semua rekening dan asset sudah diblokir dan disita. Karena itu kami tidak pernah membicarakan masalah fee lawyer.
Kami juga tidak membuat perjanjian jika perkaranya selesai akan mendapatkan sukses fee. Semuanya kami lakukan ikhlas dan tulus sebagai saudara yang membantu saudaranya yang lagi kesulitan.
Dari kami kuasa hukum, atas nama almarhum memohon maaf kepada masyarakat atau siapapun yang pernah merasa dirugikan atas kesalahan almarhum baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. (maulana sandijaya)