28.1 C
Jakarta
22 November 2024, 18:51 PM WIB

Dirikan Tenda di Pantai, Berdoa Agar Gunung Agung Tak Meletus

 

Tradisi unik di Bali tak pernah kehabisan cerita.  Termasuk tradisi nyekar di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Sawan, Buleleng yang berlangsung kemarin (5/10).

 

I WAYAN WIDYANTARA, Singaraja

SUARA riuh dan kesibukan terdengar saat ratusan warga Desa Kerobokan dari anak-anak hingga orang dewasa ini sibuk mendirikan tenda di Pantai Kerobokan.

Ada yang membawa tenda siap pasang, ada pula yang membangun tenda menggunakan terpal dan bambu sebagai penyangga. Sekilas seolah mau bangun tenda pengungsian, tapi bukan.

Dalam sekejap, tenda-tenda itu pun berdiri tegak. Sedangkan para pengurus desa terlihat sibuk menyiapkan upacara keagamaan.

“Sesuai dengan tradisi adat istiadat Desa Pakraman Kerobokan, setiap tahun diadakan upacara nyekar dan pakelem di sini,” terang Jro Bendesa Adat Pakraman Kerobokan Wayan Suma Wijaya, kemarin.

Upacara yang diikuti oleh seluruh warga Kerobokan dengan jumlah 635 KK ini, bertujuan untuk memohon kepada Ida Bhatara Baruna (penguasa lautan) agar diberikan kekuatan.

“Terlebih dalam kondisi sekarang, Gunung Agung dalam kondisi yang kurang baik,” ungkapnya. Uniknya, ritual nyekar dan pakelem ini ada aturannya tersendiri.

Jro Suma memaparkan, rangkaian upacara diawali dengan sembahyang di Pura Segara pukul 21.00. Kemudian bersembahyang di lokasi tempat dibangunnya tenda.

Setelah itu dilakukan Puja Tri Sandya dan panca sembah oleh seluruh warga. Setelah melakukan persembahyangan tersebut, warga beristirahat sambil dipertontonkan pertunjukan seni, seperti gong gebyar.

Usai beristirahat, pukul 04.30 pagi, upacara agama sesuai tradisi kembali dilakukan. Upacara dimulai dengan menyucikan benda-benda sakral yang ada.

Setelah itu mengaturkan banten pakelem yang dihanyutkan ke laut dengan menggunakan pedau (perahu kecil untuk sesajen) dan terakhir dilakukan persembahyangan bersama kembali di Pantai Kerobokan.

“Ini rangkaian upacara terakhir dalam satu tahun di sini. Kan ada 14 upacara dalam satu tahun itu, dari pujawali di pura desa hingga melasti. Nah, upacara ini sebagai permakluman atas kesalahan-kesalahan selama melaksanakan 14 upacara sebelumnya tersebut,” terangnya

Lalu, tenda yang dibangun oleh warga ini untuk apa? “Ya, ini untuk mekemit di sini (Pantai Kerobokan). Seluruh warga tidak boleh pulang. Kalau pun pulang mesti dengan alasan emergency. Ini sudah jadi tradisi dari tahun ke tahun di sini,” terangnya.

Sore kemarin sembari menikmati sunset di pantai, para warga pun terlihat begitu antusias membangun tenda.

Sementara para perempuan dan anak-anak sibuk membawa bekal makanan untuk mekemit di malam harinya.

Ada juga yang mengajak seluruh keluarganya yang sebelumnya bekerja di luar buleleng, seperti di Denpasar dan sebagainya.

Terkait kondisi Gunung Agung, Jro Suma menerangkan upacara kali ini akan sedikit berbeda dengan upacara sebelumnya.

Di mana, dalam persembahyangan panca sembah oleh seluruh warga, ditambahkan satu cakupan tangan lagi dengan doa agar Gunung Agung tidak meletus.

“Kami mohon dengan kebesaran beliau (Tuhan), agar Gunung Agung tidak jadi meletus. Kasihan para pengungsi,” terangnya.

Diketahui, tradisi nyekar dengan mekemit di pantai ini hanya dilakukan oleh tiga desa adat di Kecamatan Sawan, yakni Desa Pakraman Kerobokan, Desa Pakraman Kloncing, dan Desa Pakraman Sinabun.

Hanya saja waktu yang berbeda. Rencananya sehari setelah Desa Pakraman Kerobokan melakukan upacara nyekar, keesokannya akan dilakukan oleh Desa Pakraman Sinabun di Pantai Kerobokan juga.

Sedangkan Desa Pakraman Kloncing akan menyusul di waktu lainnya dan di tempat yang berbeda

 

Tradisi unik di Bali tak pernah kehabisan cerita.  Termasuk tradisi nyekar di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Sawan, Buleleng yang berlangsung kemarin (5/10).

 

I WAYAN WIDYANTARA, Singaraja

SUARA riuh dan kesibukan terdengar saat ratusan warga Desa Kerobokan dari anak-anak hingga orang dewasa ini sibuk mendirikan tenda di Pantai Kerobokan.

Ada yang membawa tenda siap pasang, ada pula yang membangun tenda menggunakan terpal dan bambu sebagai penyangga. Sekilas seolah mau bangun tenda pengungsian, tapi bukan.

Dalam sekejap, tenda-tenda itu pun berdiri tegak. Sedangkan para pengurus desa terlihat sibuk menyiapkan upacara keagamaan.

“Sesuai dengan tradisi adat istiadat Desa Pakraman Kerobokan, setiap tahun diadakan upacara nyekar dan pakelem di sini,” terang Jro Bendesa Adat Pakraman Kerobokan Wayan Suma Wijaya, kemarin.

Upacara yang diikuti oleh seluruh warga Kerobokan dengan jumlah 635 KK ini, bertujuan untuk memohon kepada Ida Bhatara Baruna (penguasa lautan) agar diberikan kekuatan.

“Terlebih dalam kondisi sekarang, Gunung Agung dalam kondisi yang kurang baik,” ungkapnya. Uniknya, ritual nyekar dan pakelem ini ada aturannya tersendiri.

Jro Suma memaparkan, rangkaian upacara diawali dengan sembahyang di Pura Segara pukul 21.00. Kemudian bersembahyang di lokasi tempat dibangunnya tenda.

Setelah itu dilakukan Puja Tri Sandya dan panca sembah oleh seluruh warga. Setelah melakukan persembahyangan tersebut, warga beristirahat sambil dipertontonkan pertunjukan seni, seperti gong gebyar.

Usai beristirahat, pukul 04.30 pagi, upacara agama sesuai tradisi kembali dilakukan. Upacara dimulai dengan menyucikan benda-benda sakral yang ada.

Setelah itu mengaturkan banten pakelem yang dihanyutkan ke laut dengan menggunakan pedau (perahu kecil untuk sesajen) dan terakhir dilakukan persembahyangan bersama kembali di Pantai Kerobokan.

“Ini rangkaian upacara terakhir dalam satu tahun di sini. Kan ada 14 upacara dalam satu tahun itu, dari pujawali di pura desa hingga melasti. Nah, upacara ini sebagai permakluman atas kesalahan-kesalahan selama melaksanakan 14 upacara sebelumnya tersebut,” terangnya

Lalu, tenda yang dibangun oleh warga ini untuk apa? “Ya, ini untuk mekemit di sini (Pantai Kerobokan). Seluruh warga tidak boleh pulang. Kalau pun pulang mesti dengan alasan emergency. Ini sudah jadi tradisi dari tahun ke tahun di sini,” terangnya.

Sore kemarin sembari menikmati sunset di pantai, para warga pun terlihat begitu antusias membangun tenda.

Sementara para perempuan dan anak-anak sibuk membawa bekal makanan untuk mekemit di malam harinya.

Ada juga yang mengajak seluruh keluarganya yang sebelumnya bekerja di luar buleleng, seperti di Denpasar dan sebagainya.

Terkait kondisi Gunung Agung, Jro Suma menerangkan upacara kali ini akan sedikit berbeda dengan upacara sebelumnya.

Di mana, dalam persembahyangan panca sembah oleh seluruh warga, ditambahkan satu cakupan tangan lagi dengan doa agar Gunung Agung tidak meletus.

“Kami mohon dengan kebesaran beliau (Tuhan), agar Gunung Agung tidak jadi meletus. Kasihan para pengungsi,” terangnya.

Diketahui, tradisi nyekar dengan mekemit di pantai ini hanya dilakukan oleh tiga desa adat di Kecamatan Sawan, yakni Desa Pakraman Kerobokan, Desa Pakraman Kloncing, dan Desa Pakraman Sinabun.

Hanya saja waktu yang berbeda. Rencananya sehari setelah Desa Pakraman Kerobokan melakukan upacara nyekar, keesokannya akan dilakukan oleh Desa Pakraman Sinabun di Pantai Kerobokan juga.

Sedangkan Desa Pakraman Kloncing akan menyusul di waktu lainnya dan di tempat yang berbeda

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/