Selain kepolisian, kejaksaan juga harus bekerja keras mengungkap kasus pembunuhan berencana AA Gde Bagus Narendra Prabangsa, wartawan Jawa Pos Radar Bali.
Meski bukti sudah gamblang, persidangan berjalan alot lantaran para pelaku tiba-tiba mencabut keterangannya.
Wartawan Jawa Pos Radar Bali, Maulana Sandijaya berhasil mewawancarai I Nyoman Sucitrawan, salah satu anggota Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang bertugas saat itu.
Menurut Kajari Amlapura ini, berdasar fakta persidangan Prabangsa memang dihabisi secara berencana.
Bagaimana keterangan para pelaku di pengadilan?
Di Pengadilan keterangan saksi ada yang berbalik (tidak sesuai BAP) ada juga yang tetap. Kalau dia (Susrama) memang tidak mengakui dari awal.
Makanya, bagi kami keterangannya dia (Susrama) berbelit-belit dan tidak mau mengakui terus terang.
Kalau sedikit saja dia mau mengakui, tidak mungkin tuntutannya hukuman mati. Karena aturan menuntut itu ada hal yang meringankan dan memberatkan.
Nah, hal yang meringankan itulah yang tidak ada pada Susrama. Dia tidak mengakui, berbelit-belit. Intinya tidak ada yang meringankan. Yang banyak itu hal yang memberatkan semua.
Seandainya ada hal yang meringankan, tidak mungkin jaksa menuntut hukuman mati. Bagaimanapun dia melakukan tapi kalau sudah mengakui tidak mungkin dituntut hukuman mati.
Dia tidak mengakui, sementara semua bukti mendukung, itulah yang menjadi hal yang memberatkan.
Kalau seandainya Susrama mengakui, berapa tuntutannya?
Intinya tidak mungkin dituntut hukuman mati. Mungkin 20 tahun atau lainnya. Misal dia mau mengakui perbuatan, berterus terang, tidak mempersulit persidangan, atau tulang punggung keluarga.
Tapi, karena dia sudah ngotot, ditanya tidak mau menjelaskan dan tutup mulut. Ya, sudah. Akhirnya mempersulit dia sendiri. Itulah pertimbangan waktu itu menuntut hukuman mati.
Bagaimana rasanya ketika para terdakwa tiba-tiba tidak mau mengakui keterangannya di pengadilan?
Kalau jengkel atau rasa bagaimana tidak ada. Jaksa itu tugasnya pembuktian. Kasus ini faktanya terungkap dan buktinya sudah ada semua.
Kalau faktanya tidak ada, kan tidak mungkin kami nyatakan lengkap berkasnya dan diajukan ke pengadilan.
Kan faktanya terungkap semua. Susrama beralibi ketika pembunuhan ada di suatu tempat di Klungkung.
Padahal, faktanya setelah dicek radius Handphone (HP) milik Susrama, itu tidak di Klungkung. Nah, hal seperti itu yang otomatis tidak cocok.
Dia juga bilang ada di ATM saat kejadian itu. Tapi, setelah dicek melalui sinyal HP tidak ada di ATM yang disebut. Dicek di bank juga tidak cocok.
Keterangan di BAP polisi seperti apa?
Kalau di berkas riil (dari polisi), semua pelaku mengakui perbuatannya berterus terang. Kecuali Susrama yang tetap tidak mau mengakui.
Teman-temannya semua mengakui. Bahwa terjadi bag,bug, bag, bug (penyiksaan). Tapi, setelah tahap dua pelimpahan dari polisi ke kejaksaan, semua berbalik arah.
Keterangan para tersangka dan barang bukti berbalik arah semua. Mereka menyangkal, bahkan mencabut semua keterangannya.
Di persidangan pun mereka mencabut keterangannya dalam berkas. Sampai akhirnya ada salah satu saksi (pelaku) yang mengaku.
Saksi itu mengatakan “Ayolah mengaku, orang kita yang melakukan.” Dari pengakuan saksi itulah akhirnya mereka mulai pecah kongsi.
Tidak kaget waktu para pelaku membantah saat pelimpahan tahap dua?
Jelas kaget, semua jaksa kaget. Kok bisa mendadak berubah. Tapi, itu (membantah) hak tersangka. Akhirnya kami melakukan pendekatan secara kemanusiaan.
Kami katakan pada mereka, “Kasihan anak dan istrimu. Apakah kamu masih tetap berkorban?” Kami sarankan mereka mengakui dan berterus terang, jangan menutup-nutupi agar ada hal yang meringankan.
Akhirnya ada salah satu pelaku yang mengakui itu. Kebetulan yang mengaku itu menjadi saksi untuk pelaku lainnya.
Pelaku yang mau mengakui itu mengatakan, “Terus terang saja Bli, Bli itu maksudnya Susrama. Bahwa kita yang melakukan.” Akhirnya ada jalan.
Kok bisa berbalik arah, menurut Anda apa penyebabnya?
Mungkin ini ya, kami kan tidak tahu juga, mungkin ada pengaruh apa dari luar. Tidak tahu kok tiba-tiba keterangan mereka berubah total setelah pelimpahan tahap dua penyerahan tersangka dan barang bukti.
Tiba-tiba langsung berubah. Tapi, bersyukur di persidangan kami bisa membuktikan. Bukan hanya kami bisa membuktikan, hakim juga yakin dengan apa yang kami buktikan.
Tuntutan hukuman mati yang kami ajukan, mungkin hakim masih melihat (Susrama) memiliki tanggungan keluarga, sehingga hakim memiliki pertimbangan menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup.
Susrama dihukum paling berat karena dia aktor intelektual. Seingat Anda, apa bukti yang menguatkan Susrama dinilai sebagai aktor intelektual?
Di berkas polisi sudah disebutkan. Keterangan semua saksi memang Susrama adalah aktor intelektualnya.
Dia yang menyuruh menjemput Prabangsa kemudian dibawa ke rumahnya Susrama. Banyak buktinya bahwa Susrama aktornya. Eksekusi kan di rumahnya Susrama juga.
Walaupun Susrama tidak mengakui, temannya mengakui disuruh Susrama. Sebenarnya di berkas itu sudah bagus dan jelas. Tapi, tidak tahu tiba-tiba berubah langsung.
Apa yang membuat tim jaksa yakin mengajukan tuntutan hukuman mati?
Pertama, tetap karena pembunuhan berencana sebagaimana diatur dan diancam Pasal 340 KUHP. Dalam pasal itu ancaman hukuman maksimalnya hukuman mati.
Alasan kedua, yang saya bilang tadi, terdakwa berbelit-belit, tidak mau mengakui atau berterus terang, dan menghambat persidangan.
Tidak ada hal yang meringankan, semua memberatkan. Coba waktu itu dia mengaku melakukan pembunuhan karena alasannya begini, secara manusia kami kan sudah tahu alasannya.
Kalau sudah mengakui otomatis meringankan. Kan tidak mungkin orang sudah mengakui tapi dituntut hukuman maksimal. Kami pun tetap memiliki hati nurani.
Kasus ini mirip dengan kasus Balian Cetik di Karangasem. Pelakunya divonis mati karena mencampur racun di dalam kopi.
Korbannya kalau tidak salah sekeluarga. Balian cetik kan juga tidak mau mengakui, jadi sama dengan Susrama. Beliau (Susrama) ini harusnya bersyukur.
Bersyukur dipidana penjara seumur hidup?
Ya, karena hakim masih mempertimbangkan rasa kemanusiaan, sehingga hukumannya seumur hidup dari tuntutan hukuman mati.
Kalau melihat kronologi kejadiannya, kasus ini benar-benar direncanakan?
Iya. Waktu itu kan almarhum (Prabangsa) dijemput di pertigaan di warung. Kalau nggak salah, almarhum ditelepon terus dijemput dibawa ke rumahnya Susrama, terus diikat dan disiksa.
Kan ditemukan juga balok kayu, otomatis direncanakan. Kalau tidak terencana kan tidak mungkin ada penjemputan. Kalau tidak direncanakan, bertemu di jalan langsung berkelahi sampai mati.
Dan, pembuangan jenazah ke laut pun sudah direncanakan dengan naik jukung itu. Di berkas pelaku yang lain mengakui tugasnya masing-masing. Ada yang memegang bagian ini (badan) dan ini.
Sepuluh tahun berlalu, Susrama tetap membantah. Bagaimana menurut Anda?
Tidak apa-apa, itu haknya dia. Kami kan tidak memaksa. Kalau dia punya alibi, bisa saja mengajukan peninjauan ulang karena ada novum atau bukti baru untuk menyatakan bahwa, misalnya saya waktu itu posisi ada di sini.
Haknya dia kan sudah kami kasih. Banding ke Pengadilan Tinggi, sudah dikasih. Kasasi ke Mahkamah Agung (MA) juga sudah kami berikan.
Dengan adanya remisi hukuman menjadi 20 tahun, menurut Anda?
Remisi itu kewenangan Kementerian Hukum dan HAM. Kami tidak bisa mencampuri kewenangan Kementerian Hukum dan HAM.
Dirasa pantas dan berhak mendapat remisi atau tidak mereka yang menilai. Kalau dirasa pantas kan bisa saja.
Bagi kami, masalah itu sudah inkracht atau berkekuatan hukum tetap dan sudah selesai. Kecuali hukumannya mati, masih menjadi tugas kami untuk eksekusi. (*)