29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 2:33 AM WIB

Harga Anjlok, Peternak Babi Mengeluh, Pemerintah Dituding Gagal

Keluh kesah peternak babi diluapkan saat sosialisasi yang digelar Dinas Pertanian (Distan) Kabupaten Gianyar di aula Kantor Desa Singakerta, Kecamatan Sukawati.

Hadir Gabungan Usaha Peternakan Babi Indonesia (GUPBI) Bali. Sayangnya, peternak menilai sosialisasi dianggap terlambat karena sudah banyak babi mati. Bahkan, harga di pasaran anjlok.

 

 

INDRA PRASETIA, Gianyar

SALAH satu peternak babi Made Rai Sudiana memelihara induk babi sebanyak 10 ekor dan babi 12 ekor.

Namun, semuanya pun mati terserang virus yang dicurigai virus African Swine Fever (ASF). “Berawal ternak saya tidak mau makan,

sudah disuntik tapi tidak ada reaksinya. Sampai akhirnya semua ternak saya itu mati,” ujar Made Rai Sudiana.

Lantaran seluruh babinya mati, maka kandang babi pun kosong semua. “Kandangnya sekarang kosong tidak tersisa satupun. Kantong pun ikut kosong,” keluhnya.

Made Rai Sudiana juga mengaku merugi hingga jutaan rupiah. Dia merinci, babi memerlukan pakan yang besar.

Untuk satu ekor babi menghabiskan pakan Rp 500 ribu per ekor. Sedangkan, induk babi mencapai Rp 3 juta.

Diperkirakan, kerugian akibat wabah ini mencapai puluhan juta rupiah. Dia juga mengaku baru pertama kali berhadapan dengan kondisi seperti sekarang lantaran virus yang dikatakan tidak ada obatnya. 

“Saya menjadi peternak babi sejak tahun 1987, kematian babi sebenarnya dari dulu sudah ada akibat virus. Tetapi yang sekarang ini tidak bisa ditawar,

dulu pernah ada kematian babi akibat virus tapi bisa ditanggulangi, ini tumben seperti ini,” ungkapnya. 

Disinggung kesibukannya saat ini, Sudiana mengaku hanya berdiam diri saja di rumahnya. Selain itu ia juga tengah menunggu langkah pemerintah terkait untuk menindaklanjuti wabah virus yang membuat babi mati masal saat ini.

“Sekarang hanya diam saja di rumah, mau bagaimana lagi tidak ada kegiatan. Selain itu kondisi saya juga sudah sakit dan harus rutin melakukan cuci darah,” ujarnya. 

Ketua GUPBI Bali Ketut Hari Suyasa mengakui kematian babi di Bali masih tergolong rendah dibanding daerah lain di tingkat nasional.

“Untuk kematian di Bali mencapai 1.000 ekor, itu masih kecil dibandingkan dengan daerah lain,” jelasnya.

Meski begitu, kematian babi ini sudah merugikan petani. Apalagi babi yang disebut sebagai produk budaya juga merugikan masyarakat.

Terlebih babi juga identik dengan hari raya Galungan yang sebentar lagi akan dirayakan masyarakat Bali.

Dengan adanya kasus ini, dia menuding pemerintah gagal melindungi masyarakat dalam permasalahan kematian babi secara masal ini.

Sehingga ia hanya menyarankan untuk menunggu hasil lab yang dites di Medan, apakah sample babi yang mati akibat virus ASF atau bukan.

Mengingat kewenangan untuk mengeluarkan hasilnya ada di Medan, dan yang mengumumkan provinsi. 

“Saya harapkan agar masyarakat tidak berhenti mengkonsumsi daging babi, karena penyakitnya tidak menular kepada manusia,” tegasnya. 

Kepala Bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (Keswan Kesmas Vet) Dinas Pertanian Gianyar I Made Santiarka Wijaya meminta masyarakat untuk mengambil beberapa upaya.

“Bagi peternak yang ternak babinya sudah terjangkit dan sudah mati harus dikubur. Jangan membuang ternak yang sudah mati ke sungai, saluran irigasi dan tempat pembuangan akhir,” pintanya.

Dia juga mewanti-wanti supaya peterak tidak nekat menjual ternak sakit atau mati. Guna mencegah penyebaran penyakit.

“Jika kandang sudah kosong untuk sementara jangan dulu memasukkan babi sampai situasi penyakit sudah terkendali,” pungkasnya. (*)

Keluh kesah peternak babi diluapkan saat sosialisasi yang digelar Dinas Pertanian (Distan) Kabupaten Gianyar di aula Kantor Desa Singakerta, Kecamatan Sukawati.

Hadir Gabungan Usaha Peternakan Babi Indonesia (GUPBI) Bali. Sayangnya, peternak menilai sosialisasi dianggap terlambat karena sudah banyak babi mati. Bahkan, harga di pasaran anjlok.

 

 

INDRA PRASETIA, Gianyar

SALAH satu peternak babi Made Rai Sudiana memelihara induk babi sebanyak 10 ekor dan babi 12 ekor.

Namun, semuanya pun mati terserang virus yang dicurigai virus African Swine Fever (ASF). “Berawal ternak saya tidak mau makan,

sudah disuntik tapi tidak ada reaksinya. Sampai akhirnya semua ternak saya itu mati,” ujar Made Rai Sudiana.

Lantaran seluruh babinya mati, maka kandang babi pun kosong semua. “Kandangnya sekarang kosong tidak tersisa satupun. Kantong pun ikut kosong,” keluhnya.

Made Rai Sudiana juga mengaku merugi hingga jutaan rupiah. Dia merinci, babi memerlukan pakan yang besar.

Untuk satu ekor babi menghabiskan pakan Rp 500 ribu per ekor. Sedangkan, induk babi mencapai Rp 3 juta.

Diperkirakan, kerugian akibat wabah ini mencapai puluhan juta rupiah. Dia juga mengaku baru pertama kali berhadapan dengan kondisi seperti sekarang lantaran virus yang dikatakan tidak ada obatnya. 

“Saya menjadi peternak babi sejak tahun 1987, kematian babi sebenarnya dari dulu sudah ada akibat virus. Tetapi yang sekarang ini tidak bisa ditawar,

dulu pernah ada kematian babi akibat virus tapi bisa ditanggulangi, ini tumben seperti ini,” ungkapnya. 

Disinggung kesibukannya saat ini, Sudiana mengaku hanya berdiam diri saja di rumahnya. Selain itu ia juga tengah menunggu langkah pemerintah terkait untuk menindaklanjuti wabah virus yang membuat babi mati masal saat ini.

“Sekarang hanya diam saja di rumah, mau bagaimana lagi tidak ada kegiatan. Selain itu kondisi saya juga sudah sakit dan harus rutin melakukan cuci darah,” ujarnya. 

Ketua GUPBI Bali Ketut Hari Suyasa mengakui kematian babi di Bali masih tergolong rendah dibanding daerah lain di tingkat nasional.

“Untuk kematian di Bali mencapai 1.000 ekor, itu masih kecil dibandingkan dengan daerah lain,” jelasnya.

Meski begitu, kematian babi ini sudah merugikan petani. Apalagi babi yang disebut sebagai produk budaya juga merugikan masyarakat.

Terlebih babi juga identik dengan hari raya Galungan yang sebentar lagi akan dirayakan masyarakat Bali.

Dengan adanya kasus ini, dia menuding pemerintah gagal melindungi masyarakat dalam permasalahan kematian babi secara masal ini.

Sehingga ia hanya menyarankan untuk menunggu hasil lab yang dites di Medan, apakah sample babi yang mati akibat virus ASF atau bukan.

Mengingat kewenangan untuk mengeluarkan hasilnya ada di Medan, dan yang mengumumkan provinsi. 

“Saya harapkan agar masyarakat tidak berhenti mengkonsumsi daging babi, karena penyakitnya tidak menular kepada manusia,” tegasnya. 

Kepala Bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (Keswan Kesmas Vet) Dinas Pertanian Gianyar I Made Santiarka Wijaya meminta masyarakat untuk mengambil beberapa upaya.

“Bagi peternak yang ternak babinya sudah terjangkit dan sudah mati harus dikubur. Jangan membuang ternak yang sudah mati ke sungai, saluran irigasi dan tempat pembuangan akhir,” pintanya.

Dia juga mewanti-wanti supaya peterak tidak nekat menjual ternak sakit atau mati. Guna mencegah penyebaran penyakit.

“Jika kandang sudah kosong untuk sementara jangan dulu memasukkan babi sampai situasi penyakit sudah terkendali,” pungkasnya. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/