26.9 C
Jakarta
14 November 2024, 6:03 AM WIB

Menakar Level Ketakutan Akibat Mewabahnya Virus Corona

Di level berapa tingkat ketakutan Anda pada virus Corona dari Wuhan?

Itulah pertanyaan saya kepada tiga orang teman saya di tiga kota di Tiongkok. Satu orang di Beijing. Satu orang dari Nanchang. Satu lagi dari Dalian.

Saya jelaskan kepada mereka: sangat takut adalah level 10. Tidak takut sama sekali level 1.

“Tidak sampai level 5,” ujar teman saya di Beijing.

Jarak Beijing dan Wuhan adalah 2,5 jam naik pesawat.

“Ketakutan saya di level 7,” ujar teman saya yang di Kota Nanchang.

Nanchang adalah ibu kota propinsi Jiangxi –tetangga Selatan Provinsi Hubei yang beribu kota di Wuhan. Jarak Wuhan dan Nanchang 6 jam menggunakan mobil.

Saya pernah belajar bahasa Mandarin satu bulan penuh di IKIP-nya Jiangxi.

“Ketakutan saya di level 4. Saya sangat percaya pemerintah akan mampu mengatasi virus ini,” ujar teman saya yang di Kota Dalian, kota cantik di Propinsi Liaoning. Kota ini punya pelabuhan terdalam di Tiongkok. Kapal induk terbaru Tiongkok dibuat di Dalian. Cucu saya, seperti diakui menantu saya, adalah ‘made in’ Dalian. Ia mulai hamil saat bersama suaminya menemani saya di Dalian.

Jarak Dalian ke Wuhan 3 jam dengan pesawat.

Kesimpulan saya: kian dekat ke Wuhan kian tinggi ketakutan mereka.

Lalu saya ingat mahasiswi kita yang kuliah di dekat Wuhan –Julinten. Begitu beraninyi. Yang saat saya tanya dulu tingkat ketakutannyi hanya di level 5. Bahwa dia ikut pulang ke Indonesia itu untuk menghormati pemerintah. Yang sudah mengirim pesawat khusus untuk menjemput warga Indonesia di sana.

“Ini bukan soal takut atau tidak. Tapi saya mulai bosan di rumah terus,” ujar teman saya yang di Beijing itu.

Dia memang pengusaha. Yang biasanyi sibuk mondar-mandir Beijing-Wuhan-Hangzhou-Shanghai-Hongkong-Chengdu-Qinghai.

Kini dia di rumah terus. Sejak 23 Januari lalu. Hanya tiga hari sekali keluar rumah –untuk belanja di supermarket terdekat.

“Kalau keluar rumah lebih dari dua jam harus lapor pak RT,” ujarnyi. “Baru sekarang ini saya melihat begitu sepinya Tiongkok,” tambahnyi.

Supermarket terdekat adalah 300 meter dari rumahnyi. Tapi dia memilih ke supermarket yang jauhnya 600 meter. Sekalian menghilangkan kebosanan.

Supermarket itu tidak penuh pembeli. Mereka punya banyak waktu untuk belanja. Tidak terkonsentrasi di jam-jam tertentu.

Mereka yang saya hubungi itu semua sangat percaya pada usaha pemerintah mereka. “Pasti berhasil diatasi. Ini soal waktu saja,” kata mereka. “Dua atau tiga minggu lagi sudah akan berbeda,” tambahnyi.

Tanggal 8 Februari besok adalah hariraya Cap Go Meh. Yang di Tiongkok disebut perayaan tanggal 15. Yakni purnama pertama di bulan pertama Tahun Imlek.

Mereka percaya setelah Cap Go Meh udara berubah. Cap Go Meh dianggap perayaan akan datangnya musim semi. Atau berakhirnya musim salju.

Di musim salju biasanya begitu banyak yang terkena flu. Virus flu merajalela di musim dingin. Pun di Amerika. Menurut data resmi dari Center of Desease Control and Prevention Amerika, jumlah yang meninggal akibat virus flu mencapai 10.000 orang. Selama tahun 2018-2019.

Tapi tewas akibat flu tidak seheboh akibat virus Corona. Padahal virus flu juga menular. Tapi sudah dianggap biasa. Juga karena sudah ada obatnya.

Tapi benarkah setelah Cap Go Meh akan lebih baik?

“Dua hari terakhir ini justru turun salju di Beijing,” ujar teman saya itu.

Ini baru untuk kelima kalinya turun salju di Beijing. Desember lalu sekali. Januari kemarin dua kali. Lalu di Februari ini justru dua kali.

Sampai tadi malam salju itu masih terus turun.

Lalu dia pun mengirim foto sela-sela gedung yang bersalju. Yang foto itu diambil dari dalam rumahnyi kemarin pagi.

Pemerintah kelihatannya juga terus membangkitkan semangat warganya. Terutama agar rakyat menghargai usaha kemanusiaan yang sedang dilakukan para dokter dan perawat.

Salah satunya adalah dalam bentuk video. Yang juga viral di Indonesia.

Saya sampai tiga kali melihat video itu. Betapa mengharukannya. Terutama ketika para dokter dan perawat itu ternyata tidak boleh pulang.

Sudah berminggu-minggu lamanya. Mereka harus tidur meringkuk kedinginan di kursi. Atau hanya dengan meletakkan kepala di atas meja.

Mereka terlihat begitu kelelahan. Banyak perawat yang pipi dan hidungnya terluka. Akibat sudah begitu lama terus-menerus mengenakan masker yang dipasang secara ketat.

Air mata saya meleleh saat melihat adegan anak kecil yang kangen ibunyi. Dia datang ke rumah sakit mencari ibunyi. Tapi hanya bisa melihat sang ibu dari jauh.

Lalu sang anak meletakkan rantang berisi makanan beberapa meter di depan sang ibu. Lalu sang anak mundur, menjauh dari rantang. Saat si anak sudah menjauh barulah sang ibu melangkah maju. Untuk mengambil rantang kiriman keluarganya itu.

Saya tahu video itu dibuat untuk kepentingan agitasi. Tapi tetap saja keharuan saya tidak terbendung. Dan air mata pun meleleh di pipi.(Dahlan Iskan)

Di level berapa tingkat ketakutan Anda pada virus Corona dari Wuhan?

Itulah pertanyaan saya kepada tiga orang teman saya di tiga kota di Tiongkok. Satu orang di Beijing. Satu orang dari Nanchang. Satu lagi dari Dalian.

Saya jelaskan kepada mereka: sangat takut adalah level 10. Tidak takut sama sekali level 1.

“Tidak sampai level 5,” ujar teman saya di Beijing.

Jarak Beijing dan Wuhan adalah 2,5 jam naik pesawat.

“Ketakutan saya di level 7,” ujar teman saya yang di Kota Nanchang.

Nanchang adalah ibu kota propinsi Jiangxi –tetangga Selatan Provinsi Hubei yang beribu kota di Wuhan. Jarak Wuhan dan Nanchang 6 jam menggunakan mobil.

Saya pernah belajar bahasa Mandarin satu bulan penuh di IKIP-nya Jiangxi.

“Ketakutan saya di level 4. Saya sangat percaya pemerintah akan mampu mengatasi virus ini,” ujar teman saya yang di Kota Dalian, kota cantik di Propinsi Liaoning. Kota ini punya pelabuhan terdalam di Tiongkok. Kapal induk terbaru Tiongkok dibuat di Dalian. Cucu saya, seperti diakui menantu saya, adalah ‘made in’ Dalian. Ia mulai hamil saat bersama suaminya menemani saya di Dalian.

Jarak Dalian ke Wuhan 3 jam dengan pesawat.

Kesimpulan saya: kian dekat ke Wuhan kian tinggi ketakutan mereka.

Lalu saya ingat mahasiswi kita yang kuliah di dekat Wuhan –Julinten. Begitu beraninyi. Yang saat saya tanya dulu tingkat ketakutannyi hanya di level 5. Bahwa dia ikut pulang ke Indonesia itu untuk menghormati pemerintah. Yang sudah mengirim pesawat khusus untuk menjemput warga Indonesia di sana.

“Ini bukan soal takut atau tidak. Tapi saya mulai bosan di rumah terus,” ujar teman saya yang di Beijing itu.

Dia memang pengusaha. Yang biasanyi sibuk mondar-mandir Beijing-Wuhan-Hangzhou-Shanghai-Hongkong-Chengdu-Qinghai.

Kini dia di rumah terus. Sejak 23 Januari lalu. Hanya tiga hari sekali keluar rumah –untuk belanja di supermarket terdekat.

“Kalau keluar rumah lebih dari dua jam harus lapor pak RT,” ujarnyi. “Baru sekarang ini saya melihat begitu sepinya Tiongkok,” tambahnyi.

Supermarket terdekat adalah 300 meter dari rumahnyi. Tapi dia memilih ke supermarket yang jauhnya 600 meter. Sekalian menghilangkan kebosanan.

Supermarket itu tidak penuh pembeli. Mereka punya banyak waktu untuk belanja. Tidak terkonsentrasi di jam-jam tertentu.

Mereka yang saya hubungi itu semua sangat percaya pada usaha pemerintah mereka. “Pasti berhasil diatasi. Ini soal waktu saja,” kata mereka. “Dua atau tiga minggu lagi sudah akan berbeda,” tambahnyi.

Tanggal 8 Februari besok adalah hariraya Cap Go Meh. Yang di Tiongkok disebut perayaan tanggal 15. Yakni purnama pertama di bulan pertama Tahun Imlek.

Mereka percaya setelah Cap Go Meh udara berubah. Cap Go Meh dianggap perayaan akan datangnya musim semi. Atau berakhirnya musim salju.

Di musim salju biasanya begitu banyak yang terkena flu. Virus flu merajalela di musim dingin. Pun di Amerika. Menurut data resmi dari Center of Desease Control and Prevention Amerika, jumlah yang meninggal akibat virus flu mencapai 10.000 orang. Selama tahun 2018-2019.

Tapi tewas akibat flu tidak seheboh akibat virus Corona. Padahal virus flu juga menular. Tapi sudah dianggap biasa. Juga karena sudah ada obatnya.

Tapi benarkah setelah Cap Go Meh akan lebih baik?

“Dua hari terakhir ini justru turun salju di Beijing,” ujar teman saya itu.

Ini baru untuk kelima kalinya turun salju di Beijing. Desember lalu sekali. Januari kemarin dua kali. Lalu di Februari ini justru dua kali.

Sampai tadi malam salju itu masih terus turun.

Lalu dia pun mengirim foto sela-sela gedung yang bersalju. Yang foto itu diambil dari dalam rumahnyi kemarin pagi.

Pemerintah kelihatannya juga terus membangkitkan semangat warganya. Terutama agar rakyat menghargai usaha kemanusiaan yang sedang dilakukan para dokter dan perawat.

Salah satunya adalah dalam bentuk video. Yang juga viral di Indonesia.

Saya sampai tiga kali melihat video itu. Betapa mengharukannya. Terutama ketika para dokter dan perawat itu ternyata tidak boleh pulang.

Sudah berminggu-minggu lamanya. Mereka harus tidur meringkuk kedinginan di kursi. Atau hanya dengan meletakkan kepala di atas meja.

Mereka terlihat begitu kelelahan. Banyak perawat yang pipi dan hidungnya terluka. Akibat sudah begitu lama terus-menerus mengenakan masker yang dipasang secara ketat.

Air mata saya meleleh saat melihat adegan anak kecil yang kangen ibunyi. Dia datang ke rumah sakit mencari ibunyi. Tapi hanya bisa melihat sang ibu dari jauh.

Lalu sang anak meletakkan rantang berisi makanan beberapa meter di depan sang ibu. Lalu sang anak mundur, menjauh dari rantang. Saat si anak sudah menjauh barulah sang ibu melangkah maju. Untuk mengambil rantang kiriman keluarganya itu.

Saya tahu video itu dibuat untuk kepentingan agitasi. Tapi tetap saja keharuan saya tidak terbendung. Dan air mata pun meleleh di pipi.(Dahlan Iskan)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/