Di timur laut Bali, ada salah satu desa Bali Aga bernama Desa Terunyan. Tentu masyarakat sudah tahu keunikan desa wisata ini.
Sekarang menjadi lebih unik karena satu-satunya wilayah di Pulau Dewata yang tidak “disambangi” SARS-CoV-2” alias Covid-19.
Ternyata, ada unsur niskala dibalik semua ini. Jika seandainya ada yang terpapar dan meninggal, prosesi penguburan pun berbeda.
ALIT BINAWAN, Bangli
ADA dua cara untuk bisa sampai di Desa Terunyan. Pertama menggunakan perahu motor dari dermaga yang terletak di Desa Kedisan. Lalu cara kedua adalah melalui jalur darat.
Hanya saja jalan sempit, sedikit rusak, dan berliku harus dilalui untuk bisa sampai ke desa yang masuk ke dalam desa Bali Aga desa dengan suku asli Bali.
Kebetulan, Jawa Pos Radar Bali memilih untuk menggunakan jalur darat untuk bisa sampai ke Desa Terunyan.
Jika ke Terunyan untuk membahas tentang sistem penguburan yang biasa dikenal dengan istilah mepasah, tentu sudah terlalu mainstream.
Yang menjadi salah satu hal menarik dari Desa Terunyan terutama ketika pandemic Covid-19 ini adalah bagaimana bisa desa yang terdiri
dari 873 kepala keluarga (KK) dan lebih dari 3 ribu warga, dalam kurang lebih satu tahun masa pandemi tidak ada yang terpapar Covid-19?
Ketika sampai di Terunyan, kami terlebih dahulu melihat disekitar. Dominan (maaf) protokol kesehatan seperti memakai masker dan sebagainya tidak diterapkan disana.
Anak-anak kecil bermain seperti biasa di pinggir Danau Batur, para lansia menikmati pemandangan dari depan rumah mereka juga tidak menggunakan masker.
Kebetulan Kepala Desa Terunyan Wayan Arjuna mengakui hal tersebut. “Kalau dibilang disiplin, tidak juga. Mobilitas warga keluar masuk desa juga berjalan biasa,” terangnya saat diwawancarai di kantornya.
Padahal di depan Bale Banjar yang berada satu area dengan kantor Kepala Desa, terdapat baliho besar tentang kewajiban memakai masker.
Usut punya usut, ternyata ada sesuatu yang “melindungi” Desa Terunyan secara tidak kasat mata. Unsur Niskala sebelum pagebluk ini sudah cukup terasa, makin kental setelah adanya pagebluk.
Wayan Arjuna percaya ada lindungan dari sang leluhur. “Kami percaya dengan leluhur disini. Selama pandemi ini pada saat Tilem atau Purnama,
kami ngaturang pejati di Pura Pancering Jagad yang ada disini. Intinya, kami percaya dengan leluhur kami yang ada disini,” ungkapnya.
Saking percayanya dengan leluhur, himbauan dari Pemprov Bali dan PHDI untuk ngaturang Nasi Wong-Wongan dan sejenisnya, tidak diindahkan.
Meskipun demikian, masyarakat Desa Adat Terunyan bukannya tidak percaya dengan Covid-19. Arjuna yang sudah dua periode sejak 2014 menjabat sebagai Bendesa Adat Desa Terunyan
tersebut sudah memikirkan skema terburuk jika ada warganya yang sakit atau meninggal akibat terpapar virus dari Wuhan, Tiongkok tersebut.
Di Terunyan ada tiga setra. Pertama adalah Setra Wayah yang sudah terkenal seantero dunia dengan metode pemakaman yang hanya diletakkan diatas tanah dan dilindungi oleh bambu berbentuk segitiga.
Pohon taru menyan inilah yang meminimalisir bau anyir dari mayat yang diletakkan disana. Yang kedua ada Setra Alit yang khusus diperuntukkan untuk bayi, anak-anak, seseorang yang belum akil balik, atau yang belum menikah.
Lokasi setra tersebut berdekatan dan hanya terpisah beberapa puluh meter saja. Namun, tetap harus menggunakan jukung atau perahu untuk bisa mencapai setra tersebut.
Lalu yang terakhir adalah Setra Bantas. Letaknya tidak berada di pinggir Danau Batur, namun ada di perbukitan yang terletak di batas Desa Adat Terunyan.
Kuburan ini diperuntukkan untuk warga yang meninggal karena salah pati misalnya kecelakaan, dibunuh, dan meninggal akibat hal tidak wajar lainnya.
Jenazah tidak diletakkan begitu saja diatas tanah, melainkan dikubur seperti biasa. Disinilah warga yang meninggal akibat Covid-19 dimakamkan. Sekali ini, jika seandainya dan semoga tidak terjadi.
“Jika ada warga yang positif, kami sudah berkoordinasi dengan Puskesmas IV Desa Adat Kedisan. Mereka juga heran kenapa disini belum ada kasus positif.
Jika ada dan semoga tidak ada, kalau yang meninggal karena Covid-19 sudah disepakati untuk dikuburkan di Setra Bantas,” terang pria berusia 37 tahun itu.
“Saat paruman (rapat), kami kategorikan yang meninggal karena Covid-19 termasuk salah pati,” tambahnya.
Salah satu keunikan lainnya dari Desa Adat Terunyan selama pandemi ini adalah pendistribusian hasil alam yang tidak terdampak sama sekali.
Hal ini berbeda dengan daerah lain seperti Bedugul atau tempat lain yang petaninya mengeluh karena hasil kebunnya tidak laku.
“Karena pandemi banyak yang bilang ekonomi jadi sulit dan sebagainya. Tapi disini tidak terdampak sama sekali. Hasil tani seperti sayur-sayuran masih laku seperti biasa,” terang Arjuna.
“Harga jual Mujair misalnya juga normal. Masih tetap Rp 25 ribu per kg. Hasil tani ini sudah ada yang mengambil dan dijual kembali ke Pasar Galiran, Klungkung.
Mungkin wisatawan saja yang kunjungannya menurun. Untuk data kunjungan, kami tidak tahu pasti. Mungkin pemilik perahu yang lebih tahu karena berinteraksi langsung dengan wisatawan,” tutupnya.(*)