26.2 C
Jakarta
22 November 2024, 3:59 AM WIB

Ekonomi Melambat, Menunggu Geliat Pariwisata Bali Bangkit

DILANSIR dari berbagai media, prediksi terkait kondisi ekonomi Indonesia 2020 mulai dari yang optimis sampai pesimis.

Angka prediksi tersebut berada pada kisaran -0,6 sampai -2,9 persen. Angka prediksi pun mengalami revisi, di tengah ketidakpastian akibat pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai.

Ragam prediksi itupun terjawab sudah, melalui rilis pertumbuhan ekonomi oleh Kepala BPS RI-Kecuk Suhariyanto, pada 5 Februari 2021 lalu.

Ekonomi Indonesia bertengger pada posisi – 2,07 persen. Dan sudah bisa diduga, Bali yang paling merasakan hantaman keras dari pandemi Covid-19 harus menempati posisi terendah dengan mencatatkan laju pertumbuhan ekonomi hanya -9,31 persen.

Selaras dengan Bali provinsi lainnya pun tercatat tumbuh negatif, hanya ada 3 provinsi yang masih mampu tumbuh positif yaitu Sulawesi Tengah, Maluku Utara dan Papua.

Walaupun sesuai prediksi, namun capaian ekonomi Bali kali ini cukup membuat kita terperanjat. Bagaimana tidak, ekonomi Bali yang selama series panjangnya didominasi oleh pertumbuhan positif, pada tahun 2020 harus terjerembab cukup dalam.

Setelah sebelumnya, hanya hantaman krisis ekonomi tahun 1998 yang mampu memaksa ekonomi Bali terkontraksi sampai -4,04 persen.

Bahkan peristiwa Bom Bali I (2002) dan Bom Bali II (2005) pun tidak berhasil memukul telak ekonomi Bali, karena nyatanya masih bisa tumbuh pada level 3,04 persen dan 5,56 persen.

Pada kesempatan yang sama, Kepala BPS Provinsi Bali-Hanif Yahya menjabarkan nilai tambah dari aktivitas ekonomi di Bali yang dihitung dengan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto).

Pada tahun 2020, PDRB Bali yang dihitung Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) mencapai Rp 224,21 triliun menurun dibanding tahun 2019 yang tercatat sebesar Rp 252,14 triliun.

Sedangkan jika menghilangkan pengaruh perubahan harga, atau dihitung Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) 2010, kue ekonomi Bali pada tahun 2020 sebesar Rp 147,55 triliun.

Berdasar rilis BPS, besaran PDRB ADHK 2010 inilah yang turun Rp 15,14 triliun sehingga secara total laju pertumbuhan ekonomi Bali mengalami pertumbuhan negatif sedalam -9,31 persen.

Biang kerok dari terperosoknya ekonomi Bali sudah bisa dipastikan berasal dari kategori Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum yang terkontraksi sedalam -27,52 persen.

Geliat pariwisata di penghujung tahun sebenarnya cukup mampu menahan laju dari kategori ini untuk tidak terperosok lebih dalam.

Secara triwulanan, kategori ini masih tumbuh 3,37 persen pada triwulan 3, dan di triwulan 4 kembali tumbuh 3,61 persen.    

Pertanian ternyata belum memainkan peranan yang optimal sebagai alternatif tumpuan bagi ekonomi Bali, karena juga mengalami pertumbuhan negatif di tahun 2020 yaitu -1,06 persen.

Tidak dapat dipungkiri hasil pertanian di Bali bukan hanya untuk memenuhi konsumsi masyarakat, namun juga ditujukan untuk pariwisata, industri pengolahan, ekspor serta perdagangan antar provinsi.

Sehingga terganggunya berbagai aktivitas tersebut, tentu otomatis menurunkan nilai tambah di kategori ini.

Kehadiran Virus ASF (African Swine Fever) yang menyerang babi pada awal tahun cukup menambah goncangan, yang berakibat pada menurunnya populasi babi.

Dari Berita Resmi Statistik yang dirilis oleh BPS, penurunan nilai ekspor produk pertanian cukup tinggi, yaitu -27,74 persen.

Pada tahun 2020 nilai ekspor produk pertanian hanya US$ 50.387.426, sedangkan tahun sebelumnya mencapai US$ 69.726.538.  

Aktivitas ekonomi di kategori Industri Pengolahan pun tidak mampu bertahan dari gempuran pandemi Covid-19 yang sangat berdampak pada turunnya permintaan.

Tidak hanya dari aktivitas pariwisata, permintaan ekspor pun turun tajam. Meskipun terseok-seok namun kategori Industri Pengolahan masih sedikit ‘terselamatkan’ dengan hanya terkontraksi di level 1 digit yaitu -6,78 persen.

Karena ragam industri yang melayani kebutuhan rumah tangga, menyediakan kebutuhan upakara serta yang menghasilkan produk sekaitan dengan penanganan pandemi Covid-19 masih bisa berproduksi.

Selain itu, mulai dibukanya keran ekspor di pertengahan tahun cukup membantu kategori ini tetap bertahan.

Kondisi ini tercermin dari pergerakan ekspor beberapa komoditas industri pengolahan yang merangkak naik mulai medio 2020.

Nilai ekspor produk kayu/barang dari kayu meningkat 40,57 persen pada Juni 2020 dibandingkan bulan sebelumnya.

Pada September 2020, peningkatan tinggi juga tercatat pada komoditas pakaian jadi bukan rajutan yaitu 30,94 persen.

Hal yang sama juga terkonfirmasi dari ekspor perhiasan/permata pada November 2020 yang tumbuh 96,68 persen dibanding bulan sebelumnya.      

Masih dari rilis PDRB oleh BPS Provinsi Bali, dari sisi lapangan usaha tercatat kategori Informasi dan Komunikasi serta Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial, tumbuh positif.

Mudah dipahami mengapa Informasi dan Komunikasi mampu tumbuh sebesar 6,16 persen pada tahun 2020.

Pemberlakuan School From Home (SFH) serta Work From Home (WFH) membuat masyarakat semakin tergantung dengan penyediaan pulsa atau paket data.

Kategori ini masih berpotensi tumbuh di tahun 2021, sejalan dengan bermunculannya provider-provider baru yang menawarkan produk internet dengan berbagai keunggulan.  

Bagai mimpi buruk, dunia kesehatan dibuat kewalahan dengan Covid-19, namun di sisi lain kategori Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial tercatat tumbuh positif yaitu 2,84 persen.

Tidak dapat dipungkiri masifnya layanan rapid test ataupun swab, menjadi tambahan omset bagi fasilitas kesehatan.

Selain itu, penyaluran program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) oleh pemerintah pusat dalam bentuk tambahan tunjangan/insentif bagi tenaga kesehatan juga meningkatkan nilai tambah yang tercipta dari kategori ini.

Disamping untuk menggenapi dokumentasi kelam ekonomi Bali, flashback kondisi ekonomi di tahun 2020 ini diharapkan memacu semangat para pelaku usaha untuk bangkit dan mengumpulkan ‘cuan’ yang lebih banyak lagi di tahun 2021.

Masih menjadi misteri apakah catatan ini akan tersurat kembali di tahun 2021, namun segenap doa dan harapan semoga tahun ini kondisi ekonomi Bali perlahan pulih.

Sebagaimana disampaikan oleh Kepala BI KPw Bali Trisno Nugroho, pada saat Pertemuan Tahunan BI 2020, ekonomi Bali pada tahun 2021 diprediksi tumbuh pada kisaran 4,5 – 5,5 persen (dikutip dari www.balipost.com).

Sampai penerbangan dan pariwisata dibuka kembali, ragam ekonomi alternatif memang layak untuk dicoba.

Namun, pastilah tidak mudah menemukan pengganti dari pariwisata yang sudah mengakar kuat dalam ekonomi Bali.

Terlebih lagi MenParEkraf RI Sandiaga Uno, mengibaratkan Bali sebagai lokomotif pariwisata. Sehingga, masih menurut Pak Sandiaga, jangan sampai lokomotif itu rusak permanen.

Jadi, tugas kita saat ini merawat agar kita bisa memanaskan mesin untuk kebangkitan (dikutip dari www.liputan6.com). 

Dirasa tepat manuver yang ditempuh oleh para pelaku usaha perhotelan untuk menawarkan fasilitas mereka dengan harga murah.

Nilai tambah yang dihasilkan sudah barang tentu tidak sepadan dengan kondisi normal, namun upaya tersebut secara perlahan diharapkan akan memutar kembali roda ekonomi Bali.

Di samping itu, minimal dengan tarif hotel yang lokal friendly, dapat membantu cashflow perusahaan yang selanjutnya bisa digunakan untuk asset maintenance sehingga tidak terjadi kerusakan aset.

Diharapkan pada saatnya nanti, sumber daya pariwisata di Bali telah siap digunakan untuk menyambut era baru pariwisata. (*)

 

Ni Nyoman Jegeg Puspadewi SST MM

Kasi Neraca Produksi BPS Provinsi Bali

 

DILANSIR dari berbagai media, prediksi terkait kondisi ekonomi Indonesia 2020 mulai dari yang optimis sampai pesimis.

Angka prediksi tersebut berada pada kisaran -0,6 sampai -2,9 persen. Angka prediksi pun mengalami revisi, di tengah ketidakpastian akibat pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai.

Ragam prediksi itupun terjawab sudah, melalui rilis pertumbuhan ekonomi oleh Kepala BPS RI-Kecuk Suhariyanto, pada 5 Februari 2021 lalu.

Ekonomi Indonesia bertengger pada posisi – 2,07 persen. Dan sudah bisa diduga, Bali yang paling merasakan hantaman keras dari pandemi Covid-19 harus menempati posisi terendah dengan mencatatkan laju pertumbuhan ekonomi hanya -9,31 persen.

Selaras dengan Bali provinsi lainnya pun tercatat tumbuh negatif, hanya ada 3 provinsi yang masih mampu tumbuh positif yaitu Sulawesi Tengah, Maluku Utara dan Papua.

Walaupun sesuai prediksi, namun capaian ekonomi Bali kali ini cukup membuat kita terperanjat. Bagaimana tidak, ekonomi Bali yang selama series panjangnya didominasi oleh pertumbuhan positif, pada tahun 2020 harus terjerembab cukup dalam.

Setelah sebelumnya, hanya hantaman krisis ekonomi tahun 1998 yang mampu memaksa ekonomi Bali terkontraksi sampai -4,04 persen.

Bahkan peristiwa Bom Bali I (2002) dan Bom Bali II (2005) pun tidak berhasil memukul telak ekonomi Bali, karena nyatanya masih bisa tumbuh pada level 3,04 persen dan 5,56 persen.

Pada kesempatan yang sama, Kepala BPS Provinsi Bali-Hanif Yahya menjabarkan nilai tambah dari aktivitas ekonomi di Bali yang dihitung dengan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto).

Pada tahun 2020, PDRB Bali yang dihitung Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) mencapai Rp 224,21 triliun menurun dibanding tahun 2019 yang tercatat sebesar Rp 252,14 triliun.

Sedangkan jika menghilangkan pengaruh perubahan harga, atau dihitung Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) 2010, kue ekonomi Bali pada tahun 2020 sebesar Rp 147,55 triliun.

Berdasar rilis BPS, besaran PDRB ADHK 2010 inilah yang turun Rp 15,14 triliun sehingga secara total laju pertumbuhan ekonomi Bali mengalami pertumbuhan negatif sedalam -9,31 persen.

Biang kerok dari terperosoknya ekonomi Bali sudah bisa dipastikan berasal dari kategori Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum yang terkontraksi sedalam -27,52 persen.

Geliat pariwisata di penghujung tahun sebenarnya cukup mampu menahan laju dari kategori ini untuk tidak terperosok lebih dalam.

Secara triwulanan, kategori ini masih tumbuh 3,37 persen pada triwulan 3, dan di triwulan 4 kembali tumbuh 3,61 persen.    

Pertanian ternyata belum memainkan peranan yang optimal sebagai alternatif tumpuan bagi ekonomi Bali, karena juga mengalami pertumbuhan negatif di tahun 2020 yaitu -1,06 persen.

Tidak dapat dipungkiri hasil pertanian di Bali bukan hanya untuk memenuhi konsumsi masyarakat, namun juga ditujukan untuk pariwisata, industri pengolahan, ekspor serta perdagangan antar provinsi.

Sehingga terganggunya berbagai aktivitas tersebut, tentu otomatis menurunkan nilai tambah di kategori ini.

Kehadiran Virus ASF (African Swine Fever) yang menyerang babi pada awal tahun cukup menambah goncangan, yang berakibat pada menurunnya populasi babi.

Dari Berita Resmi Statistik yang dirilis oleh BPS, penurunan nilai ekspor produk pertanian cukup tinggi, yaitu -27,74 persen.

Pada tahun 2020 nilai ekspor produk pertanian hanya US$ 50.387.426, sedangkan tahun sebelumnya mencapai US$ 69.726.538.  

Aktivitas ekonomi di kategori Industri Pengolahan pun tidak mampu bertahan dari gempuran pandemi Covid-19 yang sangat berdampak pada turunnya permintaan.

Tidak hanya dari aktivitas pariwisata, permintaan ekspor pun turun tajam. Meskipun terseok-seok namun kategori Industri Pengolahan masih sedikit ‘terselamatkan’ dengan hanya terkontraksi di level 1 digit yaitu -6,78 persen.

Karena ragam industri yang melayani kebutuhan rumah tangga, menyediakan kebutuhan upakara serta yang menghasilkan produk sekaitan dengan penanganan pandemi Covid-19 masih bisa berproduksi.

Selain itu, mulai dibukanya keran ekspor di pertengahan tahun cukup membantu kategori ini tetap bertahan.

Kondisi ini tercermin dari pergerakan ekspor beberapa komoditas industri pengolahan yang merangkak naik mulai medio 2020.

Nilai ekspor produk kayu/barang dari kayu meningkat 40,57 persen pada Juni 2020 dibandingkan bulan sebelumnya.

Pada September 2020, peningkatan tinggi juga tercatat pada komoditas pakaian jadi bukan rajutan yaitu 30,94 persen.

Hal yang sama juga terkonfirmasi dari ekspor perhiasan/permata pada November 2020 yang tumbuh 96,68 persen dibanding bulan sebelumnya.      

Masih dari rilis PDRB oleh BPS Provinsi Bali, dari sisi lapangan usaha tercatat kategori Informasi dan Komunikasi serta Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial, tumbuh positif.

Mudah dipahami mengapa Informasi dan Komunikasi mampu tumbuh sebesar 6,16 persen pada tahun 2020.

Pemberlakuan School From Home (SFH) serta Work From Home (WFH) membuat masyarakat semakin tergantung dengan penyediaan pulsa atau paket data.

Kategori ini masih berpotensi tumbuh di tahun 2021, sejalan dengan bermunculannya provider-provider baru yang menawarkan produk internet dengan berbagai keunggulan.  

Bagai mimpi buruk, dunia kesehatan dibuat kewalahan dengan Covid-19, namun di sisi lain kategori Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial tercatat tumbuh positif yaitu 2,84 persen.

Tidak dapat dipungkiri masifnya layanan rapid test ataupun swab, menjadi tambahan omset bagi fasilitas kesehatan.

Selain itu, penyaluran program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) oleh pemerintah pusat dalam bentuk tambahan tunjangan/insentif bagi tenaga kesehatan juga meningkatkan nilai tambah yang tercipta dari kategori ini.

Disamping untuk menggenapi dokumentasi kelam ekonomi Bali, flashback kondisi ekonomi di tahun 2020 ini diharapkan memacu semangat para pelaku usaha untuk bangkit dan mengumpulkan ‘cuan’ yang lebih banyak lagi di tahun 2021.

Masih menjadi misteri apakah catatan ini akan tersurat kembali di tahun 2021, namun segenap doa dan harapan semoga tahun ini kondisi ekonomi Bali perlahan pulih.

Sebagaimana disampaikan oleh Kepala BI KPw Bali Trisno Nugroho, pada saat Pertemuan Tahunan BI 2020, ekonomi Bali pada tahun 2021 diprediksi tumbuh pada kisaran 4,5 – 5,5 persen (dikutip dari www.balipost.com).

Sampai penerbangan dan pariwisata dibuka kembali, ragam ekonomi alternatif memang layak untuk dicoba.

Namun, pastilah tidak mudah menemukan pengganti dari pariwisata yang sudah mengakar kuat dalam ekonomi Bali.

Terlebih lagi MenParEkraf RI Sandiaga Uno, mengibaratkan Bali sebagai lokomotif pariwisata. Sehingga, masih menurut Pak Sandiaga, jangan sampai lokomotif itu rusak permanen.

Jadi, tugas kita saat ini merawat agar kita bisa memanaskan mesin untuk kebangkitan (dikutip dari www.liputan6.com). 

Dirasa tepat manuver yang ditempuh oleh para pelaku usaha perhotelan untuk menawarkan fasilitas mereka dengan harga murah.

Nilai tambah yang dihasilkan sudah barang tentu tidak sepadan dengan kondisi normal, namun upaya tersebut secara perlahan diharapkan akan memutar kembali roda ekonomi Bali.

Di samping itu, minimal dengan tarif hotel yang lokal friendly, dapat membantu cashflow perusahaan yang selanjutnya bisa digunakan untuk asset maintenance sehingga tidak terjadi kerusakan aset.

Diharapkan pada saatnya nanti, sumber daya pariwisata di Bali telah siap digunakan untuk menyambut era baru pariwisata. (*)

 

Ni Nyoman Jegeg Puspadewi SST MM

Kasi Neraca Produksi BPS Provinsi Bali

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/