32.7 C
Jakarta
22 November 2024, 17:41 PM WIB

Setelah Dibantu TNI dan Relawan, Kini Pekak Suma Bisa Tidur Nyenyak

Penantian panjang Ketut Suma berakhir. Ia akhirnya bisa tidur nyenyak. Justru saat usianya sudah senja. Setidaknya Suma tak perlu khawatir rumahnya roboh gara-gara dihempas gelombang pasang.

 

EKA PRASETYA, Sawan

MATA Ketut Suma, 68, terlihat berkaca-kaca. Pria yang tercatat sebagai warga di Banjar Dinas Pabean, Desa Sangsit, Kecamatan Sawan itu, tak pernah menyangka bahwa dirinya akan benar-benar menerima bantuan bedah rumah.

Kini ia pun bisa tidur nyenyak, tanpa harus khawatir dengan hujan dan gelombang pasang. Suma merupakan salah seorang warga miskin sekaligus disabilitas di wilayah tersebut.

Ia tinggal di tepi Pantai Sangsit. Hanya beberapa meter dari pekuburan muslim di wilayah tersebut. Sebulan lalu, rumahnya masih berbentuk semi permanen.

Dengan lantai pasir, dinding anyaman bambu, dan atap seng. Kini rumahnya telah direnovasi. Rumahnya kini berdiri dengan tembok batako di atas lahan berukuran 5×8 meter.

Ia bisa beristirahat, tanpa harus khawatir rumahnya kemasukan air hujan, maupun air laut saat terjadi gelombang pasang.

Suma menuturkan ia baru menetap di Sangsit pada tahun 2000 silam. Sebelumnya ia sempat hidup berpindah-pindah.

Mulai dari wilayah Kubujati di Kelurahan Banyuning, wilayah Taman Sari di Kelurahan Kampung Baru, dan terakhir di wilayah Ponjok Desa Kubutambahan.

Pada tahun 2000 ia akhirnya memilih menetap di Sangsit.

Ia kemudian menumpang di tanah milik Robil, warga setempat. Tatkala itu ia menumpang dengan kompensasi membayar biaya sewa senilai Rp 150 ribu per tahun.

Belakangan biaya sewa itu terus naik. Hingga terakhir menjadi Rp 400 ribu per tahun. “Karena saya sudah menikah, mau tidak mau harus menetap. Akhirnya saya pilih di Sangsit.

Biar dekat dengan asal saya di Banjar Sema. Asal saya dari sana, di sebelah selatan pasar,” tutur pria yang akrab disapa Pekak Suma itu.

Suma sengaja memilih tinggal di tepi pantai. Sebab penghidupannya selama ini bergantung dari melaut. Dulunya ia pergi melaut bersama istrinya, Awiyah, 55.

Keduanya memang tak dikaruniai anak, sehingga Awiyah kerap membantu suaminya. Namun karena usia dan kondisi kesehatan, istrinya tak lagi ikut melaut.

Bisa dibilang Suma merupakan sosok yang ulet. Suma bukan hanya miskin dan lanjut usia. Dia juga seorang disabilitas. Pada tahun 1973 lalu, ia sempat jatuh saat memanjat pohon kelapa.

Kondisi itu berdampak pada kelumpuhan pada kedua kaki. Sejak saat itu, kakinya menjadi lumpuh layu. Untuk berjalan, ia harus menggunakan dua buah tongkat.

Meski kondisinya serba terbatas, Suma pantang berpangku tangan. Ia tetap pergi melaut. Saat ombak tenang, dibantu istrinya, Suma menurunkan perahu.

Ia kemudian pergi menjaring dan memancing ikan di sekitar dermaga Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Sangsit. Hasilnya tak menentu.

Bila nasib sedang baik, sehari ia bisa mendapatkan hasil Rp 50 ribu hingga Rp 70 ribu. Namun bila sedang buntung, tak seekor pun ikan bisa dibawa pulang.

Usai melaut, ia langsung mengarahkan perahunya ke tepi pantai dekat rumahnya. Saat sampai, ia membunyikan peluit. Istrinya pun segera datang.

Membantu menaikkan perahu ke tepian. “Saya di sini tidak ada yang membantu. Selagi saya masih mampu kerja, saya berusaha bekerja,” katanya.

Suma bukannya tak pernah mencoba peruntungan lain. Ia pernah memelihara sapi dan kambing. Hewan ternak itu ia tambatkan di sisi selatan rumah.

Namun sejak istrinya sakit-sakitan, ia tak lagi beternak. “Istri saya sudah tidak kuat ngarit lagi. Mata juga sudah rabun. Pernah istri saya ngarit, akhirnya tangan kena sabit. Saya dengan kondisi begini juga tidak bisa ngarit,” ujarnya.

Dalam kondisi terbatas, Suma tak pernah menadahkan tangan meminta bantuan. Beberapa tahun lalu, ia sempat didatangi petugas dari Dinas Sosial Buleleng.

Ketika itu ia didata sebagai calon penerima bedah rumah. Petugas sempat wanti-wanti agar Ketut Suma tak berharap berlebihan.

Karena lahan yang ia tempati bukan berstatus sebagai hak milik. Sehingga bantuan bedah rumah agak sulit didapat.

Hingga sekitar sebulan lalu, sejumlah relawan dari Buleleng Social Community (BSC) mendatangi rumah yang ditempati Suma.

Saat itu relawan menyanggupi menggalang donasi untuk membantu proses bedah rumah. Relawan juga berkoordinasi dengan Kodim 1609/Buleleng.

Tim dari kodim kemudian mengecek lokasi, dan menyanggupi membantu proses pembangunan. Alhasil bangunan bedah rumah itu benar-benar terealisasi. Bahan bangunan disuplai oleh BSC.

Bahan itu dibeli dari uang yang diberikan para donatur. Sementara proses pembangunan dilakukan personil TNI dari Kodim 1609/Buleleng.

Dalam waktu tiga pekan, rumah sudah berdiri tegak. Rumah itu terdiri dari satu kamar tidur, satu dapur, satu kamar mandi, serta bak sanitasi.

Kunci rumah pun diserahkan secara simbolis siang kemarin (6/2). Kunci diserahkan oleh Komandan Korem 163/Wirasatya Brigjen TNI Husein Sagaf.

Setelah menerima kunci, mata Suma langsung memerah dan berkaca-kaca. Ia sama sekali tak menyangka bahwa bantuan bedah rumah itu akan benar-benar terealisasi.

“Tadi malam tidur saya benar-benar nyenyak. Padahal ombak sedang besar. Dulu kalau hujan, saya tidak bisa tidur. Karena air pasti masuk. Begitu juga kalau ombak pasang. Air itu naik sampai ke atap seng, besoknya penuh sama pasir,” ujarnya.

Koordinator BSC, Eka Tirtayana mengatakan, sejak berdiri 6 tahun silam, BSC rutin melaksanakan kegiatan bedah rumah.

Dalam proses pembangunannya pun, BSC selalu bekerjasama dengan personil TNI. Dulunya, dalam sebulan biasanya ada 4 rumah yang dibangun.

Namun karena kondisi pandemi, kegiatan itu terpaksa dikurangi. Sebab ada kebutuhan lain dari masyarakat miskin yang dianggap lebih penting.

Meski begitu, Eka memastikan program bedah rumah akan tetap berjalan. “Mungkin tidak sebanyak tahun-tahun sebelumnya. Mungkin dalam sebulan paling tidak ada satu rumah yang selesai.

Dalam waktu dekat ini kami juga akan laksanakan program serupa di Kecamatan Seririt, Kabupaten Jembrana, dan Karangasem,” katanya.

Sementara itu Komandan Korem 163/Wirasatya Brigjen TNI Husein Sagaf mengatakan, TNI siap mendukung kegiatan yang dilakukan oleh komunitas sosial.

Brigjen TNI Husein mengatakan kerjasama TNI dengan BSC di Kabupaten Buleleng sangat intens. Bahkan sudah terjalin selama beberapa tahun terakhir.

Menurutnya, personil TNI harus siap dan wajib membantu masyarakat. Ia mengingatkan personil TNI harus taat pada 8 Wajib TNI.

Salah satu poin yang ditekankan adalah TNI harus menjadi contoh dan memelopori usaha-usaha untuk mengatasi kesulitan rakyat sekelilingnya.

“Bedah rumah ini salah satu implementasi 8 Wajib TNI. Kami selalu siap memberikan tenaga untuk membantu misi sosial ini. Rumah dari Kakek Suma ini salah satunya.

Bisa kita lihat sebulan lalu kondisinya seperti apa. Hari ini kondisinya sudah jauh lebih layak, dan ini sangat berarti bagi kondisi beliau,” demikian Husein. (*)

Penantian panjang Ketut Suma berakhir. Ia akhirnya bisa tidur nyenyak. Justru saat usianya sudah senja. Setidaknya Suma tak perlu khawatir rumahnya roboh gara-gara dihempas gelombang pasang.

 

EKA PRASETYA, Sawan

MATA Ketut Suma, 68, terlihat berkaca-kaca. Pria yang tercatat sebagai warga di Banjar Dinas Pabean, Desa Sangsit, Kecamatan Sawan itu, tak pernah menyangka bahwa dirinya akan benar-benar menerima bantuan bedah rumah.

Kini ia pun bisa tidur nyenyak, tanpa harus khawatir dengan hujan dan gelombang pasang. Suma merupakan salah seorang warga miskin sekaligus disabilitas di wilayah tersebut.

Ia tinggal di tepi Pantai Sangsit. Hanya beberapa meter dari pekuburan muslim di wilayah tersebut. Sebulan lalu, rumahnya masih berbentuk semi permanen.

Dengan lantai pasir, dinding anyaman bambu, dan atap seng. Kini rumahnya telah direnovasi. Rumahnya kini berdiri dengan tembok batako di atas lahan berukuran 5×8 meter.

Ia bisa beristirahat, tanpa harus khawatir rumahnya kemasukan air hujan, maupun air laut saat terjadi gelombang pasang.

Suma menuturkan ia baru menetap di Sangsit pada tahun 2000 silam. Sebelumnya ia sempat hidup berpindah-pindah.

Mulai dari wilayah Kubujati di Kelurahan Banyuning, wilayah Taman Sari di Kelurahan Kampung Baru, dan terakhir di wilayah Ponjok Desa Kubutambahan.

Pada tahun 2000 ia akhirnya memilih menetap di Sangsit.

Ia kemudian menumpang di tanah milik Robil, warga setempat. Tatkala itu ia menumpang dengan kompensasi membayar biaya sewa senilai Rp 150 ribu per tahun.

Belakangan biaya sewa itu terus naik. Hingga terakhir menjadi Rp 400 ribu per tahun. “Karena saya sudah menikah, mau tidak mau harus menetap. Akhirnya saya pilih di Sangsit.

Biar dekat dengan asal saya di Banjar Sema. Asal saya dari sana, di sebelah selatan pasar,” tutur pria yang akrab disapa Pekak Suma itu.

Suma sengaja memilih tinggal di tepi pantai. Sebab penghidupannya selama ini bergantung dari melaut. Dulunya ia pergi melaut bersama istrinya, Awiyah, 55.

Keduanya memang tak dikaruniai anak, sehingga Awiyah kerap membantu suaminya. Namun karena usia dan kondisi kesehatan, istrinya tak lagi ikut melaut.

Bisa dibilang Suma merupakan sosok yang ulet. Suma bukan hanya miskin dan lanjut usia. Dia juga seorang disabilitas. Pada tahun 1973 lalu, ia sempat jatuh saat memanjat pohon kelapa.

Kondisi itu berdampak pada kelumpuhan pada kedua kaki. Sejak saat itu, kakinya menjadi lumpuh layu. Untuk berjalan, ia harus menggunakan dua buah tongkat.

Meski kondisinya serba terbatas, Suma pantang berpangku tangan. Ia tetap pergi melaut. Saat ombak tenang, dibantu istrinya, Suma menurunkan perahu.

Ia kemudian pergi menjaring dan memancing ikan di sekitar dermaga Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Sangsit. Hasilnya tak menentu.

Bila nasib sedang baik, sehari ia bisa mendapatkan hasil Rp 50 ribu hingga Rp 70 ribu. Namun bila sedang buntung, tak seekor pun ikan bisa dibawa pulang.

Usai melaut, ia langsung mengarahkan perahunya ke tepi pantai dekat rumahnya. Saat sampai, ia membunyikan peluit. Istrinya pun segera datang.

Membantu menaikkan perahu ke tepian. “Saya di sini tidak ada yang membantu. Selagi saya masih mampu kerja, saya berusaha bekerja,” katanya.

Suma bukannya tak pernah mencoba peruntungan lain. Ia pernah memelihara sapi dan kambing. Hewan ternak itu ia tambatkan di sisi selatan rumah.

Namun sejak istrinya sakit-sakitan, ia tak lagi beternak. “Istri saya sudah tidak kuat ngarit lagi. Mata juga sudah rabun. Pernah istri saya ngarit, akhirnya tangan kena sabit. Saya dengan kondisi begini juga tidak bisa ngarit,” ujarnya.

Dalam kondisi terbatas, Suma tak pernah menadahkan tangan meminta bantuan. Beberapa tahun lalu, ia sempat didatangi petugas dari Dinas Sosial Buleleng.

Ketika itu ia didata sebagai calon penerima bedah rumah. Petugas sempat wanti-wanti agar Ketut Suma tak berharap berlebihan.

Karena lahan yang ia tempati bukan berstatus sebagai hak milik. Sehingga bantuan bedah rumah agak sulit didapat.

Hingga sekitar sebulan lalu, sejumlah relawan dari Buleleng Social Community (BSC) mendatangi rumah yang ditempati Suma.

Saat itu relawan menyanggupi menggalang donasi untuk membantu proses bedah rumah. Relawan juga berkoordinasi dengan Kodim 1609/Buleleng.

Tim dari kodim kemudian mengecek lokasi, dan menyanggupi membantu proses pembangunan. Alhasil bangunan bedah rumah itu benar-benar terealisasi. Bahan bangunan disuplai oleh BSC.

Bahan itu dibeli dari uang yang diberikan para donatur. Sementara proses pembangunan dilakukan personil TNI dari Kodim 1609/Buleleng.

Dalam waktu tiga pekan, rumah sudah berdiri tegak. Rumah itu terdiri dari satu kamar tidur, satu dapur, satu kamar mandi, serta bak sanitasi.

Kunci rumah pun diserahkan secara simbolis siang kemarin (6/2). Kunci diserahkan oleh Komandan Korem 163/Wirasatya Brigjen TNI Husein Sagaf.

Setelah menerima kunci, mata Suma langsung memerah dan berkaca-kaca. Ia sama sekali tak menyangka bahwa bantuan bedah rumah itu akan benar-benar terealisasi.

“Tadi malam tidur saya benar-benar nyenyak. Padahal ombak sedang besar. Dulu kalau hujan, saya tidak bisa tidur. Karena air pasti masuk. Begitu juga kalau ombak pasang. Air itu naik sampai ke atap seng, besoknya penuh sama pasir,” ujarnya.

Koordinator BSC, Eka Tirtayana mengatakan, sejak berdiri 6 tahun silam, BSC rutin melaksanakan kegiatan bedah rumah.

Dalam proses pembangunannya pun, BSC selalu bekerjasama dengan personil TNI. Dulunya, dalam sebulan biasanya ada 4 rumah yang dibangun.

Namun karena kondisi pandemi, kegiatan itu terpaksa dikurangi. Sebab ada kebutuhan lain dari masyarakat miskin yang dianggap lebih penting.

Meski begitu, Eka memastikan program bedah rumah akan tetap berjalan. “Mungkin tidak sebanyak tahun-tahun sebelumnya. Mungkin dalam sebulan paling tidak ada satu rumah yang selesai.

Dalam waktu dekat ini kami juga akan laksanakan program serupa di Kecamatan Seririt, Kabupaten Jembrana, dan Karangasem,” katanya.

Sementara itu Komandan Korem 163/Wirasatya Brigjen TNI Husein Sagaf mengatakan, TNI siap mendukung kegiatan yang dilakukan oleh komunitas sosial.

Brigjen TNI Husein mengatakan kerjasama TNI dengan BSC di Kabupaten Buleleng sangat intens. Bahkan sudah terjalin selama beberapa tahun terakhir.

Menurutnya, personil TNI harus siap dan wajib membantu masyarakat. Ia mengingatkan personil TNI harus taat pada 8 Wajib TNI.

Salah satu poin yang ditekankan adalah TNI harus menjadi contoh dan memelopori usaha-usaha untuk mengatasi kesulitan rakyat sekelilingnya.

“Bedah rumah ini salah satu implementasi 8 Wajib TNI. Kami selalu siap memberikan tenaga untuk membantu misi sosial ini. Rumah dari Kakek Suma ini salah satunya.

Bisa kita lihat sebulan lalu kondisinya seperti apa. Hari ini kondisinya sudah jauh lebih layak, dan ini sangat berarti bagi kondisi beliau,” demikian Husein. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/