Dampak pandemi Covid-19 baru dirasakan oleh penjual miniatur ogoh-ogoh di Gianyar tahun 2021 ini. Jelang Nyepi pada pertengahan Maret 2021 ini, sehari hanya ada 1 pembeli.
Pedagang sekaligus perajin, I Wayan Putra Sentana, asal Desa/Kecamatan Blahbatuh, merasakan daya beli masyarakat turun drastis.
IB INDRA PRASETIA, Gianyar
MINIATUR ogoh-ogoh bergelantungan di tali yang dibentangkan. Ratusan ogoh-ogoh itu sengaja dipajang di depan SPBU Jalan Raya Kemenuh, Gianyar untuk menarik minat pembeli.
Pengendara bermobil dan motor yang lalu lalang di depan tempat jualan I Wayan Putra Sentana itu, hanya menengok saja.
“Sekarang susah jualan. Padahal sebentar lagi mau Nyepi. Kalau dulu, dimana saja saya jualan pasti dicari,” ujar Putra Sentana.
Dampak ini dirasakan jauh berbeda dari Nyepi tahun-tahun sebelumnya. “Penjualan menurun sampai 95 persen. Ini akibat Covid,” keluhnya.
Perajin yang berkutat di didunia ogoh-ogoh selama 11 tahun, tak menyangka dampak Covid baru dirasakan pada 2021 ini.
“Waktu Maret tahun lalu (2020, red) itu kan baru ada imbauan tidak boleh ogoh-ogoh. Dan ogoh saya sudah terjual jauh hari sebelum imbauan itu,” jelasnya.
Meski ada imbauan dilarang mengarak ogoh-ogoh pada 2020 lalu, anak-anak tetap membeli di hari Pangerupukan. “Tahun ini, saya punya pikiran, sepanjang masih ada anak-anak, pasti beli mainan ini,” jelasnya.
Namun pada 2021 ini, perkiraannya meleset. “Saya pikir, tahun ini anak-anak pasti tetap suka ogoh-ogoh. Cuma saya nggak kepikiran kalau daya beli orang tua sekarang turun,” jelasnya.
Sehingga, banyak orang tua yang hanya menepi dan menawar saja saat melihat pajangan ogoh-ogoh di pinggir jalan.
“Mereka menawarnya separo lebih. Boleh dua puluh ribu? Modal saya belum balik kalau segitu,” ujarnya menirukan penawaran salah satu pelanggan.
Dia pun berpikiran jika dampak Covid selama setahun ini baru dirasakan pada 2021 ini. “Daya belinya turun. Kalau punya uang, mungkin pakai beli beras, dari pada ini,” ujarnya geleng-geleng.
Yang miris, dia malah sudah menyetok miniatur sebanyak 3.000 lebih. Karena dulu, sebelum Covid melanda, dua bulan sebelum Nyepi sudah banyak reseller yang memesan.
Seminggu, ratusan miniatur dibawa ke sejumlah warung. “Dulu biasa saya bawa satu pikap ogoh-ogoh ke Sukawati, Kintamani. Untuk dijual kembali sama warung di sana,” ungkapnya.
Antusias miniatur ini paling diburu anak-anak di Kecamatan Kintamani, Kecamatan Bangli. “Sekarang tidak ada pesanan dari warung (reseller, red),” terangnya.
Dari dua bulan lalu, ogoh-ogoh mini itu baru terjual 150-an. Akibatnya, masih ada 3.000-an ogoh-ogoh belum terjual jelang Nyepi.
“Yang tahun lalu sudah habis. Sekarang bikin lagi, kebanyakan bikinnya,” ujarnya. Dia membeberkan, saat situasi normal (sebelum Covid, red), sehari penjualan bisa tembus 30-35.
“Kalau sekarang laku 1 saja sudah syukur. Jadi memang keras sekali dampaknya,” terangnya. Kondisi itu otomatis membuat omzet Sentana terjun bebas.
Dari yang biasanya mencapai Rp 80 juta per tahun, tahun ini belum bisa menghitung. Dia justru menyebut kemungkinan tidak balik modal.
“Apalagi sejak Covid-19 ini harga bahan baku meningkat, tapi penjualan menurun,” lanjutnya. Untuk harga ogoh-ogoh yang ditawarkan bergantung ukuran.
Yang paling kecil setinggi kurang lebih 40-50 cm seharga Rp 100.000. “Sekarang laku Rp 50.000- 60.000 itu sudah syukur. Kalau paling besar itu ada sampai Rp 3,5 Juta,” paparnya.
Harga juga tergantung dari bahan baku yang digunakan. Yang berbahan spon lebih murah dibandingkan dengan yang berbahan sterofoam.
Untuk yang berbahan sterofoam bisa mencapai Rp 700.000 untuk ukuran yang paling kecil. “Kalau sekarang susah jualan. Habis waktu jualan di sini. Belum bayar sewa tempat Rp 400 ribu sebulan,” ujarnya.
Dia pun hanya bisa berharap situasi bisa kembali normal. Pariwisata yang jadi tulang punggung sebagian masyarakat Gianyar bisa pulih.
“Semoga saja pandemi ini cepat berakhir dan kondisi bisa kembali normal,” pintanya penuh harap. (*)