32.7 C
Jakarta
22 November 2024, 15:42 PM WIB

Sudah 8 Kali Panen Pepaya, Ingin Beri Contoh Isi Waktu Usai Pensiun

Paur Kesehatan Polres Gianyar, Aiptu Pande Ketut Suteja punya kiat tersendiri menjelang pensiun. Dia sudah menyiapkan kebun pepaya untuk bekal di hari pensiun.

Ada lika-liku berkebun yang dijalaninya. Seperti apa?

 

IB INDRA PRASETIA, Gianyar

AIPTU Pande Ketut Suteja dikenal sebagai polisi yang berkumis tebal. Sebagai Paur Kesehatan di Polres Gianyar, Aiptu Suteja ini selalu mengatur diri setiap hari.

Pagi hari, lulusan SPN Kupang 1983-1984 itu mendahulukan tugasnya sebagai polisi. Sejak menjabat paur pada 2013 lalu, dia bertanggungjawab mengelola klinik dan melayani anggota beserta keluarga polisi yang sakit.

Termasuk jika ada tahanan Polres Gianyar yang kondisinya tidak sehat. Sore harinya, ketika jam pulang kerja, Pande Suteja justru tidak langsung pulang.

“Saya jarang di rumah. Habis dari kantor pasti di kebun. Apalagi pas hari libur, bisa seharian di kebun,” ujar polisi yang diakrab disapa Pande.

Sepulang dinas, Aiptu Pande selalu menuju kebun seluas 29 are milih orang tuanya di Banjar Kanginan Desa Bakbakan Kecamatan Gianyar. Kebun itu tidak jauh dari rumahnya.

Suami dari Ni Putu Warningsih itu mengaku berkebun pepaya untuk mengisi waktu luang. Walau sudah menjadi polisi dengan memperoleh gaji dan tunjangan bulanan, Pande Suteja tidak gengsi menekuni pekerjaan berkebun.

Terlebih, Pande yang kelahiran 27 November 1962, sebentar lagi akan pensiun. Jadi berkebun pepaya ini termasuk persiapan di hari tua.

Di mana setelah purna tugas, dia melepas seragam polisi dan kembali ke masyarakat. “Berkebun ini sekaligus saya ingin

menggugah antusias masyarakat agar mau berkreasi di usia tua. Seperti saya yang sebentar lagi akan pensiun,” ujarnya.

Pande lebih memilih menanam pepaya jenis Kalina dari California. Dari hasil hitung-hitungan dia, berkebun pepaya lebih menjanjikan dibanding padi.

“Ada resiko untung rugi jika tanam padi. Kalau pepaya ini, hambatannya paling cuma cuaca dan hama. Perawatannya juga cukup mudah,” terangnya.

Berbagai teknik berkebun pepaya ini diperoleh dari membaca artikel di internet. “Dari ide awal mau tanam pepaya saya selalu buka internet. Sampai sekarang masih cari-cari informasi di internet,” ujarnya.

Proses awal dari biji. Untuk menjadi bibit diperlukan waktu sekitar 42 hari. Setiap bibit ditempatkan dalam kantong polibag hitam berukuran kecil.

Tujuannya untuk memudahkan saat memindahkan ke kebun. “Bibit pepaya sangat rentan, sedikit saja akarnya tercabut bisa gagal tanam. Maka itu dikantongi, pas tanam lebih mudah,” jelasnya.

Dari bibit-bibit ini, perlu waktu sekitar 2,5 bulan untuk berbunga. “Panen perdana pada saat usia pohon 6 sampai 7 bulan,” jelasnya.

Lantas usia per pohon, diperkirakan awet bisa sampai 3 atau 3,5 tahun. Seperti layaknya petani, Aiptu Pande biasa memupuk tanaman pepayanya.

Termasuk menyemprotkan fungisida untuk mengusir hama penyakitnya. “Pupuk saya pakai kotoran sapi yang ditimbun dan difermentasi selama 12 hari,” terangnya.

Di atas lahan seluas 29 are ini, Aiptu Pande menanam sekitar 250 pohon pepaya Kalina dengan jarak antar pohon sekitar 2,5 meter.

“Saya hitung, selama 2,5 tahun ini saya sudah dapat untung sekitar 80 juta,” ungkapnya tersenyum.

Satu pohon, kata dia, bisa berbuah hingga 35 buah. Maka itu, Aiptu Pande biasa melakukan panen 3 hari sekali. Per kilo dihargai sekitar Rp 6.000.

“Setiap petik atau panen, bisa dijual sampai sekitar Rp 1 juta,” jelasnya. Pande tidak perlu repot memasarkan pepayanya.

Sebab, setiap 3 atau 4 hari sekali, dia didatangi oleh pengepul pepaya yang langsung datang ke kebun untuk membeli. Tercatat, dia sudah melangsungkan panen raya sebanyak 8 kali.

Jika melihat untung, enak dihitung. Tapi sejak 2,5 tahun ini, Pande sudah merasakan pahit-getirnya menanam pepaya.

Ketika hujan lebat tiba dan cuaca buruk menerpa, tanaman kesayangannya terserang hama Antraknosa. Akibatnya, buah mengalami busuk pada beberapa bagian.

“Bisa juga gagal panen seperti waktu cuaca ekstrem dulu, hujan terus turun sehingga pepayanya kelebihan air dan nggak berbuah maksimal,” bebernya.

Ke depan, Aiptu Pande pun berencana mengembangkan pekerjaan sampingannya ini. “Yang ini masih lahan leluhur, kedepan saya mau kontrak lahan untuk mengembangkan,” jelasnya.

Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, Aiptu Pande pun menerapkan hal sama seperti tugas di kepolisian. Yakni, patroli. “Harus tekun dan patroli setiap saat. Per pohon kita sambangi,” pungkasnya. 

Paur Kesehatan Polres Gianyar, Aiptu Pande Ketut Suteja punya kiat tersendiri menjelang pensiun. Dia sudah menyiapkan kebun pepaya untuk bekal di hari pensiun.

Ada lika-liku berkebun yang dijalaninya. Seperti apa?

 

IB INDRA PRASETIA, Gianyar

AIPTU Pande Ketut Suteja dikenal sebagai polisi yang berkumis tebal. Sebagai Paur Kesehatan di Polres Gianyar, Aiptu Suteja ini selalu mengatur diri setiap hari.

Pagi hari, lulusan SPN Kupang 1983-1984 itu mendahulukan tugasnya sebagai polisi. Sejak menjabat paur pada 2013 lalu, dia bertanggungjawab mengelola klinik dan melayani anggota beserta keluarga polisi yang sakit.

Termasuk jika ada tahanan Polres Gianyar yang kondisinya tidak sehat. Sore harinya, ketika jam pulang kerja, Pande Suteja justru tidak langsung pulang.

“Saya jarang di rumah. Habis dari kantor pasti di kebun. Apalagi pas hari libur, bisa seharian di kebun,” ujar polisi yang diakrab disapa Pande.

Sepulang dinas, Aiptu Pande selalu menuju kebun seluas 29 are milih orang tuanya di Banjar Kanginan Desa Bakbakan Kecamatan Gianyar. Kebun itu tidak jauh dari rumahnya.

Suami dari Ni Putu Warningsih itu mengaku berkebun pepaya untuk mengisi waktu luang. Walau sudah menjadi polisi dengan memperoleh gaji dan tunjangan bulanan, Pande Suteja tidak gengsi menekuni pekerjaan berkebun.

Terlebih, Pande yang kelahiran 27 November 1962, sebentar lagi akan pensiun. Jadi berkebun pepaya ini termasuk persiapan di hari tua.

Di mana setelah purna tugas, dia melepas seragam polisi dan kembali ke masyarakat. “Berkebun ini sekaligus saya ingin

menggugah antusias masyarakat agar mau berkreasi di usia tua. Seperti saya yang sebentar lagi akan pensiun,” ujarnya.

Pande lebih memilih menanam pepaya jenis Kalina dari California. Dari hasil hitung-hitungan dia, berkebun pepaya lebih menjanjikan dibanding padi.

“Ada resiko untung rugi jika tanam padi. Kalau pepaya ini, hambatannya paling cuma cuaca dan hama. Perawatannya juga cukup mudah,” terangnya.

Berbagai teknik berkebun pepaya ini diperoleh dari membaca artikel di internet. “Dari ide awal mau tanam pepaya saya selalu buka internet. Sampai sekarang masih cari-cari informasi di internet,” ujarnya.

Proses awal dari biji. Untuk menjadi bibit diperlukan waktu sekitar 42 hari. Setiap bibit ditempatkan dalam kantong polibag hitam berukuran kecil.

Tujuannya untuk memudahkan saat memindahkan ke kebun. “Bibit pepaya sangat rentan, sedikit saja akarnya tercabut bisa gagal tanam. Maka itu dikantongi, pas tanam lebih mudah,” jelasnya.

Dari bibit-bibit ini, perlu waktu sekitar 2,5 bulan untuk berbunga. “Panen perdana pada saat usia pohon 6 sampai 7 bulan,” jelasnya.

Lantas usia per pohon, diperkirakan awet bisa sampai 3 atau 3,5 tahun. Seperti layaknya petani, Aiptu Pande biasa memupuk tanaman pepayanya.

Termasuk menyemprotkan fungisida untuk mengusir hama penyakitnya. “Pupuk saya pakai kotoran sapi yang ditimbun dan difermentasi selama 12 hari,” terangnya.

Di atas lahan seluas 29 are ini, Aiptu Pande menanam sekitar 250 pohon pepaya Kalina dengan jarak antar pohon sekitar 2,5 meter.

“Saya hitung, selama 2,5 tahun ini saya sudah dapat untung sekitar 80 juta,” ungkapnya tersenyum.

Satu pohon, kata dia, bisa berbuah hingga 35 buah. Maka itu, Aiptu Pande biasa melakukan panen 3 hari sekali. Per kilo dihargai sekitar Rp 6.000.

“Setiap petik atau panen, bisa dijual sampai sekitar Rp 1 juta,” jelasnya. Pande tidak perlu repot memasarkan pepayanya.

Sebab, setiap 3 atau 4 hari sekali, dia didatangi oleh pengepul pepaya yang langsung datang ke kebun untuk membeli. Tercatat, dia sudah melangsungkan panen raya sebanyak 8 kali.

Jika melihat untung, enak dihitung. Tapi sejak 2,5 tahun ini, Pande sudah merasakan pahit-getirnya menanam pepaya.

Ketika hujan lebat tiba dan cuaca buruk menerpa, tanaman kesayangannya terserang hama Antraknosa. Akibatnya, buah mengalami busuk pada beberapa bagian.

“Bisa juga gagal panen seperti waktu cuaca ekstrem dulu, hujan terus turun sehingga pepayanya kelebihan air dan nggak berbuah maksimal,” bebernya.

Ke depan, Aiptu Pande pun berencana mengembangkan pekerjaan sampingannya ini. “Yang ini masih lahan leluhur, kedepan saya mau kontrak lahan untuk mengembangkan,” jelasnya.

Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, Aiptu Pande pun menerapkan hal sama seperti tugas di kepolisian. Yakni, patroli. “Harus tekun dan patroli setiap saat. Per pohon kita sambangi,” pungkasnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/