28.1 C
Jakarta
22 November 2024, 17:59 PM WIB

Antara Wabah Corona dan Toleransi Beragama

SIPENG atau Nyepi Desa Adat yang akan dilaksanakan pada tanggal 18,19 dan 20 April mendatang menjadi perbincangan hangat masyarakat Bali.

Paling tidak ada dua alasan mendasar yang dijadikan alasan Majelis Desa Adat (MDA) Bali, yaitu keyakinan agama Hindu dan wabah corona.

Bali sebagai sebuah kota metropolitan, telah menjadi magnet bagi para pendatang. Ada yang datang untuk mengadu nasib di Bali, dan ada yang datang untuk berwisata.

Mereka dengan keyakinannya masing-masing telah hidup rukun berdampingan dengan masyarakat lokal.

Tidak satupun dari mereka yang ingin merusak ketentraman ini. Toleransi menjadi kunci dari kehidupan harmonis di Bali.

Namun, kali ini kebijakan pemerintah terasa istimewa karena adanya wabah corona. Kebijakan Sipeng yang mengharuskan orang untuk tidak keluar rumah,

seolah berjalan harmonis dengan kebijakan pemerintah untuk social/physical distancing melalui Work From Home (WFH) atau Study From Home (SFH).

Walhasil, WFH/SFH kali ini menjadi kental dengan nuansa agama, karena lembaga adat dan agama yang ada ikut terlibat.

Mereka yang berbeda keyakinan mungkin merasa seolah dipaksa mengikuti keyakinan mayoritas masyarakat Bali.

Belum lagi mereka yang mengandalkan mata pencaharian harian, artinya kalau tidak bekerja maka tidak makan.

Sangat bijak jika pemerintah memperhatikan hal ini dengan baik. Pemerintah punya kewajiban untuk mencari solusi bagi ribuan orang yang mengandalkan pekerjaan harian.

Selain itu, bukankah para pekerja ini juga menyumbang pemasukan bagi pendapatan daerah langsung maupun tidak langsung?

Pemerintah harus bisa bersikap lebih “ramah” agar Bali tidak ditinggalkan dan dianggap intoleran. Kebijakan yang ada haruslah mampu meng-cover semua kepentingan yang ada.

Jangan sampai muncul rasa termarginalkan di tengah masyarakat, karena rasa ini dalam jangka panjang tentu akan berdampak negatif. Terlebih lagi kita tidak tahu kapan wabah ini akan berakhir. [arkan meslab]

 

SIPENG atau Nyepi Desa Adat yang akan dilaksanakan pada tanggal 18,19 dan 20 April mendatang menjadi perbincangan hangat masyarakat Bali.

Paling tidak ada dua alasan mendasar yang dijadikan alasan Majelis Desa Adat (MDA) Bali, yaitu keyakinan agama Hindu dan wabah corona.

Bali sebagai sebuah kota metropolitan, telah menjadi magnet bagi para pendatang. Ada yang datang untuk mengadu nasib di Bali, dan ada yang datang untuk berwisata.

Mereka dengan keyakinannya masing-masing telah hidup rukun berdampingan dengan masyarakat lokal.

Tidak satupun dari mereka yang ingin merusak ketentraman ini. Toleransi menjadi kunci dari kehidupan harmonis di Bali.

Namun, kali ini kebijakan pemerintah terasa istimewa karena adanya wabah corona. Kebijakan Sipeng yang mengharuskan orang untuk tidak keluar rumah,

seolah berjalan harmonis dengan kebijakan pemerintah untuk social/physical distancing melalui Work From Home (WFH) atau Study From Home (SFH).

Walhasil, WFH/SFH kali ini menjadi kental dengan nuansa agama, karena lembaga adat dan agama yang ada ikut terlibat.

Mereka yang berbeda keyakinan mungkin merasa seolah dipaksa mengikuti keyakinan mayoritas masyarakat Bali.

Belum lagi mereka yang mengandalkan mata pencaharian harian, artinya kalau tidak bekerja maka tidak makan.

Sangat bijak jika pemerintah memperhatikan hal ini dengan baik. Pemerintah punya kewajiban untuk mencari solusi bagi ribuan orang yang mengandalkan pekerjaan harian.

Selain itu, bukankah para pekerja ini juga menyumbang pemasukan bagi pendapatan daerah langsung maupun tidak langsung?

Pemerintah harus bisa bersikap lebih “ramah” agar Bali tidak ditinggalkan dan dianggap intoleran. Kebijakan yang ada haruslah mampu meng-cover semua kepentingan yang ada.

Jangan sampai muncul rasa termarginalkan di tengah masyarakat, karena rasa ini dalam jangka panjang tentu akan berdampak negatif. Terlebih lagi kita tidak tahu kapan wabah ini akan berakhir. [arkan meslab]

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/