BADAN Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali secara resmi merilis indikator ketenagakerjaan yaitu tingkat pengangguran terbuka periode Agustus 2020 sebesar 5,63 persen.
Capaian tersebut meningkat drastis ketika dibandingkan dengan periode Agustus 2019 yang tercatat sebesar 1,57 persen.
Akibatnya Bali yang terkenal menduduki peringkat satu nasional dengan tingkat penggangguran terendah sebelum pandemi Covid-19 harus rela bergeser ke peringkat 18 dari 34 provinsi di Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri hantaman badai pandemi mengakibatkan ratusan ribu orang mengalami pengurangan jam kerja, dirumahkan, bahkan kehilangan pekerjaan dan pendapatan.
Bagaimanakah potret sebaran dampak pandemi pada situasi ketenagakerjaan di Provinsi Bali?
Ditinjau dari struktur lapangan pekerjaan utama yang paling terdampak adalah mereka yang bekerja di lapangan usaha kategori Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum.
Berdasar hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) Tahun 2020 diperkirakan sebanyak 9,75 persen dari total penduduk bekerja di Bali menggantungkan mata pencahariannya dari Industri Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum.
Porsi tersebut tercatat merosot tajam ketika dibandingkan dengan kondisi tahun 2019 dengan dugaan penurunan hingga 3,51 persen
sehingga menjadikan kategori ini menjadi industri dengan penurunan distribusi pekerja secara (y-on-y) paling dalam dibandingkan kategori-kategori lainnya.
Fenomena ini sebagai konsekuensi melesunya aktivitas di sektor pariwisata akibat belum meredanya pandemi Covid-19.
Meskipun demikian, para pelaku kegiatan ekonomi di sektor pariwisata nampaknya tidak tinggal diam.
Pergerakan positif distribusi struktur lapangan pekerjaan terjadi di kategori industri pertanian, perdagangan, serta industri pengolahan.
Ketiga kategori tersebut diduga menjadi sektor penyangga bagi mereka yang sebelumnya bekerja di sektor pariwisata.
Pertanian kembali menjadi tumpuan asa setidaknya untuk memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga yang tidak dapat ditunda.
Kemudian lapangan usaha perdagangan dipilih karena asumsinya akan lebih cepat balik modal.
Sementara itu kategori industri pengolahan diminati karena usaha ini tidak membutuhkan biaya yang besar dan dapat dilakoni oleh hampir seluruh lapisan penduduk terutama jenis industri makanan minuman rumah tangga.
Kemudian dari jenis sektor formal dan informal, pandemi Covid-19 diduga telah menarik mereka yang sebelumnya bekerja di sektor formal keluar menuju sektor informal.
Transformasi ini bukan atas dasar pilihan mereka namun akibat tidak adanya pilihan lain, sementara tuntutan hidup mengharuskan mereka harus tetap mendapatkan penghasilan.
Badan Pusat Statistik mengelompokan status formal dan informal berdasarkan status jabatan dalam pekerjaan.
Kategori formal diperuntukkan untuk mereka yang berusaha dibantu buruh tetap dan buruh atau karyawan atau pegawai.
Sementara kategori informal mencakup mereka yang berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap, pekerja bebas termasuk pekerja keluarga dan pekerja tidak dibayar.
Pada tahun 2020 diperkirakan sebesar 56,69 persen penduduk bekerja di sektor informal sedangkan pekerja di sektor formal tercatat sebesar 43,31 persen.
Gambaran tersebut cukup menjelaskan dampak pandemi menurunkan distribusi pekerja berstatus buruh, karyawan atau pegawai sebesar 6,43 persen ketika dibandingkan dengan kondisi tahun 2019.
Dengan demikian sinyal untuk bertahan dari jebakan pandemi sangat digantungkan pada sektor informal atau dengan kata lain
guncangan pandemi memaksa mereka yang semula bekerja di sektor formal beralih untuk berdikari di sektor informal.
Kelompok rentan lainnya selain mereka yang menganggur adalah kelompok setengah pengangguran dan pekerja paruh waktu.
Meskipun diperkirakan 1,53 juta orang (63,21 persen) penduduk bekerja di tahun 2020 merupakan pekerja penuh (artinya dalam seminggu bekerja minimal sebanyak 35 jam)
masih ada sebanyak 891,61 ribu (36,79 persen) orang yang masuk ke dalam kelompok setengah pengangguran.
Konsep penduduk setengah pengangguran adalah mereka yang bekerja di bawah jam kerja standar atau kurang dari 35 jam seminggu dan masih mencari pekerjaan atau masih bersedia menerima pekerjaan.
Penduduk kelompok ini sangat rentan kehilangan pekerjaan akibat produktivitas yang tidak maksimal.
Ketika dibandingkan dengan kondisi tahun 2019 proporsi penduduk setengah pengangguran meningkat lebih dari empat kali lipat
dimana tahun 2020 yang diperkirakan mencapai 8,62 persen sedangkan tahun 2019 tercatat sebesar 1,99 persen.
Kelompok ini mungkin saja berasal dari mereka yang kehilangan pekerjaan namun tetap berusaha untuk masuk ke dalam pasar tenaga kerja atau angkatan kerja
baru yang pertama kali masuk bursa kerja namun tidak terserap optimal di pasar tenaga kerja akibat pandemi.
SAKERNAS 2020 mengungkap bahwa dari total penduduk usia kerja di Bali dipekirakan sebanyak 24,69 persen penduduk usia kerja terdampak Covid-19.
Sebanyak 98,18 ribu orang menganggur akibat guncangan pandemi Covid-19. Ditinjau dari wilayah tempat tinggal,
penduduk perkotaan terdampak cukup tinggi dengan tingkat pengangguran mencapai 6,57 persen sedangkan di wilayah perdesaan sebesar 3,61 persen.
Fenomena ini diperkirakan oleh dominasi sektor formal di perkotaan. Di sisi lain, pengangguran di wilayah perdesaan cenderung lebih rendah
kemungkinan akibat segmentasi masyarakat yang tidak terpengaruh langsung dinamika pertumbuhan ekonomi makro.
Artinya mereka akan tetap bekerja untuk menyambung hidup terlepas dari situasi ekonomi. Mereka akan bekerja di bidang apa saja dengan sistem kerja tradisional
seperti buruh tani, buruh angkut, atau bekerja serabutan demi memperoleh penghasilan (Hasbullah, 2013).
Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menciptakan suasana yang produktif meskipun di tengah pandemi.
Beberapa bantuan sosial seperti Kartu Prakerja, BLT BPJS Ketenagakerjaan dan Banpres BPUM BLT UMKM misalnya.
Stimulus tersebut menjadi tumpuan asa demi bangkitnya perekenomian. Optimisme untuk keluar dari jebakan pandemi perlahan mulai muncul dari pergerakan perekonomian Bali
yang meskipun secara (y-on-y) masih terpuruk dengan pertumbuhan -12,28 persen namun secara (q-to-q) nampak mulai tumbuh sebesar 1,66 persen.
Sinyal positif ini membawa kabar baik optimisme pulihnya denyut nadi perekonomian Bali di bawah tekanan pandemi Covid-19.Bali Bangkit!
I Gede Heprin Prayasta
Mahasiswa Magister Ilmu Ekonomi Universitas Udayana