TANGGAL 9 Desember 2020 ini enam kota dan kabupaten di Bali akan menggelar pemungutan suara serentak. Pejabat pusat hingga daerah, politikus, dan tim sukses berbusa-busa mengimbau atau mengajak rakyat menggunakan hak pilihnya. Sekalipun sebetulnya, kita tak punya pilihan, pokoknya harus memilih. Ya, pasangan calon itu bukan pilihan kita. Bukan pilihan rakyat. Itu adalah pilihan partai yang disodorkan kepada rakyat. Untuk dipilih.
Sebelum kita menentukan akan menggunakan hak pilih atau tidak, ada baiknya bila kita mau memutar waktu beberapa tahun ke belakang. Saya ingin menengok perjalanan sejarah Pilkada langsung di Bali. Itu dimulai tahun 2005. Sebab, Pilkada-pilkada sebelumnya masih lewat parlemen di DPRD provinsi atau kabupaten/ kota.
Dari sekian banyak Pilkada di tingkat provinsi, kota dan kabupaten di Bali, saya memilih bahwa Pemilihan Gubernur Bali Tahun 2008 adalah yang terbaik dibandingkan Pilkada-pilkada di semua tingkatan di Bali. Memang bukan yang paling ideal. Namun menurut saya ini lah yang paling asyik sepanjang gelaran Pilkada di Bali.
Selain Pilgub Bali 2008, saya menilai pilkada-pilkada di Bali biasa-biasa saja. Kurang berbobot. Berbobot bukan berarti keras, bukan juga berujung kekerasan.
Jika ukurannya keras, Pilkada Tabanan tahun 2010 juga amat keras ketika Wayan Sukaja bertarung melawan Ni Putu Eka Wiryastuti. Sekalipun keras, saya melihat pertarungan itu tak cukup berbobot.
Mengapa saya harus memilih Pilgub Bali 2008 sebagai Pilkada terasyik dalam sejarah pemilihan kepala daerah secara langsung di Bali? Ada beberapa parameternya. Namun, yang terpenting bagi saya adalah dalam Pilkada itu yang ditarungkan adalah program, bukan semata-mata rekam jejak, ketokohan sang calon, kedaerahan, atau faktor-faktor lain, misalnya: UANG!
Kita tahu, dalam Pilgub Bali 2008 ada tiga pasangan calon. Made Mangku Pastika-AAN Puspayoga, pasangan calon yang diusung partai penguasa parlemen, yakni PDIP.
Paslon ini oleh kawan saya ketika sama-sama di Koran Radar Bali, sempat diberi akronim Pas-Pus. Namun, kemudian diprotes pihak PDIP. Mungkin akronim ini bisa menimbulkan konotasi yang buruk. Jika keseleo lidah, bisa berubah jadi “Mampus”. Makanya, belakangan Paslon ini diberi akronim Pasti-Yoga.
Kedua, I Gede Winasa yang bergandengan dengan IGB Alit Putra, yang memilih akronim Win-AP. Pengusungnya Demokrat Cs. Saat itu, Demokrat dengan SBY-nya masih berkuasa dan sedang kuat-kuatnya di Indonesia.
Dan yang ketiga, Cok Budi Suryawan-Nyoman Suweta (CBS-Suweta) yang diusung Partai Golkar. Partai yang puluhan tahun begitu lihai dan liat dalam percaturan politik tanah air. Tak terkecuali di Bali. Apalagi pada masa Orde Baru berjaya, partai berlambang pohon beringin ini juga sempat menikmati manisnya berkuasa di Bali.
Dari ketokohan, ketiganya memiliki kans yang hampir sepadan. Mungkin, jika harus jujur, hanya CBS-Suweta yang terlemah. Sekalipun kita tahu, CBS adalah mantan Bupati Gianyar, sedangkan Suweta mantan Wakil Kapolda Bali. Sedangkan Win-AP dan Pasti-Yoga diyakini akan bertarung hidup mati.
Dalam perjalanannya, pertarungan Win-AP dan Pasti-Yoga memang sengit. Winasa, sebagaimana kita tahu, pada waktu itu adalah Bupati Jembrana yang menyandang bupati dengan segunung prestasi. Julukannya Bupati MURI. Ia memang banyak menggondol penghargaan dari Museum Rekor Indonesia yang dibikin Jaya Suprana.
Nama Winasa tidak hanya moncer di Jembrana. Ia terkenal di Indonesia. Mungkin, ialah bupati yang paling terkenal di Indonesia kala itu. Itu karena banyak programnya yang hebat-hebat. Bahkan, dalam pertarungan pemilihan menjadi bupati periode kedua tahun 2005, Winasa memenangi Pilkada dengan mudah. Suaranya: 90 persen lebih!
Mangku Pastika tak kalah moncer dalam ketokohan. Ia pernah menjadi Kapolda Bali. Tokoh yang satu ini mulai naik daun setelah menjadi pimpinan dalam pengusutan kasus Bom Bali 1 tahun 2002. Keberhasilannya membuat ia kemudian diganjar sebagai Kapolda Bali. Namanya harum karena berhasil membongkar jaringan Imam Samudra dan Amrozi Cs.
Pasangan keduanya juga tak kalah moncer. Puspayoga adalah wali kota Denpasar, dan Alit Putra adalah mantan tentara juga mantan Bupati Badung di era Orde Baru.
Maka, boleh dibilang, sebetulnya Pilgub Bali 2008 adalah pertarungan gajah lawan gajah. Semuanya mantan atau masih menjadi pejabat. Ada Kapolda, wakapolda, wali kota, dan bupati.
Dilihat dari kedaerahan, Paslon Pasti-Yoga memang lebih diuntungkan. Pastika asal dengan Buleleng dan Puspayoga dari Denpasar. Suara kedua daerah ini adalah yang terbesar di Bali.
Suweta meski pun asal Buleleng, ia hanyalah calon wakil gubernur pendamping CBS, sehingga tak terlalu diperhitungkan bagi pemilih asal Buleleng. Sedangkan Winasa, hanya dari daerah dengan jumlah pemilih yang teramat sedikit. Mungkin hanya sekitar setengah dari Buleleng.
Pasti-Yoga juga diuntungkan oleh mesin partai yang solid. PDIP memiliki suara terbanyak dalam dua Pemilu sebelumnya. Dan kadernya militan.
Kenyataannya, nama yang harum, faktor kedaerahan, dan mesin partai, itu tidak cukup sebagai modal bagi ketiga Paslon dalam bertarung. Winasa tak bisa hanya mengandalkan predikat bupati yang moncer memimpin Jembrana, Pastika juga tak bisa hanya pamer keberhasilan menangkapi Amrozi Cs. Apalagi CBS yang hanya pernah menjadi bupati Gianyar yang biasa-biasa saja, atau Suweta yang cuma pernah jadi orang nomor dua di Polda Bali.
Untuk melengkapi ketokohannya, mereka beradu program. Soal program dan keberhasilan yang nyata, Winasa memang di atas angin. Sudah terbukti. Namun, program kesejahteraan seperti pendidikan gratis, kesehatan gratis, asuransi pertanian, kredit tanpa agunan dan seabrek program lainnya bukan hanya milik Winasa. Tak mau kalah, Pasti-Yoga juga menebar program yang tak jauh berbeda. Keduanya beradu argumen dan program.
Selain adu program kesejahteraan rakyat, Pastika memang lebih unggul dalam program yang menjamin keamanan. Bali yang habis dibom dua kali: 2002 dan 2005, tentu saja masih menyisakan trauma mendalam bagi warganya. Keamanan seperti menjadi komoditas yang cukup laku bahkan jadi andalan bagi Pastika yang mantan Kapolda Bali, sekalipun program kesejahteraan juga dimainkannya.
Kalau mau jujur, CBS-Suweta hanya menjadi pelengkap bagi pertarungan kedua gajah itu.
Namun, kita tahu, tak seluruh pertarungan Pilkada Bali 2008 hanya pertarungan program dan ketokohan. Tentu ada yang lain. Ada banyak kampanye hitam yang memainkan isu SARA (suku, agama, ras dan antargolongan). Terutama Winasa yang terus jadi bulan-bulanan. Kebetulan saja ia beristri bupati Banyuwangi, yang konon seorang Muslimah. Dan, mungkin juga ada pertarungan uang.
Hasilnya bisa kita ketahui kemudian. Pasti-Yoga adalah pemenangnya. Ketika resmi dilantik menjadi gubernur dan wakil Gubernur Bali, Pastika dan Puspayoga langsung tancap gas merealisasikan janji-janji politiknya yang disebut Bali Mandara: maju, aman, damai, dan sejahtera.
Ada banyak program Pastika. JKBM (kesehatan gratis), Simantri (pertanian terintegrasi), Gerbangsadu (bantuan modal BUM Desa Adat), bangun RS Pratama, dan lainnya. Tentu saja, ia menguatkan keamanan Bali yang menjadi salah satu andalannya dalam kampanye. Di antaranya memasang X-ray di sejumlah pintu gerbang masuk Bali.
Seandainya Pastika kalah sekalipun dalam Pilgub 2008 itu, kita tak terlalu khawatir. Misalnya, pemenang Pilgub itu adalah Win-AP, bisa jadi, program kesejahteraan juga digelar Paslon ini. Seperti yang dilakukan Winasa saat memimpin Jembrana. Hanya ini dalam skala lebih luas: Bali. Itu artinya tak jauh berbeda dengan Pastika. Bahkan, mungkin, lebih baik lagi.
Karena Pilgub 2008 merupakan Pilkada terasyik di Bali, kita tak terlalu pusing siapa pemenangnya kala itu. Walau kita tahu belakangan, Winasa masuk penjara karena tersandung masalah korupsi, dan Pastika makin brutal dalam memasukkan beberapa proyek yang ditolak banyak orang. Bahkan Pastika mengingkari sendiri kebijakannya tentang moratorium izin pembangunan hotel di Bali Selatan. Ia memberikan sokongan untuk rencana proyek reklamasi Teluk Benoa, yang di dalamnya untuk membangun akomodasi wisata, juga memberikan izin akomodasi wisata di Taman Hutan Raya Denpasar Selatan.
Besok, 9 Desember 2020 kita kembali digiring menuju bilik suara. Seolah-olah nasib kita lima tahun ke depan ditentukan melalui selembar kertas suara. Padahal, partisipasi politik tak melulu lima tahun sekali itu. Lebih penting lagi adalah keterbukaan pemimpin baru dalam mengelola pemerintahan sehari-hari. Artinya, membuka partisipasi politik warga dalam pengambilan kebijakan sehari-hari tak kalah penting, bahkan lebih penting dari demokrasi prosedural yang datang lima tahun sekali bernama Pilkada.
Bila Pilgub Bali tahun 2008 menjadi titik tolak, lantas apakah Pilkada serentak 9 Desember besok memiliki kualitas atau bobot yang sama dalam hal rekam jejak Paslon dan program-programnya? Akankah kita cemas jika Paslon yang tidak kita dukung lah yang menjadi pemenang? Atau jangan-jangan, sebagian dari kita sudah dalam taraf tak ada kecemasan sama sekali, karena kita tahu para Paslon yang bertarung itu sebetulnya biasa-biasa saja: sama-sama tak berbobot? Tak asyik.
Yoyo Raharyo
Jurnalis di Radarbali.id