33.4 C
Jakarta
22 November 2024, 13:14 PM WIB

Manfaatkan Koran Jadi Kerajinan Unik, Kembangkan Kursus Bahasa Inggris

Banyak cara yang dilakukan oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) untuk memberikan pembinaan. Selain menjadikan warga binaan bisa berubah menjadi lebih baik, di dalam lapas mereka juga dibekali dengan berbagai keterampilan. Seperti yang ada di lapas narkotika kelas II A Bangli.


ZULFIKA RAHMAN, Bangli

SUASANA sejuk sangat terasa saat memasuki Kabupaten Bangli. Maklum daerah ini merupakan daerah yang terletak di dataran tinggi dengan keberadaan Gunung Batur-nya.

Terlebih di daerah yang berada lebih dekat seperti Kintamani, Susut. Hawa sejuk sangat terasa. Susut merupakan salah satu kecamatan dari empat kecamatan yang ada di Kabupaten Bangli.

Di Susut inilah lokasi Lapastik Bangli berada. Lapas yang diperuntukkan bagi narapidana yang melakukan tindak pidana narkotika.

Tepatnya di Banjar Buungan, Desa Tiga. Lokasinya jauh cukup jauh dari perkotaan, namun masih berdekatan dengan permukiman warga.

Lapas tersebut saat ini dihuni oleh 346 narapidana, dan telah resmi dihuni sejak 2015 lalu. Saat memasuki ruang lapas, tidak jauh berbeda dengan beberapa lapas lainnya ketika akan melakukan kunjungan.

Melalui sistem pengamanan yang ketat, mulai dari scan seluruh tubuh, hingga pengecekan barang bawaan. Setelah melalui pemeriksaan yang ketat, sipir akan mulai mengarahkan apa yang akan dituju.

Pagi itu sekitar pukul 10.00, beberapa warga binaan tengah bermain futsal, di areal lapangan futsal yang telah disediakan.

Aktivitas lain yang terlihat yakni beberapa warga binaan tampak mengikuti pembelajaran bahasa Inggris yang diadakan oleh Yayasan Bangsa-bangsa Sejahtera (YBBS).

Mereka mendapatkan pelatihan bahasa Inggris empat kali dalam satu bulan. “Kegiatan ini sudah berlangsung sudah satu tahun lebih,” kata Cristin Tentero, Koordinator Kegiatan dari YBBS.

Pembelajaran bahasa Inggris dengan membentuk kelompok-kelompok antar warga binaan dengan satu pendamping ini dilakukan dari para relawan yang mau diajak untuk memberikan pembelajaran.

Meski tidak tetap relawan yang didatangkan, namun stok pengajar, kata Cristin, tidak sampai kekurangan.

Bahkan, selalu ada relawan dari kalangan turis asing yang kebetulan tengah berlibur ke Bali untuk diajak berpartisipasi memberikan pelajaran bahasa Inggris ini.

“Jadi, mereka bisa mendengar langsung dari turis cara berbahasa Inggris yang baik dan benar. Pelajaran yang kami berikan masih dasar,

tiap pertemuan kami selalu evaluasi. Ada yang berkembang, ada juga yang stagnan. Tergantung individunya,” terang perempuan asal Manado ini.

Pembekalan dengan memberikan kursus bahasa Inggris tersebut kata dia, sangat tepat. Ini mengingat Bali yang dikenal sebagai destinasi pariwisata dunia sangat membutuhkan kepiawaian berbahasa Inggris.

“Jadi nanti ketika keluar warga binaan ini ada bekal bahasa Inggris. Mereka bisa bekerja di pariwisata untuk kebutuhan ekonomi mereka,

jadi ini juga salah satu untuk mengatasi agar mereka tidak berbuat sesuatu yang salah di mata hukum. Dan, menjadi pribadi baru,” bebernya.

Dari obrolan tersebut, wartawan Jawa Pos Radar Bali mencoba melihat kriya dari warga binaan yang cukup kreatif dengan nilai ekonomis.

Empat warga binaan yang berada dalam satu ruangan terlihat menyelesaikan beberapa kerajinan yang terbuat dari bahan dasar koran.

Koran-koran bekas tersebut dianyam dengan telaten oleh Wayan Dima Putra, Novantara, Rahmat Hidayat, dan, Asep Permana.

Di tangan merekalah, koran-koran bekas tersebut menjadi kerajinan. Sebenarnya bukan hanya mereka saja, namun hampir sebagian besar penghuni Lapastik mampu mengerjakan kerajinan dari koran.

Beberapa kerajinan yang lahir dari tangan-tangan kreatif warga binaan seperti keben, bokor, lemari baju, kotak tisu, hingga miniatur kendaraan yang nyaris persis seperti aslinya.

“Kami para warga binaan sebelumnya tidak memiliki dasar membuat kerajinan. Tapi, karena ada pelatihan pada tahun 2017 lalu, akhirnya sekarang bisa buat sendiri dan produksi untuk dijual. Lumayan untuk mengisi waktu,” kata Wayan Dima Putra. 

Untuk menghasilkan satu kerajinan tangan, satu orang membutuhkan waktu tiga hari. Namun untuk barang kerajinan yang berisi hiasan seperti ukiran dengan kedetailan yang cukup rumit bisa memakan waktu sampai satu minggu.

“Tergantung bentuk. Kalau semakin kecil gulungan, semakin sulit. Kalau dari bahan sendiri sih cuman memakai koran, lem, pisau dan cat sama vernis,” tambah Novantara.

Untuk harga sendiri, diakui Asep, pihaknya tidak terlalu mengambil banyak keuntungan. Misalnya dengan modal Rp 100 ribu, ia menjual untuk kalangan umum senilai Rp 120 ribu saja.

Jika dilihat dari hasil tersebut, rasanya sangat wajar dibanderol dengan harga tersebut. Terlebih tingkat kesulitan yang lumayan.

Meski sudah setahun lebih berproduksi, namun perajin dari warga binaan tersebut masih mengeluhkan terkait akses pasar yang cukup sulit.

Tidak banyak yang mau membeli hasil kerajinan mereka, ini mengingat akses untuk memasarkan masih sangat minim. “Paling ada pengepul yang ambil ke sini (Lapastik Bangli). Tapi, tidak banyak,” imbuhnya. 

Dia berharap, ke depan penyerapan produk bikinan para warga binaan ini bisa tambah banyak. Kepala Lapastik Bangli Arif Rahman membenarkan bahwa penyerapan produk kerajinan yang dibuat para warga binaan tersebut masih minim.

Dalam sebulan ada dua sampai tiga pengepul yang datang untuk mengambil produk mereka setiap minggu.

“Online dulu sudah kami coba, yang difasilitasi salah satu pegawai kami. Cuman pas ada rolling-rolling lagi nah itu kan jadi kosong. Jadi tidak maksimal lagi. Tapi kalau pengepul-pengepul ini mengambil pesanan sampai 50 piecis,” tutur Arif.

Kerajinan tersebut dibuat untuk memfasilitasi minat bakat para warga binaan di lapastik. Selain itu, ini nantinya akan menjadi bekal bagi para warga binaan saat mereka bebas dan menjadi pribadi yang baru dan bisa berbaur dengan masyarakat.

“Jadi dengan memanfaatkan limbah koran bekas menjadi kerajinan bisa menjadi mata pencaharian mereka,” tandasnya.

Pihak Lapastik Bangli juga berkomitmen untuk mengurangi pemakaian sampah plastik. Aksi yang dilakukan yakni, keluarga atau kerabat yang ingin membesuk tidak diperbolehkan menggunakan tas plastik. (*)

Banyak cara yang dilakukan oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) untuk memberikan pembinaan. Selain menjadikan warga binaan bisa berubah menjadi lebih baik, di dalam lapas mereka juga dibekali dengan berbagai keterampilan. Seperti yang ada di lapas narkotika kelas II A Bangli.


ZULFIKA RAHMAN, Bangli

SUASANA sejuk sangat terasa saat memasuki Kabupaten Bangli. Maklum daerah ini merupakan daerah yang terletak di dataran tinggi dengan keberadaan Gunung Batur-nya.

Terlebih di daerah yang berada lebih dekat seperti Kintamani, Susut. Hawa sejuk sangat terasa. Susut merupakan salah satu kecamatan dari empat kecamatan yang ada di Kabupaten Bangli.

Di Susut inilah lokasi Lapastik Bangli berada. Lapas yang diperuntukkan bagi narapidana yang melakukan tindak pidana narkotika.

Tepatnya di Banjar Buungan, Desa Tiga. Lokasinya jauh cukup jauh dari perkotaan, namun masih berdekatan dengan permukiman warga.

Lapas tersebut saat ini dihuni oleh 346 narapidana, dan telah resmi dihuni sejak 2015 lalu. Saat memasuki ruang lapas, tidak jauh berbeda dengan beberapa lapas lainnya ketika akan melakukan kunjungan.

Melalui sistem pengamanan yang ketat, mulai dari scan seluruh tubuh, hingga pengecekan barang bawaan. Setelah melalui pemeriksaan yang ketat, sipir akan mulai mengarahkan apa yang akan dituju.

Pagi itu sekitar pukul 10.00, beberapa warga binaan tengah bermain futsal, di areal lapangan futsal yang telah disediakan.

Aktivitas lain yang terlihat yakni beberapa warga binaan tampak mengikuti pembelajaran bahasa Inggris yang diadakan oleh Yayasan Bangsa-bangsa Sejahtera (YBBS).

Mereka mendapatkan pelatihan bahasa Inggris empat kali dalam satu bulan. “Kegiatan ini sudah berlangsung sudah satu tahun lebih,” kata Cristin Tentero, Koordinator Kegiatan dari YBBS.

Pembelajaran bahasa Inggris dengan membentuk kelompok-kelompok antar warga binaan dengan satu pendamping ini dilakukan dari para relawan yang mau diajak untuk memberikan pembelajaran.

Meski tidak tetap relawan yang didatangkan, namun stok pengajar, kata Cristin, tidak sampai kekurangan.

Bahkan, selalu ada relawan dari kalangan turis asing yang kebetulan tengah berlibur ke Bali untuk diajak berpartisipasi memberikan pelajaran bahasa Inggris ini.

“Jadi, mereka bisa mendengar langsung dari turis cara berbahasa Inggris yang baik dan benar. Pelajaran yang kami berikan masih dasar,

tiap pertemuan kami selalu evaluasi. Ada yang berkembang, ada juga yang stagnan. Tergantung individunya,” terang perempuan asal Manado ini.

Pembekalan dengan memberikan kursus bahasa Inggris tersebut kata dia, sangat tepat. Ini mengingat Bali yang dikenal sebagai destinasi pariwisata dunia sangat membutuhkan kepiawaian berbahasa Inggris.

“Jadi nanti ketika keluar warga binaan ini ada bekal bahasa Inggris. Mereka bisa bekerja di pariwisata untuk kebutuhan ekonomi mereka,

jadi ini juga salah satu untuk mengatasi agar mereka tidak berbuat sesuatu yang salah di mata hukum. Dan, menjadi pribadi baru,” bebernya.

Dari obrolan tersebut, wartawan Jawa Pos Radar Bali mencoba melihat kriya dari warga binaan yang cukup kreatif dengan nilai ekonomis.

Empat warga binaan yang berada dalam satu ruangan terlihat menyelesaikan beberapa kerajinan yang terbuat dari bahan dasar koran.

Koran-koran bekas tersebut dianyam dengan telaten oleh Wayan Dima Putra, Novantara, Rahmat Hidayat, dan, Asep Permana.

Di tangan merekalah, koran-koran bekas tersebut menjadi kerajinan. Sebenarnya bukan hanya mereka saja, namun hampir sebagian besar penghuni Lapastik mampu mengerjakan kerajinan dari koran.

Beberapa kerajinan yang lahir dari tangan-tangan kreatif warga binaan seperti keben, bokor, lemari baju, kotak tisu, hingga miniatur kendaraan yang nyaris persis seperti aslinya.

“Kami para warga binaan sebelumnya tidak memiliki dasar membuat kerajinan. Tapi, karena ada pelatihan pada tahun 2017 lalu, akhirnya sekarang bisa buat sendiri dan produksi untuk dijual. Lumayan untuk mengisi waktu,” kata Wayan Dima Putra. 

Untuk menghasilkan satu kerajinan tangan, satu orang membutuhkan waktu tiga hari. Namun untuk barang kerajinan yang berisi hiasan seperti ukiran dengan kedetailan yang cukup rumit bisa memakan waktu sampai satu minggu.

“Tergantung bentuk. Kalau semakin kecil gulungan, semakin sulit. Kalau dari bahan sendiri sih cuman memakai koran, lem, pisau dan cat sama vernis,” tambah Novantara.

Untuk harga sendiri, diakui Asep, pihaknya tidak terlalu mengambil banyak keuntungan. Misalnya dengan modal Rp 100 ribu, ia menjual untuk kalangan umum senilai Rp 120 ribu saja.

Jika dilihat dari hasil tersebut, rasanya sangat wajar dibanderol dengan harga tersebut. Terlebih tingkat kesulitan yang lumayan.

Meski sudah setahun lebih berproduksi, namun perajin dari warga binaan tersebut masih mengeluhkan terkait akses pasar yang cukup sulit.

Tidak banyak yang mau membeli hasil kerajinan mereka, ini mengingat akses untuk memasarkan masih sangat minim. “Paling ada pengepul yang ambil ke sini (Lapastik Bangli). Tapi, tidak banyak,” imbuhnya. 

Dia berharap, ke depan penyerapan produk bikinan para warga binaan ini bisa tambah banyak. Kepala Lapastik Bangli Arif Rahman membenarkan bahwa penyerapan produk kerajinan yang dibuat para warga binaan tersebut masih minim.

Dalam sebulan ada dua sampai tiga pengepul yang datang untuk mengambil produk mereka setiap minggu.

“Online dulu sudah kami coba, yang difasilitasi salah satu pegawai kami. Cuman pas ada rolling-rolling lagi nah itu kan jadi kosong. Jadi tidak maksimal lagi. Tapi kalau pengepul-pengepul ini mengambil pesanan sampai 50 piecis,” tutur Arif.

Kerajinan tersebut dibuat untuk memfasilitasi minat bakat para warga binaan di lapastik. Selain itu, ini nantinya akan menjadi bekal bagi para warga binaan saat mereka bebas dan menjadi pribadi yang baru dan bisa berbaur dengan masyarakat.

“Jadi dengan memanfaatkan limbah koran bekas menjadi kerajinan bisa menjadi mata pencaharian mereka,” tandasnya.

Pihak Lapastik Bangli juga berkomitmen untuk mengurangi pemakaian sampah plastik. Aksi yang dilakukan yakni, keluarga atau kerabat yang ingin membesuk tidak diperbolehkan menggunakan tas plastik. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/