Penumpang dipersilakan naik pesawat. Cililink jurusan Medan segera berangkat. Tidak ada yang antri. Tidak ada panggilan kedua. Pun panggilan terakhir. Semua penumpang sudah hadir. Lengkap: tiga orang.
Sebelum itu Citilink jurusan Surabaya juga boarding. Penumpangnya juga sudah komplit. Jumlahnya sangat lumayan: 11 orang.
Lion Air jurusan Balikpapan tidak akan boarding. “Cancel,” bunyi pengumuman di layar monitor. Garuda juga tidak jadi diberangkatkan. Sama: Cancel.
Pun jurusan Lampung.
Itulah yang terjadi di bandara internasional Kertajati. Saat saya ke situ Jumat pagi lalu (8/3/2019).
Bandara itu sangat besar. Desainnya modern campur tradisional. Atapnya terdiri dari lembaran-lembaran. Tiap lembarannya menggambarkan seuntai bulu merak.
“Merak” adalah tema bandara baru itu. Sesuai dengan tari khas Jawa Barat: Tari Merak.
Di teras depan pun ada dua kurungan merak. Di sayap kiri dan kanan. Di tengah taman yang belum jadi. Kurungannya indah. Besar. Tingginya mencapai lantai dua bagian depan bandara itu.
Sekilas orang tidak tahu kurungan apa itu. Setelah didekati baru kelihatan: ada empat burung merak di dalamnya. Masih kecil. Masih remaja. Belum kelihatan ‘hadir’ sebagai penghias.
Burung itu didatangkan dari hutan dekat Madiun. Di Jabar sendiri kelihatannya sudah sulit mencari burung merak.
Di beranda depan ini ada lift dan dua eskalator. Untuk naik ke lantai dua. Tempat check in.
Saya naik lewat lift itu. Masih berfungsi dengan baik. Dua eskalatornya yang tidak dijalankan. Itu betul. Menghemat listrik. Toh penumpangnya hanya beberapa gelintir.
Sayap kiri bandara ini untuk keberangkatan internasional. Yang kanan untuk domestik. Tapi, itu tadi, bandara ini belum diminati.
Sudah lama saya ingin tahu bandara baru ini. Sejak masih menjadi sesuatu dulu. Tapi tertunda terus. Karena bandara satu itu tidak ada hubungannya dengan kementerian BUMN.
Justru istri saya yang tahu duluan. Saat ke Cirebon dulu. Dia pulang ke Surabaya lewat bandara ini.
Minggu lalu pun saya menyesal lagi. Terlanjur beli tiket Surabaya-Bandung pulang pergi. Mestinya beli satu jalan saja. Pulang ke Surabaya lewat Kertajati.
Sejak duluuuu saya sudah tahu. Di Kertajati akan dibangun bandara. Untuk menggantikan bandara Bandung yang sangat kecil itu. Juga agar tidak mengganggu TNI-AU.
Waktu itu agak serba salah. Bandara Husein Sastranegara diperbesar atau tidak. Apakah tidak bersabar saja. Menunggu Kertajati jadi.
Tapi pembangunan sebuah bandara tidak bisa cepat. Apalagi sangat besar. Akhirnya diputuskan: Husein Sastranegara diperluas. Sebisa-bisanya. Jangan menjadi terlalu luas. Toh hanya untuk sementara. Yang penting jangan keterlaluan sempitnya. Dan jeleknya.
Saat itu bandara Bandung benar-benar sudah tidak sesuai dengan tingkat keramaiannya. Dengan status internasionalnya. Yang begitu banyak jurusan luar negerinya.
Waktu itu ekonomi Bandung memang berkembang sangat pesat. Bandaranya sangat tertinggal dengan bandara-bandara baru lainnya.
Bayangan saya perluasan itu cukuplah kalau untuk lima tahun saja. Toh bandara Kertajati pasti akan jadi. Yang desainnya bagus. Ukurannya besar. Lahannya sangat luas.
Bayangan saya bandara Kertajati itu tidak terlalu jauh dari Bandung. Bukan 70 km seperti ini. Mestinya begitu bandara diresmikan bisa menggantikan Husein Sastranegara.
Ternyata masih ada hambatan besar. Akses dari Bandung belum tersedia. Masih dalam pengerjaan.
Saya jadi mendadak ingin tahu Kertajati. Kebetulan ada waktu setengah hari.
Malam itu bisa saja saya tidak tidur di Bandung. Dari Stadion Si Jalak Harupat bisa langsung ke Cirebon. Agar paginya bisa ke Kertajati. Tapi jalan keluar dari stadion macet bukan main. Akhirnya saya tidur di Trans Hotel.
Jam 5 pagi kami berangkat dari Bandung. Kami putuskan lewat Lembang. Lalu Subang. Lalu masuk jalan tol Cikampek-Cirebon.
Setelah melewati satu exit tibalah di exit Kertajati. Itulah exit menuju bandara. Yang jaraknya masih sekitar 15 km lagi.
Saya malu. Terkecoh. Bayangan saya lokasi bandara Kertajati itu di selatan tol. Otak saya sudah tercuci. Oleh citra bahwa bandara Kertajati adalah pengganti bandara Husein Sastranegara. Berarti, mestinya, tidak terlalu jauh dari Bandung.
Ternyata lokasinya di utara jalan tol. Mendekati pantai utara.
Makanya perlu tiga jam perjalanan dari Bandung tadi. Termasuk muter-muter di kota Subang. Cari sarapan.
Makanya bandara Kertajati masih sangat sepi. Memang sempat banyak penerbangan mencobanya: Lion Air, Xpress Air, Garuda dan Citilink. Jurusannya pun banyak: Surabaya, Banjarmasin, Balikpapan, Lampung, Jogja.
Tapi jumlah penumpang sangat sedikit. Apalagi setelah ada revolusi non-mental: harga tiket naik. Pun bagasi harus bayar.
Sepi.
Sunyi.
Seperti yang saya gambarkan di atas. Tiga penumpang untuk pesawat Boeing 737. Untuk jarak terbang lebih dari dua jam.
Sekarang tinggal Citilink yang masih rela rugi. Itu pun hanya dua penerbangan. Ke dua jurusan. Ke Surabaya jam 9 pagi. Dan ke Medan pada jam yang sama. Bahkan yang jurusan Medan itu tinggal tiga kali seminggu.
Jalan tol baru memang sedang dibangun. Dari Bandung ke Kertajati. Tepatnya dari ujung jalan tol Cileunyi. Menembus dua gunung di Subang. Dengan terowongan panjang.
Kalau jalan pintas itu jadi barangkali beda. Barangkali tidak. Tergantung banyak hal. Setidaknya tarif tolnya: mahal atau mahal sekali. Dan apakah bandara Husein Sastranegara ditutup.
Sambil menunggu jalan tol, Citilink akan terus merugi. Tapi penumpang seperti Bu Nur akan sangat berterima kasih. Dia orang Majalengka. Kerja di Jakarta. Harus sering ke Surabaya.
Saudaranya banyak: dia anak ke 11 dari 16 bersaudara. Harus sering pulang ke Majalengka. Dia akan jadi pelanggan tetap jurusan Kertajati-Surabaya.
Doa Bu Nur jelas: semoga Citilink tahan merugi di jurusan ini. Setidaknya Citilink sudah berjasa. Membuat bandara Kertajati ada gunanya cepat-cepat diresmikan. Tanpa harus menunggu aksesnya jadi.(dahlan iskan)