Menjadi transpuan atau transgender bukan perkara mudah di Indonesia. Tak terkecuali di Bali, meski Pulau Dewata ini sangat
terbuka dengan dunia luar. Pahit getir kehidupan dirasakan. Dari bullying dan keluarga yang tidak bisa menerima.
NI KADEK NOVI FEBRIANI, Denpasar
PERAYAAN Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret lalu diselenggarakan secara berbeda.
Kali ini, lebih membuka suara transpuan di Bali. Acara tersebut diselenggarakan oleh Gender, Sexuality, and Human Rights (GSHR) Universitas Udayana di Rumah Sanur.
Narasumber yang diundang memang orang yang berhubungan dekat dengan kaum transpuan.
Melati, seorang transpuan yang menjadi salah satu narasumber menceritakan tantangan berat menjadi transpuan.
Yang pertama, katanya, adalah bagaimana menjelaskan kepada keluarga. Kebetulan keluarganya sangat mengharapkan kehadiran anak laki-laki.
Kemudian, ibunya pun harus minta sentana (meminta laki-laki) supaya ada penerus generasi di keluarga ibunya.
Nah, Melati ini adalah jawaban dari doa dan harapan kakeknya dan keluarga memiliki keturunan laki-laki.
Oleh sebab itu, sulit baginya untuk terus terang di awal terkait orientasi seksualnya kepada orang tua. Tetapi, dia tidak ingin dia sembunyikan terus-menerus.
Kalau di rumah harus berpakaian laki-laki sedangkan keluar rumah dia bisa menjadi diri sendiri dengan berpakaian perempuan.
“Aku memberikan pengertian awal orang tua melarang untuk dandan. Apalagi aku anak pertama, anak laki-laki di keluarga. Ibuku nyentana. Ditentang keluarga terutama kakek,” ucap pria yang berusia 27 tahun ini.
Masa-masa dirundung temannya juga dialami. Bahkan, ibunnya sendiri yang turun tangan ketika dia diejek oleh temannya di sekolah.
Melati mengaku begitu berat ketika oritentasi seksualnya tidak sesuai dengan kelaminnya.
Tidak hanya cibiran, Melati juga mengaku pernah ada seorang transpuan di Bali yang ditolak ngekos, karena dianggap aneh oleh pemilik kosnya.
“Kita lho sama-sama makan nasi,” ucapnya dengan nada ngondek. Berbeda dengan Kimoralez, dia bukan transpuan, hanya sebagai penghibur tapi memakai pakaian wanita.
Atau istilahnya sebagai cross dresser . Ia sembunyi-sembunyi melakoni pekerjaan tersebut.
Pria asal Jembrana ini memiliki tubuh tinggi, hidung mancung rambut panjang yang diluruskan (smoothing) .
Saat itu mengenakan terusan berwarna merah. Tapi, tak seperti Melati, ia tidak membesarkan payudara. Bahkan, Kimola telah menikah dan sudah memiliki anak.
Istrinya mengetahui pekerjaan Kimola dan juga tahu koleksi pakai wanita serta aksesorinya.
“Istri saya tahu, tapi keluarga saya tidak. Kalau di rumah aku pendiam, ngomong seadanya,” ucapnya.
Walau dianggap tabu dan memalukan, mereka mengaku banyak yang sudah memiliki pekerjaan dan menjadi tulang punggung keluarga.
Ada yang buka salon, desainer, atau bekerja di pemerintahan. “Karena transpuan tidak malu bekerja apa saja asal mereka bisa melakukannya,” ucap Melati.
Disinggung mengenai kesehatan, ada memang beberapa transpuan yang operasi payudara dengan menghabiskan kocek Rp 25 juta samapi Rp 30 juta, tapi tempatnya di Thailand karena dianggap lebih murah.
Sedangkan di Bali, baru ada dua rumah sakit yang melayani operasi payudara. Itupun biayanya mahal. “Ya kalau punya uang atau mapan milih operasi,” terangnya.
Sedangkan yang tidak punya uang, menyiasati memakai pil KB maupun suntik. Katanya, ini digunakan untuk membuat kantong payudara semakin menonjol, kulit halus, urat otot tidak terlihat sehingga melemaskan alat kelaminnya.
“Yang penting ada payudara, bokong, dan hidung lebih mancung. Teman transpuan jarang operasi,” selorohnya.
Sekretaris LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Asosiasi Perempuan Untuk Keadilan (APIK), Luh Putu Anggreni yang turut menjadi narasumber memaparkan secara hukum, diakuinya LGBT kerap mendapatkan perlakukan diskriminatif.
Seperti tak jarang transpuan diciduk Satpol PP. “Jika mendapat perlakukan tidak mengenakkan, ketika melapor ke polisi malah disalahkan balik oleh polisi karena transpuan,” tuturnya. (*)