Baru sekali ini saya ke lapangan golf di luar negeri. Kalau jadi. Demi Robert Lai – -sahabat baik saya itu. Yang saya utang segalanya itu. Kebetulan saya lagi di Edinburgh –ibu kota Skotlandia.
Yang Brexit kalah telak. Pun di seluruh wilayah ini. Kalau Brexit dipaksakan? Mereka ingin merdeka dari Inggris. Bangun pagi-pagi saya melihat ke luar jendela: hujan.
Dari jendela di kamar saya itu hanya terlihat lorong. Kanan kirinya bangunan tua. Temboknya tinggi. Warna gelap. Gelap campur hujan. Lorong itu sendiri bertrap-trap.
Trapnya tinggi sekali. Saya harus agak mendongak untuk melihat ujung sananya. Rupanya trap itu menuju sebuah jalan raya. Di atas sana.
Ujung sini trap itu jauh di bawah jendela kamar saya. Entah akan belok ke mana. Masih ada kamar lagi di bawah kamar saya itu. Kamar ini tiga lantai di bawah tanah.
Kalau diukur dari lobi. Tapi begitu tiba di kamar, masih terlihat tinggi. Dibanding lorong itu. Begitulah semua bangunan di Edinburgh. Kalau tidak di lembah, ya di ketinggian.
Atau di perengan-nya. Jadinya kota ini indah sekali. Rasanya Edinburgh-lah kota terindah –yang pernah saya kunjungi. Untuk kategori kota tua.
Hampir semua bangunannya terlihat tua. Terutama yang di pusat kota. Juga terlihat seperti kastil semua. Apalagi gereja-gerejanya. Indah-indah.
Yang bukan gereja pun seperti gereja. Saya pernah foto di depan sebuah gereja. Setelah saya dekati ternyata sekolahan. Saya juga pernah melihat banyak orang masuk gereja.
Di Jalan Victoria. Ups, ternyata sebuah restoran. Saya jadi ingat pertanyaan jebakan Azrul Ananda. Yang saya tidak bisa menjawab: mengapa tidak ada Disneyland di Inggris? Saya pun menyerah.
“Tidak akan laku. Di Inggris semua bangunan sudah seperti Disneyland,” katanya. Apalagi di Edinburgh ini. Saya membayangkan, betapa serunya –kalau semua penulis komentar DI’s Way kumpul di sini.
Tapi hujan. Saya ke Google: berapa lama hujan pagi ini? “Sampai jam 15.00,” tulis Google. Ups. Saya pun berpikir cepat. Saya menyesal mengapa pisah dengan Robert Lai.
Ia harus menemani istrinya ke Yunani. Lalu ke Barcelona. Kalau ada Robert, saya bisa langsung memutuskan: kita ke St Andrews saja. Satu jam perjalanan mobil dari Edinburgh.
Daripada hanya di kamar begini. Di St Andrews cukuplah tiga jam. Pukul 15.00 bisa tiba kembali di Edinburgh. (Orang di sini menyebut pukul 15.00 dengan kata ‘fifteen hundred’).
Untung sekali kemarin. Saya tiba di Edinburgh cuaca sangat cerah. Langit biru. Daun-daun hijau. Masih pukul fifteen hundred pula. Rugilah kalau hanya di kamar.
Saya pun bergegas keluar. Ke ‘Disneyland terbesar di dunia’. Manusia begitu banyak. Wajahnya riang gembira. Antusias menatap sana. Antusias menatap sini.
Turis semua. Bule semua –sekilas. Ups, banyak juga yang berwajah Tionghoa. Invasi turis Tiongkok memang sudah ke mana-mana. Menyebarkan rejeki ke segala arah – kalau di situ tidak ada Alipay.
Saya pun ingat cucu. Tepatnya diingatkan. Ini gara-gara instagram saya yang berisi pohon Harry Potter di Oxford itu. Sebagai penggila Harry Potter, Icha, cucu pertama itu, mengingatkan: di Edinburgh lebih banyak jejak Harry Potter-nya.
Tapi saya penggemar novel-novel Dan Brown. Seperti ‘Da Vinci Code’. Bukan penggemar Harry Potter. Saya lebih ingat pada Rosslyn Chapel. Yang lokasinya juga di Edinburgh.
Setidaknya tidak sejauh St Andrews-nya Robert Lai. Rosslyn Chapel digambarkan begitu misteriusnya. Dikaitkan dengan kelompok rahasia Freemason. Knights Templar.
Terutama saat terjadi perburuan Holy Grail –cawan suci yang berisi darah Yesus yang menetes dari tiang salib itu. Beda generasi beda kegemaran baca novelnya.
Kadang saya harus memaksakan diri membaca Enid Blyton –untuk bisa nyambung dengan cucu. Kadang nonton D’Academy. Untuk bisa memahami istri.
Ups, ternyata terlalu sering nonton yang D’Academy itu. Sampai ikut ngefans ke Fildan. Atau Rara. Atau Saskia Gotik. Terutama bagian itu tuh –bagian Gotiknya.
Hayo, ke mana? St Andrews demi Robert Lai? Ke jejak-jejak Harry Potter demi cucu? Atau ke Rosslyn Chapel demi diri sendiri. Akhirnya saya memutuskan: menulis saja naskah ini. Entah demi siapa.(Dahlan Iskan)