28.2 C
Jakarta
14 Desember 2024, 2:44 AM WIB

Sopir Pribadi Dicoret Jadi Pecalang Karena Tak Satu Jalur, Disel…

DENPASAR – Seorang pecalang Made Sutama asal Banjar Angas Sari Desa Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung dicoret karena tidak mendukung paslon Koster – Cok Ace.

Sutama selain menjadi pecalang juga menjadi sopir pribadi anggota DPRD Bali dari Fraksi PDIP Disel Astawa.

Disel Astawa saat dikonfirmasi membenarkan Sutama memang dicoret sebagai pecalang hanya karena berbeda jalur politik.

Disel Astawa mengaku tidak pernah berdiskusi soal politik apalagi memaksa Sutama untuk memilih pilihan yang sama dengan dirinya.

Disel menyebut urusan politik berbeda dengan urusan pekerjaan. Untuk pilihan politik, dirinya tidak ikut campur sekalipun berbeda dalam pilihan.

“Saya tanya Sutama. Apakah Sutama memilih Mantra-Kerta hanya karena saya sebagai majikannya memilih Mantra-Kerta.

Kalau itu yang terjadi saya akan minta dia untuk mengikuti arahan di banjarnya. Sutama mengaku jika dirinya memilih Mantra-Kerta karena pilihannya sendiri dan tidak ada paksaan dari siapa pun.

Kalau pun Sutama memilih pasangan lain, saya tidak masalah dan tidak mungkin saya pecat Sutama sebagai sopir. Pekerjaan itu berbeda dengan pilihan politik. Inilah demokrasi yang sebenarnya,” ujar Disel.

Menurutnya, tidak ada hubungan sama sekali antara keanggotaan sebagai pecalang dengan pilihan politik.

“Pecalang itu benar-benar pengabdian total kepada desanya, kepada banjarnya secara adat. Apa hubungan dengan memecat orang sebagai pecalang dengan pilihan politik.

Seharusnya, siapa pun menjadi gubernur, pengabdian warga Bali kepada adat dan budaya tidak boleh diutak- atik,” ujarnya.

Janji politik melalui bansos dan hibah, terang Disel, sudah merusak tatanan budaya masyarakat Bali di tingkat yang paling bawah.

Disel menilai, dalam Pilgub kali ini tekanan dan intimidasi sungguh luar biasa terjadi di tingkat desa dan banjar.

Khusus  di Kabupaten Badung, seluruh desa telah dijanjikan hibah dan bansos dengan syarat harus memenangkan Koster-Ace.

Bila tidak, maka bansos di desa yang bersangkutan tidak akan dicairkan. “Ini pemaksaan luar biasa. Masyarakat ditekan, diintimidasi.

Padahal hibah atau bansos itu bukan uang pribadi sang bupati, tetapi uang rakyat, dari APBD. Kewajiban pemerintah untuk membangun berbagai infrastruktur masyarakat seperi pura, wantilan, jalan desa dan sebagainya,” ujarnya.

Kontrak politik seperti ini merusak tatanan hidup sosial dan budaya masyarakat Bali. Perpecahan di tingkat bawah tinggi, demokrasi dan pendidikan politik tidak berjalan.

“Adat dan budaya Bali jangan ditarik ke politik. Kalau pun menang, gubernurnya milik rakyat, bukan milik kelompok tertentu,” sesalnya. 

DENPASAR – Seorang pecalang Made Sutama asal Banjar Angas Sari Desa Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung dicoret karena tidak mendukung paslon Koster – Cok Ace.

Sutama selain menjadi pecalang juga menjadi sopir pribadi anggota DPRD Bali dari Fraksi PDIP Disel Astawa.

Disel Astawa saat dikonfirmasi membenarkan Sutama memang dicoret sebagai pecalang hanya karena berbeda jalur politik.

Disel Astawa mengaku tidak pernah berdiskusi soal politik apalagi memaksa Sutama untuk memilih pilihan yang sama dengan dirinya.

Disel menyebut urusan politik berbeda dengan urusan pekerjaan. Untuk pilihan politik, dirinya tidak ikut campur sekalipun berbeda dalam pilihan.

“Saya tanya Sutama. Apakah Sutama memilih Mantra-Kerta hanya karena saya sebagai majikannya memilih Mantra-Kerta.

Kalau itu yang terjadi saya akan minta dia untuk mengikuti arahan di banjarnya. Sutama mengaku jika dirinya memilih Mantra-Kerta karena pilihannya sendiri dan tidak ada paksaan dari siapa pun.

Kalau pun Sutama memilih pasangan lain, saya tidak masalah dan tidak mungkin saya pecat Sutama sebagai sopir. Pekerjaan itu berbeda dengan pilihan politik. Inilah demokrasi yang sebenarnya,” ujar Disel.

Menurutnya, tidak ada hubungan sama sekali antara keanggotaan sebagai pecalang dengan pilihan politik.

“Pecalang itu benar-benar pengabdian total kepada desanya, kepada banjarnya secara adat. Apa hubungan dengan memecat orang sebagai pecalang dengan pilihan politik.

Seharusnya, siapa pun menjadi gubernur, pengabdian warga Bali kepada adat dan budaya tidak boleh diutak- atik,” ujarnya.

Janji politik melalui bansos dan hibah, terang Disel, sudah merusak tatanan budaya masyarakat Bali di tingkat yang paling bawah.

Disel menilai, dalam Pilgub kali ini tekanan dan intimidasi sungguh luar biasa terjadi di tingkat desa dan banjar.

Khusus  di Kabupaten Badung, seluruh desa telah dijanjikan hibah dan bansos dengan syarat harus memenangkan Koster-Ace.

Bila tidak, maka bansos di desa yang bersangkutan tidak akan dicairkan. “Ini pemaksaan luar biasa. Masyarakat ditekan, diintimidasi.

Padahal hibah atau bansos itu bukan uang pribadi sang bupati, tetapi uang rakyat, dari APBD. Kewajiban pemerintah untuk membangun berbagai infrastruktur masyarakat seperi pura, wantilan, jalan desa dan sebagainya,” ujarnya.

Kontrak politik seperti ini merusak tatanan hidup sosial dan budaya masyarakat Bali. Perpecahan di tingkat bawah tinggi, demokrasi dan pendidikan politik tidak berjalan.

“Adat dan budaya Bali jangan ditarik ke politik. Kalau pun menang, gubernurnya milik rakyat, bukan milik kelompok tertentu,” sesalnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/