31.1 C
Jakarta
30 April 2024, 10:20 AM WIB

Terkenang Bikin Patung Garuda Bareng Presiden AS, Kesulitan Bahan Kayu

Patung Garuda berukuran besar hasil karya I Made Ada Astawa, telah menghiasi istana kepresidenan sejak era Presiden Soeharto.

Belakangan, namanya mendunia karena ribuan miniatur garuda dijadikan cinderamata saat acara internasional di Nusa Dua.

Di usia ke-71, Made Ada Astawa, kini tidak bisa terlalu lama duduk mengukir. Dia hanya mengawasi saja.

Namun dia punya impian membangun patung selevel Garuda Wisnu Kencana (GWK), mengelilingi pulau Bali.

 

IB INDRA PRASETIA, Gianyar

DERETAN art shop kecil menjajakan patung garuda di Banjar/Desa Pakudui, Kecamatan Tegalalang. Desa patung garuda itu tak terlepas dari peran maestro ukir patung garuda, I Made Ada Astawa.

Telah banyak cerita dari pemilik Made Ada Gallery tersebut. “Saya selalu ada, kalau dicari pasti ada. Saya begini adanya,” ujar Made Ada menyambut hangat kedatangan Jawa Pos Radar Bali.

Dia pun mengisahkan sekelumit tentang perjalannya di kancah nasional. Yakni pernah diundang ke hotel di Nusa Dua, untuk mengukir di acara presiden.

“Di hotel ada Pak Reagen (Ronald Reagen, presiden Amerika Serikat ke-40, red). Saya memamerkan kemampuan mengukir langsung dihadapan Pak Reagen,” jelasnya.

Tidak itu saja, di era 1900-an, dia juga kembali diundang ke acara internasional di salah satu hotel di Kuta Selatan.

“Waktu datang Bill Clinton (presiden Amerika Serikat ke-42, red), juga disuruh mengukir patung. Waktu itu ketat sekali.

Saya duduk 1 jam mengukir, selesai ngukir, pahat saya disimpan sama petugas. Tidak boleh ada benda tajam selama acara,” kenangnya.

Menurutnya, beberapa patung di Istana Presiden, baik di Jakarta dan Tampaksiring, ada karyanya. “Patung saya dibeli, langsung sama pak Harto (Soeharto, red),” jelasnya.

Dari sanalah, kemudian namanya tenar sebagai pematung spesialis garuda. Sejak tahun 1963 menjadi pengukir, Made Ada pun sudah banyak makan asam garam.

Untuk kali ini, kesulitan yang dialami pematung adalah mencari bahan kayu gelondongan. “Saya kebanyakan pakai kayu dari Bali semua. Saya merasa kayu asli Bali lebih metaksu (wibawa, red),” jelasnya.

Kayu yang dia peroleh kini mulai ke pedalaman. “Kalau dulu, gampang nyari kayu di pinggir jalan sudah dapat. Sekarang agak sulit cari kayu bagus, harus masuk pedalaman,” jelasnya.

Bahkan, lokasi terjauh ada di daerah Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Ada juga dari Madenan, Kabupaten Buleleng.

“Saya beli kayunya Rp 10 juta. Karena jaraknya jauh, ongkos angkutnya lagi Rp 10 juta,” terangnya. Kayu yang biasa dia gunakan, yakni jenis cempaka dan nangka.

Hanya beberapa kayu yang dibeli dari luar Bali. “Seperti jati beli di luar. Tapi itu lebih untuk ukiran bangunan Bali,” jelasnya.

Kesehariannya, sebelum mengukir, Made Ada memberikan pola pada kayu. “Saya duduk satu jam sudah tidak kuat. Saya hanya berikan pola, lalu ukir dasarnya. Setelah itu saya serahkan ke tukang. Selesai,” jelasnya.

Ketika patung rampung, harga patung yang ditawarkan bervariatif. Mulai Rp 1 juta, yang berukuran kecil, kurang lebih sebesar bola sepak. Dan yang terbesar, dihargai Rp 350 juta.

“Kalau yang dipajang ini Rp 250 juta,” ujarnya menunjukkan patung garuda yang tingginya kurang lebih 3 meteran.

Made Ada yang telah mewarisi ilmu ukir kepada putranya juga punya impian untuk Bali. “Kalau saya tenaga sudah tidak bisa.

Tapi, ini wawasan saya untuk Bali 100 tahun lagi. Saya ingin ada patung seperti GWK dibangun di seluruh Bali,” jelasnya.

Kalau di Kuta Selatan sudah ada GWK, di sudut pulau Bali lainnya dia minta dibangun patung dewa lainnya sesuai arah mata angin.

“Di utara Wisnu, kalau selatan bisa buat patung Brahma. Di timur Siwa, di barat Rudra. Patung dibuatkan sinopsis,” jelasnya.

Tidak hanya patung besar, namun pembangunan patung juga dilengkapi insfratruktur. “Dengan begitu pengangguran

bisa berkurang. Kalau itu dibuat sama provinsi, Bali tetap eksis untuk mengantisipasi globalisasi ke depan,” jelasnya.

Lanjut dia, tidak cukup satu Garuda saja di Kuta Selatan. “Untuk mengatasi ketimpangan juga. Supaya Bali tidak macet di Sanur,

Kuta dan Ubud saja. Harapan saya seperti itu. Supaya pengangguran berkurang, itu wawasan Bali 100 tahun lagi,” terangnya.

Di usianya yang lagi muda, Made Ada berharap pemikirannya itu bisa menjadi aspirasi bagi para pemimpin Bali dan presiden RI.

“Tidak akan rugi, Indonesia menginvestasi (membangun, red) patung 9 dewa seperti Garuda Wisnu. Saya tidak bisa bekerja, hanya memikirkan dan sampaikan itu saja. Mungkin 100 tahun lagi ada Made Ada baru,” tukasnya. (*)

 

Patung Garuda berukuran besar hasil karya I Made Ada Astawa, telah menghiasi istana kepresidenan sejak era Presiden Soeharto.

Belakangan, namanya mendunia karena ribuan miniatur garuda dijadikan cinderamata saat acara internasional di Nusa Dua.

Di usia ke-71, Made Ada Astawa, kini tidak bisa terlalu lama duduk mengukir. Dia hanya mengawasi saja.

Namun dia punya impian membangun patung selevel Garuda Wisnu Kencana (GWK), mengelilingi pulau Bali.

 

IB INDRA PRASETIA, Gianyar

DERETAN art shop kecil menjajakan patung garuda di Banjar/Desa Pakudui, Kecamatan Tegalalang. Desa patung garuda itu tak terlepas dari peran maestro ukir patung garuda, I Made Ada Astawa.

Telah banyak cerita dari pemilik Made Ada Gallery tersebut. “Saya selalu ada, kalau dicari pasti ada. Saya begini adanya,” ujar Made Ada menyambut hangat kedatangan Jawa Pos Radar Bali.

Dia pun mengisahkan sekelumit tentang perjalannya di kancah nasional. Yakni pernah diundang ke hotel di Nusa Dua, untuk mengukir di acara presiden.

“Di hotel ada Pak Reagen (Ronald Reagen, presiden Amerika Serikat ke-40, red). Saya memamerkan kemampuan mengukir langsung dihadapan Pak Reagen,” jelasnya.

Tidak itu saja, di era 1900-an, dia juga kembali diundang ke acara internasional di salah satu hotel di Kuta Selatan.

“Waktu datang Bill Clinton (presiden Amerika Serikat ke-42, red), juga disuruh mengukir patung. Waktu itu ketat sekali.

Saya duduk 1 jam mengukir, selesai ngukir, pahat saya disimpan sama petugas. Tidak boleh ada benda tajam selama acara,” kenangnya.

Menurutnya, beberapa patung di Istana Presiden, baik di Jakarta dan Tampaksiring, ada karyanya. “Patung saya dibeli, langsung sama pak Harto (Soeharto, red),” jelasnya.

Dari sanalah, kemudian namanya tenar sebagai pematung spesialis garuda. Sejak tahun 1963 menjadi pengukir, Made Ada pun sudah banyak makan asam garam.

Untuk kali ini, kesulitan yang dialami pematung adalah mencari bahan kayu gelondongan. “Saya kebanyakan pakai kayu dari Bali semua. Saya merasa kayu asli Bali lebih metaksu (wibawa, red),” jelasnya.

Kayu yang dia peroleh kini mulai ke pedalaman. “Kalau dulu, gampang nyari kayu di pinggir jalan sudah dapat. Sekarang agak sulit cari kayu bagus, harus masuk pedalaman,” jelasnya.

Bahkan, lokasi terjauh ada di daerah Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Ada juga dari Madenan, Kabupaten Buleleng.

“Saya beli kayunya Rp 10 juta. Karena jaraknya jauh, ongkos angkutnya lagi Rp 10 juta,” terangnya. Kayu yang biasa dia gunakan, yakni jenis cempaka dan nangka.

Hanya beberapa kayu yang dibeli dari luar Bali. “Seperti jati beli di luar. Tapi itu lebih untuk ukiran bangunan Bali,” jelasnya.

Kesehariannya, sebelum mengukir, Made Ada memberikan pola pada kayu. “Saya duduk satu jam sudah tidak kuat. Saya hanya berikan pola, lalu ukir dasarnya. Setelah itu saya serahkan ke tukang. Selesai,” jelasnya.

Ketika patung rampung, harga patung yang ditawarkan bervariatif. Mulai Rp 1 juta, yang berukuran kecil, kurang lebih sebesar bola sepak. Dan yang terbesar, dihargai Rp 350 juta.

“Kalau yang dipajang ini Rp 250 juta,” ujarnya menunjukkan patung garuda yang tingginya kurang lebih 3 meteran.

Made Ada yang telah mewarisi ilmu ukir kepada putranya juga punya impian untuk Bali. “Kalau saya tenaga sudah tidak bisa.

Tapi, ini wawasan saya untuk Bali 100 tahun lagi. Saya ingin ada patung seperti GWK dibangun di seluruh Bali,” jelasnya.

Kalau di Kuta Selatan sudah ada GWK, di sudut pulau Bali lainnya dia minta dibangun patung dewa lainnya sesuai arah mata angin.

“Di utara Wisnu, kalau selatan bisa buat patung Brahma. Di timur Siwa, di barat Rudra. Patung dibuatkan sinopsis,” jelasnya.

Tidak hanya patung besar, namun pembangunan patung juga dilengkapi insfratruktur. “Dengan begitu pengangguran

bisa berkurang. Kalau itu dibuat sama provinsi, Bali tetap eksis untuk mengantisipasi globalisasi ke depan,” jelasnya.

Lanjut dia, tidak cukup satu Garuda saja di Kuta Selatan. “Untuk mengatasi ketimpangan juga. Supaya Bali tidak macet di Sanur,

Kuta dan Ubud saja. Harapan saya seperti itu. Supaya pengangguran berkurang, itu wawasan Bali 100 tahun lagi,” terangnya.

Di usianya yang lagi muda, Made Ada berharap pemikirannya itu bisa menjadi aspirasi bagi para pemimpin Bali dan presiden RI.

“Tidak akan rugi, Indonesia menginvestasi (membangun, red) patung 9 dewa seperti Garuda Wisnu. Saya tidak bisa bekerja, hanya memikirkan dan sampaikan itu saja. Mungkin 100 tahun lagi ada Made Ada baru,” tukasnya. (*)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/