31.7 C
Jakarta
6 November 2024, 18:25 PM WIB

Apa Itu Rasis?

Apa itu rasis? 

Saya bisa merasakan tapi sulit membuat rumusan.

Seorang wanita di St Louis, Missouri, kirim email ke penerbit kamus terkenal Merriam-Webster. ”Saya protes atas rumusan rasis di kamus itu,” ujar Kennedy Mitchum di MPR News Radio Minneapolis.

”Janganlah rasis diartikan ’tidak menyukai seseorang karena beda ras’ saja,” tulisnyi di email itu.

Mitchum juga menuliskan protesnyi itu di Facebook. Dia seorang doktor hukum, politik, dan ilmu sosial. 

Tentu protesnyi itu tidak lepas dari situasi terakhir –setelah George Floyd tewas karena lehernya di dengkul polisi di Minneapolis itu.

Media di sana pun mulai mempersoalkan apakah polisi kulit putih itu, Derek Chauvin, seorang rasis. Kan istrinya sendiri suku Hmong. Yang masih lahir di Laos.

Tidakkah ada alasan lain. Misalnya bukankah latar belakang Floyd sendiri juga kriminal –bahkan pernah dihukum 5 tahun.

Ruwet.

Rasis telah mengalahkan akal sehat –bahkan mengalahkan hukum sekali pun. Begitu dalamnya sentimen ras ini.

”Semua itu gara-gara kamus,” ujar komentar di Facebook. Seperti setengah bergurau. ”Kamus terlalu sederhana dalam mendefinasikan rasis,” tulis wanita itu.

Menurut Mitchum rumusan di kamus itu tidak cocok lagi dengan kenyataan di lapangan. Dalam definisi rasis hanya disebutkan ’sebuah kepercayaan bahwa ras adalah penentu utama dari sifat-sifat dan kapasitas manusia’. Ditambah dengan penjelasan ’bahwa perbedaan ras menghasilkan rasa keunggulan yang melekat pada ras tertentu’.

Hebatnya penerbit kamus Merriam-Webster sangat responsif. Perubahan langsung dilakukan.

Peter Sokolowski, editor at large di Merriam-Webster menjelaskan: di edisi terbaru online sudah diadakan perubahan. 

Rasis, menurut rumusan baru itu, terdiri dari dua jenis ekspresi: eksplisit dan implisit.

Yang eksplisit adalah: ekspresi bias institusional terhadap orang lain yang disebabkan perbedaan ras. 

Yang implisit adalah: ekspresi bias implisit yang sangat luas yang juga bisa menghasilkan struktur kekuasaan yang asimetris.

Haha… masih ruwet juga. Baca sendiri sajalah aslinya. Buka sendirilah kamusnya.

Kebetulan saya juga terus berkomunikasi dengan John Mohn. Lebih intensif lagi sejak maraknya demo di Amerika belakangan ini. Termasuk diskusi soal ras.

John baru pindah rumah. Dari kota amat kecil, Hays, ke kota besar Lawrence –empat jam bermobil ke arah timur. Di masa pensiunnya John dan Chris ingin lebih dekat dengan rumah anak-anaknya.

Saya pun akan kangen Hays. Tidak ada alasan lagi ke sana. Saya juga tidak akan tahu lagi bagaimana nasib masjid kecil terbuat dari kayu itu. Yang jamaah salat Jumat-nya kadang hanya tiga orang.

”Bahwa istri Chauvin orang Hmong benar. Tapi itu tidak bisa jadi pembenar bahwa ia tidak rasialis,” ujar John.

”Sepanjang masih ada sikap ras tertentu lebih unggul dari ras lain, itulah rasis,” tambahnya. ”Rasis harus dibedakan dengan perbedaan budaya,” katanya. ”Orang Madiun suka pecel, saya suka hamburger, itu bukan karena ras,” guraunya.

Selama berbulan-bulan tinggal di rumah John pun saya sering diskusi soal ras dengannya. Kami sudah seperti keluarga. Anak saya pernah menjadi anaknya –ketika sekolah SMA di pedalaman Kansas dulu. 

Dari diskusi ras itu kami pun melangkah lebih jauh: sama-sama menjalani tes ras.

Selama itu John merasa keturunan Jerman. Saya merasa orang Jawa.

Hasil tes ras itu membuat kami tertawa. Kami pun langsung beradu telapak tangan sekeras-kerasnya. Kami ternyata masih ada hubungan keluarga. Sedikit.

Kami sama-sama punya darah Neanderthal. Sama-sama 2,5 persen. 

Neanderthal adalah suku kuno. Yang hidup di gua-gua. Di bagian selatan Jerman. Yang sudah lama punah.

Kami juga sama-sama keturunan Indian. Hanya saja darah kulit merah saya 2,5 persen. Sedang darah Indian John 5 persen.

Suku Indian sendiri dipercaya datang dari Asia Utara atau Timur. Mereka sampai ke Amerika ketika daratan dua benua itu masih tersambung. Di dekat Alaska itu. 

”Saya tidak percaya ada ras tertentu lebih unggul dari ras lainnya,” ujar John. ”Tapi itulah yang dikembangkan di Eropa sejak ratusan tahun lalu,” tambahnya.

Teknologi tes ras sendiri kian maju. Dulu hanya ada satu lab di Amerika yang bisa melakukannya. Ke situlah kami melakukan tes.

Kini sudah banyak lab sejenis. Tiongkok pun sudah membuka praktik seperti itu. Sudah menjadi ladang bisnis baru yang laris. Lab-lab baru terus dibuka. Di Tiongkok saja kini sudah ada beberapa. 

Orang begitu emosional soal ras. Orang begitu ingin tahu: saya ini orang apa. Bisnis yang terkait emosi adalah bisnis yang pantang resesi. 

Teknologi mungkin juga akan menyelesaikan perbedaan ras. Rasanya tidak ada lagi orang yang masih 100 persen dari ras yang mereka percaya.

Saya yang merasa Jawa ternyata keturunan campuran: Neanderthal, Indian, Tionghoa, Arab, dan Asia Tenggara.

Kelak, kalau teknologi ras di Asia sudah semaju Amerika, mungkin yang disebut ”ras Asia Tenggara” itu bisa lebih dirinci lagi. 

Jangan-jangan yang disebut ras Asia Tenggara itu Sunda Empire. (Dahlan Iskan)

Apa itu rasis? 

Saya bisa merasakan tapi sulit membuat rumusan.

Seorang wanita di St Louis, Missouri, kirim email ke penerbit kamus terkenal Merriam-Webster. ”Saya protes atas rumusan rasis di kamus itu,” ujar Kennedy Mitchum di MPR News Radio Minneapolis.

”Janganlah rasis diartikan ’tidak menyukai seseorang karena beda ras’ saja,” tulisnyi di email itu.

Mitchum juga menuliskan protesnyi itu di Facebook. Dia seorang doktor hukum, politik, dan ilmu sosial. 

Tentu protesnyi itu tidak lepas dari situasi terakhir –setelah George Floyd tewas karena lehernya di dengkul polisi di Minneapolis itu.

Media di sana pun mulai mempersoalkan apakah polisi kulit putih itu, Derek Chauvin, seorang rasis. Kan istrinya sendiri suku Hmong. Yang masih lahir di Laos.

Tidakkah ada alasan lain. Misalnya bukankah latar belakang Floyd sendiri juga kriminal –bahkan pernah dihukum 5 tahun.

Ruwet.

Rasis telah mengalahkan akal sehat –bahkan mengalahkan hukum sekali pun. Begitu dalamnya sentimen ras ini.

”Semua itu gara-gara kamus,” ujar komentar di Facebook. Seperti setengah bergurau. ”Kamus terlalu sederhana dalam mendefinasikan rasis,” tulis wanita itu.

Menurut Mitchum rumusan di kamus itu tidak cocok lagi dengan kenyataan di lapangan. Dalam definisi rasis hanya disebutkan ’sebuah kepercayaan bahwa ras adalah penentu utama dari sifat-sifat dan kapasitas manusia’. Ditambah dengan penjelasan ’bahwa perbedaan ras menghasilkan rasa keunggulan yang melekat pada ras tertentu’.

Hebatnya penerbit kamus Merriam-Webster sangat responsif. Perubahan langsung dilakukan.

Peter Sokolowski, editor at large di Merriam-Webster menjelaskan: di edisi terbaru online sudah diadakan perubahan. 

Rasis, menurut rumusan baru itu, terdiri dari dua jenis ekspresi: eksplisit dan implisit.

Yang eksplisit adalah: ekspresi bias institusional terhadap orang lain yang disebabkan perbedaan ras. 

Yang implisit adalah: ekspresi bias implisit yang sangat luas yang juga bisa menghasilkan struktur kekuasaan yang asimetris.

Haha… masih ruwet juga. Baca sendiri sajalah aslinya. Buka sendirilah kamusnya.

Kebetulan saya juga terus berkomunikasi dengan John Mohn. Lebih intensif lagi sejak maraknya demo di Amerika belakangan ini. Termasuk diskusi soal ras.

John baru pindah rumah. Dari kota amat kecil, Hays, ke kota besar Lawrence –empat jam bermobil ke arah timur. Di masa pensiunnya John dan Chris ingin lebih dekat dengan rumah anak-anaknya.

Saya pun akan kangen Hays. Tidak ada alasan lagi ke sana. Saya juga tidak akan tahu lagi bagaimana nasib masjid kecil terbuat dari kayu itu. Yang jamaah salat Jumat-nya kadang hanya tiga orang.

”Bahwa istri Chauvin orang Hmong benar. Tapi itu tidak bisa jadi pembenar bahwa ia tidak rasialis,” ujar John.

”Sepanjang masih ada sikap ras tertentu lebih unggul dari ras lain, itulah rasis,” tambahnya. ”Rasis harus dibedakan dengan perbedaan budaya,” katanya. ”Orang Madiun suka pecel, saya suka hamburger, itu bukan karena ras,” guraunya.

Selama berbulan-bulan tinggal di rumah John pun saya sering diskusi soal ras dengannya. Kami sudah seperti keluarga. Anak saya pernah menjadi anaknya –ketika sekolah SMA di pedalaman Kansas dulu. 

Dari diskusi ras itu kami pun melangkah lebih jauh: sama-sama menjalani tes ras.

Selama itu John merasa keturunan Jerman. Saya merasa orang Jawa.

Hasil tes ras itu membuat kami tertawa. Kami pun langsung beradu telapak tangan sekeras-kerasnya. Kami ternyata masih ada hubungan keluarga. Sedikit.

Kami sama-sama punya darah Neanderthal. Sama-sama 2,5 persen. 

Neanderthal adalah suku kuno. Yang hidup di gua-gua. Di bagian selatan Jerman. Yang sudah lama punah.

Kami juga sama-sama keturunan Indian. Hanya saja darah kulit merah saya 2,5 persen. Sedang darah Indian John 5 persen.

Suku Indian sendiri dipercaya datang dari Asia Utara atau Timur. Mereka sampai ke Amerika ketika daratan dua benua itu masih tersambung. Di dekat Alaska itu. 

”Saya tidak percaya ada ras tertentu lebih unggul dari ras lainnya,” ujar John. ”Tapi itulah yang dikembangkan di Eropa sejak ratusan tahun lalu,” tambahnya.

Teknologi tes ras sendiri kian maju. Dulu hanya ada satu lab di Amerika yang bisa melakukannya. Ke situlah kami melakukan tes.

Kini sudah banyak lab sejenis. Tiongkok pun sudah membuka praktik seperti itu. Sudah menjadi ladang bisnis baru yang laris. Lab-lab baru terus dibuka. Di Tiongkok saja kini sudah ada beberapa. 

Orang begitu emosional soal ras. Orang begitu ingin tahu: saya ini orang apa. Bisnis yang terkait emosi adalah bisnis yang pantang resesi. 

Teknologi mungkin juga akan menyelesaikan perbedaan ras. Rasanya tidak ada lagi orang yang masih 100 persen dari ras yang mereka percaya.

Saya yang merasa Jawa ternyata keturunan campuran: Neanderthal, Indian, Tionghoa, Arab, dan Asia Tenggara.

Kelak, kalau teknologi ras di Asia sudah semaju Amerika, mungkin yang disebut ”ras Asia Tenggara” itu bisa lebih dirinci lagi. 

Jangan-jangan yang disebut ras Asia Tenggara itu Sunda Empire. (Dahlan Iskan)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/