26.2 C
Jakarta
22 November 2024, 3:27 AM WIB

Diperlukan Teknologi dan Aturan Hukum untuk Melindungi Warisan Leluhur

Banyak artefak yang jadi cagar budaya di Bali perlu dilindungi. Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali (BPCB Bali) pun dibuat sibuk mencari solusi Bersama Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia Komisariat Daerah Bali (IAAI Komda Bali). Seperti apa?

 

 

NI KADEK NOVI FEBRIANI, Denpasar

SEJUMLAH narasumber dihadirkan di acara yang digelar di Inna Bali Heritage Hotel, pertengahan Desember 2018 lalu itu.

Seperti Prof. Dr. I Gusti Sudiana, M.Si., Dr. Djati Mardianto, M.Si., Giri Prayoga, S.T., I Nyoman Rema, S.S., M.Fil., Kristiawan, M.A serta dari Dirjen Kebudayaan RI.

Menurut Kristiawan dari Program Studi Arkeologi Universitas Udayana, pemanfaatan teknologi adalah keharusan, dukungan regulasi atau aturan perlindungan adalah kenyaman, dan bersinergi adalah tantangan.

Kristiawan mengatakan, tiga hal penting tersebut adalah pemikiran awal bagaimana sebaiknya usaha mitigasi terkait cagar budaya dilakukan.

Perlu adanya pendekatan lembaga lain terkait pelatihan penguatan kapasitas menghadapi risiko bencana.

Pembentukan lembaga pelatihan khusus kebencanaan sudah dilakukan lembaga setingkat BNPB dan BPBD.

“Dengan semangat yang sama, modul penanganan bencana khusus cagar budaya sudah selayaknya mulai dirintis.

Pada tingkat awal proyeksi mitigasi secara fisik dapat dilakukan pada situs atau cagar budaya berdasarkan tingkat kerentanan (heritage in danger),” ujarnya,

Sedangkan mitigasi non fisik bisa dilakukan berdasarkan kaidah pelestarian seperti inventarisasi dengan format database multi user sesuai kebutuhan konservasi dan rehabilitasi.

Sehingga penting untuk segera dilakukan pemutakhiran peta sebaran situs yang terintegrasi dengan peta potensi bencana di daerah, dan penjajakan kerjasama pelatihan siaga bencana dengan BNPB atau BPBD.

Sementara Ketua  BPCB Bali I Wayan Muliarsa mengatakan, diskusi yang mengambil tema “Mitigasi Bencana Dalam Pelestarian Cagar Budaya Di Bali” ini diharapkan mampu menanamkan ideologi  pelestarian warisan leluhur.

Yakni dengan cara perencanaan-perencanaan penyelamatan cagar budaya jika dipandang terancam oleh bencana.

Mengingat kerusakan (kepunahan) cagar budaya tidak saja karena ulah manusia. Tetapi juga oleh alam yang tidak bisa dibendung.

Untuk itu dinilai sangat penting strategi-strategi mitigasi bencana alam. Ini dirasa perlu dilakukan sebagai upaya pelestarian cagar budaya.

“Mengingat lokasi cagar budaya berada di daerah rawan bencana seperti di Bali, maka dari itu sangat perlu diadakannya diskusi seperti ini. Dengan adanya diskusi ini

kami berharap dapat menemukan berbagai cara-cara mencegah maupun mengambil langkah ketika terjadi bencana di dalam melestarikan cagar budaya tersebut,” ujar Muliarsa.

Sekda Kota Denpasar AAN Rai Iswara yang mewakili Wali Kota Denpasar IB Rai Dharmawijaya Mantra  menyampaikan Pemerintah Kota Denpasar terus konsisten dalam pelestarian kebudayaan khususnya cagar budaya.

Antara lain dibuktikan dengan diterbitkannya Perda No. 12 Tahun 2015,  tentang pengelolaan cagar budaya sebagai regulasi perlindungan, pemanfaatan dan pembinaan cagar budaya di Kota Denpasar.

“Saat ini Cagar Budaya di Kota Denpasar yang telah terdata per tahun 2018 kurang lebih sebanyak 300 buah, baik itu situs, benda, bangunan, struktur dan kawasan cagar budaya,” jelas Rai Iswara.

Dengan ditemukannya berbagai arca-arca bercorak megalitik di Pura Ayun dan Pura Sukun Peguyangan serta ditemukannya Prasasti Blanjong Sanur, Denpasar,  

yang dikeluarkan Sri Kesari Warmadewa pada tahun 835 Caka (913 Masehi). Selain itu muncul pengaruh Majapahit dengan adanya bangunan bercirikan batu bata merah.

Seperti bangunan cagar budaya Pura Maospahit Tonja dan Pura Maospahit Gerenceng serta adanya kerajaan-kerajaan besar di Denpasar seperti Puri Kesiman,

Puri Pemecutan, dan Puri Denpasar membuktikan bahwa cagar budaya di Kota Denpasar memiliki nilai historis yang memang sangat perlu untuk dijaga kelestariannya.

Mengingat banyaknya sumberdaya arkeologi/ cagar budaya di Denpasar dan Bali pada umumnya, sangat penting dilaksanakan diskusi ilmiah arkeologi yang mengangkat isu strategis tentang mitigasi bencana dalam pelestarian cagar budaya.

“Ke depan dengan adanya diskusi ini, dapat memberikan dampak positif bagaimana di dalam melestarikan cagar budaya tersebut. Mengingat akhir-akhir ini bencana alam seperti gempa bumi

yang tentunya tidak bisa diprediksi dapat merusak warisan budaya tersebut. Oleh karena itu, dengan diadakannya diskusi ini dapat memberi solusi agar kelestarian cagar budaya tetap ada dan tidak tergerus zaman,” harap Rai Iswara.  (*)

 

 

 

 

Banyak artefak yang jadi cagar budaya di Bali perlu dilindungi. Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali (BPCB Bali) pun dibuat sibuk mencari solusi Bersama Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia Komisariat Daerah Bali (IAAI Komda Bali). Seperti apa?

 

 

NI KADEK NOVI FEBRIANI, Denpasar

SEJUMLAH narasumber dihadirkan di acara yang digelar di Inna Bali Heritage Hotel, pertengahan Desember 2018 lalu itu.

Seperti Prof. Dr. I Gusti Sudiana, M.Si., Dr. Djati Mardianto, M.Si., Giri Prayoga, S.T., I Nyoman Rema, S.S., M.Fil., Kristiawan, M.A serta dari Dirjen Kebudayaan RI.

Menurut Kristiawan dari Program Studi Arkeologi Universitas Udayana, pemanfaatan teknologi adalah keharusan, dukungan regulasi atau aturan perlindungan adalah kenyaman, dan bersinergi adalah tantangan.

Kristiawan mengatakan, tiga hal penting tersebut adalah pemikiran awal bagaimana sebaiknya usaha mitigasi terkait cagar budaya dilakukan.

Perlu adanya pendekatan lembaga lain terkait pelatihan penguatan kapasitas menghadapi risiko bencana.

Pembentukan lembaga pelatihan khusus kebencanaan sudah dilakukan lembaga setingkat BNPB dan BPBD.

“Dengan semangat yang sama, modul penanganan bencana khusus cagar budaya sudah selayaknya mulai dirintis.

Pada tingkat awal proyeksi mitigasi secara fisik dapat dilakukan pada situs atau cagar budaya berdasarkan tingkat kerentanan (heritage in danger),” ujarnya,

Sedangkan mitigasi non fisik bisa dilakukan berdasarkan kaidah pelestarian seperti inventarisasi dengan format database multi user sesuai kebutuhan konservasi dan rehabilitasi.

Sehingga penting untuk segera dilakukan pemutakhiran peta sebaran situs yang terintegrasi dengan peta potensi bencana di daerah, dan penjajakan kerjasama pelatihan siaga bencana dengan BNPB atau BPBD.

Sementara Ketua  BPCB Bali I Wayan Muliarsa mengatakan, diskusi yang mengambil tema “Mitigasi Bencana Dalam Pelestarian Cagar Budaya Di Bali” ini diharapkan mampu menanamkan ideologi  pelestarian warisan leluhur.

Yakni dengan cara perencanaan-perencanaan penyelamatan cagar budaya jika dipandang terancam oleh bencana.

Mengingat kerusakan (kepunahan) cagar budaya tidak saja karena ulah manusia. Tetapi juga oleh alam yang tidak bisa dibendung.

Untuk itu dinilai sangat penting strategi-strategi mitigasi bencana alam. Ini dirasa perlu dilakukan sebagai upaya pelestarian cagar budaya.

“Mengingat lokasi cagar budaya berada di daerah rawan bencana seperti di Bali, maka dari itu sangat perlu diadakannya diskusi seperti ini. Dengan adanya diskusi ini

kami berharap dapat menemukan berbagai cara-cara mencegah maupun mengambil langkah ketika terjadi bencana di dalam melestarikan cagar budaya tersebut,” ujar Muliarsa.

Sekda Kota Denpasar AAN Rai Iswara yang mewakili Wali Kota Denpasar IB Rai Dharmawijaya Mantra  menyampaikan Pemerintah Kota Denpasar terus konsisten dalam pelestarian kebudayaan khususnya cagar budaya.

Antara lain dibuktikan dengan diterbitkannya Perda No. 12 Tahun 2015,  tentang pengelolaan cagar budaya sebagai regulasi perlindungan, pemanfaatan dan pembinaan cagar budaya di Kota Denpasar.

“Saat ini Cagar Budaya di Kota Denpasar yang telah terdata per tahun 2018 kurang lebih sebanyak 300 buah, baik itu situs, benda, bangunan, struktur dan kawasan cagar budaya,” jelas Rai Iswara.

Dengan ditemukannya berbagai arca-arca bercorak megalitik di Pura Ayun dan Pura Sukun Peguyangan serta ditemukannya Prasasti Blanjong Sanur, Denpasar,  

yang dikeluarkan Sri Kesari Warmadewa pada tahun 835 Caka (913 Masehi). Selain itu muncul pengaruh Majapahit dengan adanya bangunan bercirikan batu bata merah.

Seperti bangunan cagar budaya Pura Maospahit Tonja dan Pura Maospahit Gerenceng serta adanya kerajaan-kerajaan besar di Denpasar seperti Puri Kesiman,

Puri Pemecutan, dan Puri Denpasar membuktikan bahwa cagar budaya di Kota Denpasar memiliki nilai historis yang memang sangat perlu untuk dijaga kelestariannya.

Mengingat banyaknya sumberdaya arkeologi/ cagar budaya di Denpasar dan Bali pada umumnya, sangat penting dilaksanakan diskusi ilmiah arkeologi yang mengangkat isu strategis tentang mitigasi bencana dalam pelestarian cagar budaya.

“Ke depan dengan adanya diskusi ini, dapat memberikan dampak positif bagaimana di dalam melestarikan cagar budaya tersebut. Mengingat akhir-akhir ini bencana alam seperti gempa bumi

yang tentunya tidak bisa diprediksi dapat merusak warisan budaya tersebut. Oleh karena itu, dengan diadakannya diskusi ini dapat memberi solusi agar kelestarian cagar budaya tetap ada dan tidak tergerus zaman,” harap Rai Iswara.  (*)

 

 

 

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/