Oleh Dahlan Iskan
Harga telur turun. Pada saatnya nanti. Ketika harga jagung sudah turun. Juga pada saatnya nanti.
Sekarang sudah serba salah. Mau impor sekali lagi? Apakah waktunya masih tepat? Impor kan tidak bisa cepat?
Akhir Februari nanti petani jagung sudah mulai panen. Misalnya di sekitar Grobogan, Jateng. Yang hari ini sudah terlihat nyata: buah jagungnya sudah membesar.
Kalau pun diputuskan lagi harus impor bisakah dijamin cepat datang? Sebagai panadol kedua? Setelah impor pertama 100.000 ton itu langsung ditelan pasar? Dan belum bisa mengembalikan harga jagung? Kalau toh harus impor lagi bisakah masuk minggu depan? Dan dalam jumlah yang tepat? Tidak boleh berlebih?
Semula saya percaya. Tahun 2018 tidak perlu impor jagung lagi. Prestasi besar itu akhirnya tercapai. Kementerian pertanian sudah berani mengeluarkan data. Yang membuat dada membusung: Indonesia surplus jagung. Bahkan sampai 13 juta ton.
Ternyata seperti halilintar yang tanpa petir. Harga jagung melejit di bulan Nopember. Bahan pokok makanan ternak itu bikin gelegar. Seperti juga dulu-dulu.
Lalu diputuskanlah impor jagung. Terpaksa. Angkanya malu-malu: 100 ribu ton.
Hanya menolong sebentar. Angka itu ternyata tidak cukup. Beda harga Bulog dengan pasar masih begitu jauh: Rp 4.000/Kg versus Rp 6.000/Kg.
Terjadi antrean di Bulog. Truk penuh jagung terguling. Sepulang dari antre. Semoga bukan karena lelelahan.
Kini sudah kepalang tanggung. Mau impor lagi pun sudah sangat nanggung. Berita buruk terpaksa masih akan harus beredar. Sampai akhir Februari nanti.
Kalau pun impor lagi belum tentu baik. Kedatangan jagung yang tidak pas justru akan jadi berita lebih buruk: pemerintah impor jagung di musim panen.
Padahal bulan berikutnya giliran Sumbawa mulai panen. Besar-besaran. Khususnya Kabupaten Dompu. Bisa mencapai 100 ribu hektar. Demikian juga Sulawesi Tengah. Dan Gorontalo.
Habis itu Lampung panen raya.
Dan daerah-daerah lain lagi.
Harga jagung saat ini memang masih Rp 6.200/kg. Tiga hari lalu. Jauh dari harga patokan Rp 4000/kg. Pabrik pakan terpaksa masih mengeluh berat. Di media sosial. Tidak terlihat di media main stream.
Tapi sebenarnya mereka juga tidak mengeluh.
Pabrik pakan sudah menaikkan harga. Peternak toh tidak mungkin tidak beli. Tidak ada pilihan lain.
Peternaklah yang mengeluh: harga pakan naik.
Sebenarnya peternak juga tidak mengeluh. Mereka juga tetap ingin hidup. Mereka sudah menaikkan harga telur. Atau daging ayam.
Tinggal pembeli yang mengeluh.
Sebenarnya juga tidak mengeluh. Tinggal lebih sedikit makan telur. Atau daging ayam.
Sampai harga jagung turun.
Harga makanan ternak turun.
Harga telur turun.
Harga daging ayam turun.
Pada waktunya. (Dahlan iskan)