Saya berdoa keras. Agar program Omnibus Law sukses. Agar Presiden Jokowi tidak hanya dikenang di bidang jalan tol –yang memang hebat itu.
Itulah konsolidasi terbesar di saat sulit melakukan ekspansi ekonomi. Yang memang lagi sulit.
Kata kuncinya: di saat tidak bisa melakukan ekspansi, lakukanlah konsolidasi.
Omnibus Law adalah konsolidasi besar-besaran.
Saya tahu program Omnibus Law itu berat sekali. Bahkan berani memulainya saja sudah hebat. Apalagi bisa melakukannya –dan siapa tahu sukses.
“Bus Omni” memang mengagetkan. Saat itu. Tahun 1820. Saat pertama kali dipakai di Paris. Kok ada kendaraan yang bisa dipakai mengangkut orang begitu banyak –pun dengan berbagai jenis barang milik penumpang. Apa saja bisa masuk. Semua bisa dimuat.
Paris pula yang pertama kali menggunakan istilah Omnibus. Bus jenis Omni.
Tapi baru menjadi istilah generik ketika dipakai di Amerika Latin. Di sana segala sesuatu yang bisa dimasuki apa saja disebut Omnibus.
Seorang yang sangat rakus makan disebut punya perut Omnibus.
Bus Omni lantas sangat populer. Itulah kendaraan besar “pengangkut berbagai jenis” keperluan.
Omnibus pun dipakai sebagai istilah generik. Apa pun yang bisa dipakai ramai-ramai disebut Omnibus.
Pun di bidang hukum.
Omnibus Law adalah satu paket hukum yang isinya berbagai jenis hukum.
Atau, satu UU yang di dalamnya melingkupi banyak UU terkait.
Maka UU seperti itu disebut Omnibus Law.
Misalnya UU Investasi. Yang, katakanlah, isinya sudah sangat bagus. Tapi bisa jadi UU Investasi itu sulit mencapai tujuan: meningkatkan modal masuk ke Indonesia.
Bisa saja investasi terhambat oleh UU yang lain. Misalnya UU Otonomi Daerah, UU Ketenagakerjaan, UU Lingkungan Hidup/Amdal, UU Bangunan/IMB. Dan banyak lagi.
Mengubah salah satu UU itu saja tidak menyelesaikan masalah. Bahkan bisa saja isinya bertabrakan lagi dengan UU lain.
Repotnya sama. Hasilnya tidak tuntas.
Maka dilakukanlah paket Omnibus Law. Semua UU yang terkait akan dijadikan satu. Akan diangkut dalam satu bus besar Omni: Omnibus Law.
Betapa besar pekerjaan itu. Betapa mendasarnya. Belum pernah yang seperti ini bisa dilakukan presiden siapa pun.
Di Amerika sudah lama pemerintah mengajukan paket RUU Omnibus Law: menyempurnakan banyak UU dalam satu payung.
Misalnya saat Amerika kesulitan mengatasi meningkatnya kriminalitas.
Saya bisa membayangkan betapa rumitnya pengajuan satu RUU Omnibus Law. Terutama menyusun RUU-nya.
Misalnya satu Omnibus Law itu akan diberi nama ‘Cipta Lapangan Kerja’. Lebih dari 7 UU berada dalam satu bus itu. Total berisi lebih dari 1. 000 pasal.
Apalagi, saya dengar, pemerintah sekarang ini tidak hanya mengerjakan satu bus Omni.
Saya dengar pemerintah sedang menyiapkan pemberangkatan sekaligus 11 bus Omni.
Tiap bus akan ada namanya sendiri. Masing-masing bus mengangkut banyak UU terkait.
Dramatik.
Masing-masing bus punya sopir sendiri-sendiri –para Menko. Punya kernetnya sendiri –para menteri terkait. Punya ahli-ahli tekniknya sendiri –para Dirjen.
Juragan bus Omni tinggal memberi komando: kapan bus harus berangkat ke terminal.
Apakah harus berangkat satu persatu atau ke terminal ramai-ramai –konvoi 11 bus.
Kabarnya sang juragan bus, Presiden Jokowi, tegas: bus itu sudah harus tiba di terminal bulan depan.
Betapa banyak pekerjaan di kandang bus masing-masing sekarang ini. Betapa rumitnya menyingkronkan 1.000 pasal. Bisa jadi mereka tidak punya kesempatan libur akhir tahun. Apalagi jenis penumpang bus itu begitu beragam. Punya keinginan sendiri-sendiri. Ada yang ingin bawa kopi. Ada juga yang ingin bawa rendang. Bahkan ada yang tidak ingin berangkat –dengan alasan masuk angin.
Semua penumpang adalah jenis UU yang rewel-rewel.
Saya menunggu dengan berdebar: bus apa yang akan duluan berangkat ke terminal. Saya ingin memberikan handuk putih kepada Menko-nya. Untuk lap keringatnya yang berlelehan. Agar selamat sampai ke terminal.
Terminalnya ada di Senayan –di gedung yang atapnya seperti pantat wanita cantik sedang telungkup itu: DPR.
Masuk terminalnya mudah. Tinggal bayar karcis retribusi masuk terminal.
Tapi kita belum tahu: diapakan bus Omni itu di dalam terminal.
Saya juga tidak tahu apakah banyak preman di terminal itu.
Apakah preman-preman itu punya bos masing-masing: preman besar.
Misalnya preman khusus yang tugasnya mencopet penumpang. Yang menyedot bensin. Yang memalak sopir. Dan seterusnya.
Atau terminal itu sekarang sudah bersih dari preman. Sehingga bus Omni yang masuk ke situ segera diizinkan berangkat mengantar penumpang sesuai tujuan.
Koalisi besar di Senayan ternyata diperlukan. Agar ban bus Omni tidak digembosi di situ.
Bulan depan terminal itu akan sibuk sekali. Bayangkan: membahas satu UU saja ruwet. Apalagi ini akan membahas UU induk yang di dalamnya banyak UU bidang masing-masing.
Apalagi kalau 11 Omnibus Law benar-benar tiba di terminal dalam waktu berdekatan.
Periode kedua kepresidenan Jokowi ternyata benar-benar untuk membenahi hukum.
Dan membangun terminal.(Dahlan Iskan)