Oleh Dahlan Iskan
Tibalah saat operasi itu. Tempat tidur saya didorong dari kamar 803. Menuju ruang operasi di rumah sakit Farrer Park Singapura ini.
Jam menunjukkan pukul 16:00. Robert Lai dan istrinya berjalan di belakang tempat tidur saya.
Setelah naik-turun lift terbacalah oleh saya tulisan besar: ruang operasi. Robert melambaikan tangan. Juga istrinya. Pertanda mereka hanya boleh mengantar sampai batas itu.
Saya tahu apa yang akan terjadi berikutnya. Suster-suster masuk. Badan saya diangkat ke meja operasi. Lalu saya akan dianestesi. Disuntik cairan untuk mati rasa. Lima menit setelah suntik itu, mestinya, saya akan tertidur. Tidak akan tahu apa-apa. Tidak akan ingat apa-apa. Tidak akan merasa apa-apa.
Saya masih ingat pengalaman seperti itu 10 tahun yang lalu. Saat operasi ganti hati di RS Tianjin, Tiongkok.
Dokter anestesi pun masuk. Memperkenalkan diri. Dan menceritakan apa yang akan dia lakukan. Saya bilang, saya sudah tahu.
Saya lihat dia mulai mengikatkan sesuatu seperti sabuk di lengan atas saya. Pengikatnya rewel. Gak bisa dipasang. Dicoba diperbaiki. Tidak bisa. Dokter minta diganti dengan ikatan dari karet saja. Begitu diikatkan, karetnya putus. Ganti lagi.
Wah pertanda apa ini? Saya tidak percaya takhayul. Saya abaikan saja. Setelah akhirnya sukses, mulailah proses penyuntikan anestesi.
Saya pun melirik jam dinding yang cukup besar. Lima menit berlalu. Kok saya belum tertidur. Lima menit kemudian masih juga sadar. Saya masih bisa mendengar pembicaraan para perawat. Kok lama sekali. Jauh lebih lama dari waktu anestesi di Tianjin dulu.
Mendekati lima belas menit saya tidak ingat apa-apa lagi. Juga tidak tahu apa-apa lagi. Tidak merasa apa-apa lagi. Termasuk tidak merasa ketika bulu kemaluan saya dicukur.
Saya sudah diberitahu apa yang dilakukan dokter saat saya ditidurkan itu. Dokter melubangi tulang belakang saya. Memasang selang kecil untuk mengeluarkan cairan dari sumsum tulang belakang. Agar saya terhindar dari resiko kelumpuhan.
Dokter Benjamin juga akan memotong saluran darah saya di selangkangan kiri. Untuk dipasangi selang. Dan yang utama, dokter menyayat saluran darah saya di selangkangan kanan. Untuk memasukkan stent. Menuju aorta di dekat jantung. Stent itu akan secara permanen menyatu dengan saluran darah saya yang robek saat saya di Madinah 15 hari sebelumnya.
Stent itu berupa selang. Luarnya terlihat kasar. Mirip selang pemadam kebakaran. Besarnya hampir 4 cm, sebesar aorta. Panjangnya 20 cm.
Lalu dimasukkan lagi stent sambungannya. Untuk melindungi saluran darah utama di bawahnya. Panjangnya 30 cm. Sampai dekat pusar. Yang ini seperti rangkaian kawat berbentuk selang.
Dokter Benjamin melakukan semua itu dalam waktu dua jam.
Sebelum pukul 20:00, saya sudah dibangunkan. Setengah sadar. Dokter Benjamin menunjukkan layar hand phone ke saya. “Operasi sukses. Ini videonya,” katanya.
Saya mencoba tersenyum padanya. Sebagai ucapan terima kasih. Mata saya hanya melirik sekilas ke layar hand phone. Masih mengantuk. Masih berat.
Untuk melakukan operasi itu dokter Benjamin dibantu dokter Manish, kelahiran New Delhi, pendidikan di Inggris dan kini warga negara Singapura. Manish juga lulusan Edinburg di Scotland.
Saya bertemu dokter Manish hanya sekali. Sehari sebelum operasi. Wajahnya simpatik. “Nama saya mudah diucapkan kan? Cukup panggil saya manis. Dalam bahasa Indonesia artinya baik kan?,” gurau Dr Manish dalam bahasa Inggris aksen Inggris yang kental.
“Di tangan kami berdua Anda aman,” kata Manish.
Waktu saya dianestesi, dokter Manish belum tiba. Waktu saya sadar dia sudah tidak ada. Dia pun merasa tidak perlu jenguk saya. “Di mana dokter Manish? Saya kangen wajahnya,” kata saya kepada dokter Benjamin.
Tiga hari setelah operasi. Dokter Benjamin mengatakan akan menyampaikan kekangenan saya itu ke dokter Manish.
Hari itu, lima hari setelah operasi, saya sudah boleh keluar dari RS. Tapi harus tetap tinggal di Singapura. Untuk kontrol. Kebetulan ada hotel di bagian atas rumah sakit ini.
Saya pun mengajukan pertanyaan apakah banyak kesulitan saat mengoperasi saya. ”Tidak ada,” kata dokter.
“Sudah banyak orang yang saya pasangi stent seperti Anda. Bahkan ada yang panjangnya sampai kaki,” katanya.
Stent sepanjang 50 cm ini ternyata biasa baginya. Teknologi begitu maju. “Jadi, stent Anda ini bukan yang terpanjang,” kata Benjamin.
Saya begitu penasaran. Ingin tahu wujud selangnya seperti apa. Dokter Benjamin menjanjikan untuk memberi contoh stent yang dipasang di pembuluh darah saya. “Kelak, kalau Anda kontrol ke klinik saya Anda akan lihat wujudnya,” katanya.
Berarti masih seminggu lagi.
Dokter Benjamin menyenangkan. Suka bercanda. “Dengan stent ini Anda memang sudah tergolong bionic man. Tapi baru setengah,” katanya.