Ratusan pasang pengantin beda negara melangsungkan pawiwahan atau pernikahan adat agama Hindu Bali di Pasraman Taman Prakerti Bhuana (PTPB), di Kelurahan Beng, Kecamatan Gianyar.
Pasangan pengantin beda negara ini dominan pengantin pria warga negara asing yang menikahi gadis Bali.
IB INDRA PRASETIA, Gianyar
PASRAMAN Taman Prakerti Bhuana Beng (TPB) yang berlokasi di Jalan Gunung Agung Kelurahan Beng, Kecamatan Gianyar sekilas seperti toko penjualan tempat upacara.
Seiring perjalanan waktu, pasraman itu berubah menjadi tempat aneka kegiatan adat dan acara pemerintahan.
Di depan, berdiri toko dua lantai. Di halaman belakang, terdapat aula dan halaman yang luas. Beragam acara pun telah digelar di aula luas itu.
Terbaru, digelar acara pertemuan Dharmopadeso Nusantara. Acara itu dihadiri ratusan Ida Pedanda. Pemilik Pasraman TPB, Ida Bagus Adi Supartha menyatakan menjual sarana upacara.
Kemudian banyak masyarakat yang meminta dibuatkan banten lengkap. “Misalnya satu paket banten otonan. Sepaket banten pernikahan. Kami berusaha layani,” ujarnya.
Kemudian, permintaan datang lagi. “Bolehkah otonan di sini, atau boleh menikah di sini (di Pasraman TPB, red),” jelasnya.
Banyaknya permintaan menikah atau upacara di TPB karena banyak alasan. “Ada alasan biaya. Kalau nikah di rumah, biaya bengkak, bisa ngundang warga banjar.
Kalau di sini, Rp 15 juta sudah cukup. Keuntungannya dikembalikan ke umat dengan cara potong gigi, mebayuh oton masal,” jelasnya.
Kemudian, pada 2014 lalu, kebetulan ada permintaan menikah dari warga asing dengan perempuan lokal.
“Kami ingin membantu mereka yang menganggap agama Hindu itu susah, padahal sebenarnya tidak susah,” bebernya.
Pertama kali, TPB melayani pernikahan campuran sejak Tahun 2014. Ketika itu, seorang warga asal Belanda meminta agar diupacarai sesuai dengan adat Hindu.
“Awalnya nganten sederhana tanpa fasilitas apa-apa. Tamunya yang meminta disiapkan sebuah meja untuk tempat makan,” paparnya.
Ketika itu, TPB berupaya menyediakan konsumsi berupa nasi kotak. “Segitu aja tamunya sudah senang, lalu posting di media sosial. Sejak itu mulai dikenal dan berkembang,” jelasya.
Sejak saat itu, mulai banyak warga asing pindah agama kemudian menikah secara adat Bali. Seiring berjalannya waktu, pasangan pengantin meminta agar dilengkapi fasilitas resepsi, namun saat itu pihaknya belum siap.
Hingga TPB terpaksa menyiapkan makanan prasmanan ketika tamu Belanda yang pernah menikah itu datang lagi.
“Mereka datang sekeluarga untuk Sudi Wadani (prosesi pindah ke agama Hindu, red) dan potong gigi.
Saking inginnya mereka disiapkan menu resepsi, mereka yang memfasilitasi perangkat alat prasmanan,” kenangnya.
Sejalan dengan waktu, perniakahan campuran ini semakin diminati. Tentu dengan memenuhi beberapa persyaratan, seperti persetujuan dari keluarga kedua mempelai serta kebulatan tekad si bule masuk Agama Hindu.
“Dalam setiap upacara Sudi Widani, kami juga menghadirkan PHDI,” jelasnya. Warga asing yang dominan melangsungkan Sudi Widani dan menikahi gadis Bali berasal dari beberapa negara.
Di antaranya dari India, Australia, Belanda Amerika, Inggris dan Tiongkok. “Rata-rata mereka senang,” terangnya.
Adi Supartha pun tidak mencatat berapa warga asing yang menikah di pasraman miliknya. “Yang jelas sudah ratusn,” pungkasnya. (*)