25.2 C
Jakarta
22 November 2024, 7:22 AM WIB

Inspiratif, Begini Kisah Pemulung dari Bali Dirikan Pura di Surabaya..

JEMBRANA – Keberanian I Wayan Dendra merantau ke Surabaya setamat SMP tanpa ditemani siapa pun menjadikannya sosok mandiri.

Baik dalam pemenuhan kebutuhan jasmani maupun rohani. Setelah hidup berkecukupan dari usaha menjadi pemulung,

Dendra yang dipercaya masyarakat Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur duduk sebagai wakil rakyat, berusaha semaksimal mungkin “merawat” semangat kebhinnekaan.

Tak lupa pada jati diri sebagai orang Hindu, politisi 5 orang anak itu juga berkontribusi pada pembangunan sejumlah pura.

Dua di antaranya adalah Pura Sakti Raden Wijaya di Perumahan Royal Residen Surabaya, Jawa Timur dan Pura Candi Cemara Agung yang kini sedang dirampungkan di Perumahan Tandes, Surabaya, Jawa Timur.

“Saya merangkul umat Hindu di Jawa untuk memperjuangkan pendirian pura-pura tersebut. Pura Sakti Raden Wijaya menggunakan arsitektur khas Jawa,” ujarnya.

Kembali ke Bali tahun 2017, Dendra menilai banyak hal yang tergerus dari kehidupan sosiokultural masyarakat, khususnya Jembrana.

Dirinya menyadari, seiring tuntutan hidup yang semakin kompleks, masyarakat cenderung memilih hal instan. Salah satunya dengan membeli kebutuhan sarana upacara.

Imbas dari kebiasaan inilah yang ditakuti Dendra, yakni hilangnya keterampilan dan alpanya generasi muda pada sastra Bali.

“Ayo kita duduk. Saya ngerti sedikit, tapi sangat antusias. Memikirkan apa yang bisa kita kerjakan; apa yang bisa kita lakukan untuk Jembrana,” ucapnya.

Dendra sangat ingin perwakilan umat di Jembrana, baik Hindu, Islam, Kristen, dan Budha berkumpul untuk membahas persoalan-persoalan sosial di Bumi Makepung.

Khusus bagi umat Hindu, dia bercita-cita merintis program pendharma wacana cilik. “Saat liburan sekolah mereka berlatih ngulat klakat, klangsah, katik sate, dan lain-lain. Budaya ini sudah hampir hilang sekarang. Semua serba beli,” ungkapnya.

Pendharma wacana cilik ini sangat mungkin diberikan ruang saat piodalan berlangsung di Pura Kahyangan Tiga, baik Pura Desa, Puseh, dan Dalam.

“Di muslim ada kuliah tujuh menit kultum (ceramah agama Islam, red), anak-anak kita 10 menit jadi pendharma wacana. Alangkah indahnya. Tegakah kita semua tidak paham dengan sastra?” tanyanya.

Dendra mengaku gempuran hidup membuatnya menjadi sosok yang peka. Oleh karena itu, dirinya sama sekali tidak akan “memperalat dan merawat” masyarakat dengan bansos alias bantuan sosial.

Bansos tegasnya tidak berhubungan sama sekali dengan tugas seorang wakil rakyat. “Kalau hibah saya setuju. Kalau bansos saya tidak setuju. Tidak jelas peruntukannya.

Pertanggungjawabannya tidak jelas. Saya sering mendengar di lapangan ada bansos yang di-keep 10 persen. Mending hibah. Peruntukkannya jelas. Bansos ini rawan. Hati kecil saya tidak setuju,” tegasnya.

Daripada dikucur dana bansos, Dendra menilai pura-pura di Bali yang dikelola desa adat sudah saatnya dipayungi oleh yayasan.

Berdasar pengalaman mendirikan pura di luar Bali, Dendra berkata pertanggungjawaban sekala dan niskala lebih efisien lewat yayasan.

“Kalau kita punya yayasan jelas bisa menerima APBD kabupaten, provinsi, dan pusat. Termasuk CSR BUMN. Ada badan hukumnya,” ungkapnya.

Kepada Jawa Pos Radar Bali, I Wayan Dendra mengaku ingin berbuat sesuatu bagi Jembrana di sisa hidupnya.

Pria 58 tahun kelahiran Desa Asahduren, Kecamatan Pekutatan, Jembrana yang kini berstatus caleg nomor urut 1 Dapil Jembrana dari Partai Nasdem ingin membayar tahun-tahun yang dia lalui di luar Bali.

Belajar dari pengalaman duduk sebagai anggota dewan di Kabupaten Sidoarjo (2009-2014) dia berkata banyak hal berskala besar yang bisa dilakukan bila serius mengemban amanat sebagai wakil rakyat.

Pengalaman pahit tidak makan selama dua hari diakui Dendra membuatnya peka pada persoalan sosial riil di masyarakat. 

Tak mau muluk-muluk, hal-hal kecil yang berimbas langsung pada masyarakat menjadi fokus garapannya. Khusus rintisan di sektor pariwisata, kini Dendra berjuang lewat Bali Parahita Agrowisata Jembrana.

“Saya dengan 5 kawan konsorsium membuka restoran di perkebunan Pekutatan. Juga membuka resto dan Kopi Luwak di Asahduren. Saya sudah sore. Sudah tak ingin aneh-aneh,” ungkap pria yang terbiasa mencium tangan sulinggih itu.

Menariknya, Dendra mengaku ingin mengabdi sebagai wakil rakyat karena ingin ada yang mengurusnya sangat ajal menjemput kelak di kemudian hari.

“Saya ingin bila saya meninggal dunia banyak yang merasa kehilangan. Saya ingin banyak orang yang mengantarkan saya ke tempat peristirahatan yang terakhir,” tegasnya. (rba)

 

JEMBRANA – Keberanian I Wayan Dendra merantau ke Surabaya setamat SMP tanpa ditemani siapa pun menjadikannya sosok mandiri.

Baik dalam pemenuhan kebutuhan jasmani maupun rohani. Setelah hidup berkecukupan dari usaha menjadi pemulung,

Dendra yang dipercaya masyarakat Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur duduk sebagai wakil rakyat, berusaha semaksimal mungkin “merawat” semangat kebhinnekaan.

Tak lupa pada jati diri sebagai orang Hindu, politisi 5 orang anak itu juga berkontribusi pada pembangunan sejumlah pura.

Dua di antaranya adalah Pura Sakti Raden Wijaya di Perumahan Royal Residen Surabaya, Jawa Timur dan Pura Candi Cemara Agung yang kini sedang dirampungkan di Perumahan Tandes, Surabaya, Jawa Timur.

“Saya merangkul umat Hindu di Jawa untuk memperjuangkan pendirian pura-pura tersebut. Pura Sakti Raden Wijaya menggunakan arsitektur khas Jawa,” ujarnya.

Kembali ke Bali tahun 2017, Dendra menilai banyak hal yang tergerus dari kehidupan sosiokultural masyarakat, khususnya Jembrana.

Dirinya menyadari, seiring tuntutan hidup yang semakin kompleks, masyarakat cenderung memilih hal instan. Salah satunya dengan membeli kebutuhan sarana upacara.

Imbas dari kebiasaan inilah yang ditakuti Dendra, yakni hilangnya keterampilan dan alpanya generasi muda pada sastra Bali.

“Ayo kita duduk. Saya ngerti sedikit, tapi sangat antusias. Memikirkan apa yang bisa kita kerjakan; apa yang bisa kita lakukan untuk Jembrana,” ucapnya.

Dendra sangat ingin perwakilan umat di Jembrana, baik Hindu, Islam, Kristen, dan Budha berkumpul untuk membahas persoalan-persoalan sosial di Bumi Makepung.

Khusus bagi umat Hindu, dia bercita-cita merintis program pendharma wacana cilik. “Saat liburan sekolah mereka berlatih ngulat klakat, klangsah, katik sate, dan lain-lain. Budaya ini sudah hampir hilang sekarang. Semua serba beli,” ungkapnya.

Pendharma wacana cilik ini sangat mungkin diberikan ruang saat piodalan berlangsung di Pura Kahyangan Tiga, baik Pura Desa, Puseh, dan Dalam.

“Di muslim ada kuliah tujuh menit kultum (ceramah agama Islam, red), anak-anak kita 10 menit jadi pendharma wacana. Alangkah indahnya. Tegakah kita semua tidak paham dengan sastra?” tanyanya.

Dendra mengaku gempuran hidup membuatnya menjadi sosok yang peka. Oleh karena itu, dirinya sama sekali tidak akan “memperalat dan merawat” masyarakat dengan bansos alias bantuan sosial.

Bansos tegasnya tidak berhubungan sama sekali dengan tugas seorang wakil rakyat. “Kalau hibah saya setuju. Kalau bansos saya tidak setuju. Tidak jelas peruntukannya.

Pertanggungjawabannya tidak jelas. Saya sering mendengar di lapangan ada bansos yang di-keep 10 persen. Mending hibah. Peruntukkannya jelas. Bansos ini rawan. Hati kecil saya tidak setuju,” tegasnya.

Daripada dikucur dana bansos, Dendra menilai pura-pura di Bali yang dikelola desa adat sudah saatnya dipayungi oleh yayasan.

Berdasar pengalaman mendirikan pura di luar Bali, Dendra berkata pertanggungjawaban sekala dan niskala lebih efisien lewat yayasan.

“Kalau kita punya yayasan jelas bisa menerima APBD kabupaten, provinsi, dan pusat. Termasuk CSR BUMN. Ada badan hukumnya,” ungkapnya.

Kepada Jawa Pos Radar Bali, I Wayan Dendra mengaku ingin berbuat sesuatu bagi Jembrana di sisa hidupnya.

Pria 58 tahun kelahiran Desa Asahduren, Kecamatan Pekutatan, Jembrana yang kini berstatus caleg nomor urut 1 Dapil Jembrana dari Partai Nasdem ingin membayar tahun-tahun yang dia lalui di luar Bali.

Belajar dari pengalaman duduk sebagai anggota dewan di Kabupaten Sidoarjo (2009-2014) dia berkata banyak hal berskala besar yang bisa dilakukan bila serius mengemban amanat sebagai wakil rakyat.

Pengalaman pahit tidak makan selama dua hari diakui Dendra membuatnya peka pada persoalan sosial riil di masyarakat. 

Tak mau muluk-muluk, hal-hal kecil yang berimbas langsung pada masyarakat menjadi fokus garapannya. Khusus rintisan di sektor pariwisata, kini Dendra berjuang lewat Bali Parahita Agrowisata Jembrana.

“Saya dengan 5 kawan konsorsium membuka restoran di perkebunan Pekutatan. Juga membuka resto dan Kopi Luwak di Asahduren. Saya sudah sore. Sudah tak ingin aneh-aneh,” ungkap pria yang terbiasa mencium tangan sulinggih itu.

Menariknya, Dendra mengaku ingin mengabdi sebagai wakil rakyat karena ingin ada yang mengurusnya sangat ajal menjemput kelak di kemudian hari.

“Saya ingin bila saya meninggal dunia banyak yang merasa kehilangan. Saya ingin banyak orang yang mengantarkan saya ke tempat peristirahatan yang terakhir,” tegasnya. (rba)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/