Karir I Gede Marayana sebagai penyusun kalender penuh ombak. Saat awal menyelami profesi sebagai penyusun kalender Bali, Marayana sudah bertemu dengan tantangan pertama. Apa itu?
EKA PRASETYA, Singaraja
SEBELUM I Gede Marayana berprofesi sebagai penyusun kalender Bali, saat itu perhitungan kalender menggunakan sistem nirayana.
Sistem ini mengacu pada sistem perhitungan kalender di India. Penyusunan kalender dengan sistem nirayana disebut mulai digunakan pada tahun 1991.
Menggantikan perhitungan dengan sistem pengalantaka eka sungsang. Marayana memang memiliki sistem penghitungan sendiri.
Tapi karena dirinya masih anak bawang dalam penyusunan kalender, ia memilih mengikuti kebijakan yang sudah ada.
“Dalam hati saya sudah tahu, suatu saat pasti akan ada masalah. Tapi karena saya masih baru, saya tidak berani tampil (memprotes perubahan sistem). Ya, sudah jalan saja dulu,” kenangnya kepada Jawa Pos Radar Bali.
Hingga pada tahun 1998 akhirnya digelar paruman para sulinggih membahas penyusunan kalender. Sebab terjadi kerancuan dalam proses penentuan hari penting dalam upacara Hindu di Bali.
Baik itu purnama maupun tilem. Terutama pada purnama kapat yang notabene hari besar bagi umat Hindu di Bali. Bahkan, pernah pula Nyepi nyaris dilaksanakan dua kali dalam setahun.
Selama tahun 1991 hingga 2000, Marayana menyebut ada beberapa kali kerancuan perhitungan hari dalam kalender Bali.
Gara-gara mengadopsi sistem perhitungan nirayana. Apabila masalah itu tak segera diselesaikan, dikhawatirkan berdampak pada proses piodalan di Pura Besakih
Hingga pada 18 September 2001, kembali dilaksanakan paruman sulinggih di Wantilan Pura Watukaru. Saat itu ia akhirnya angkat bicara.
Marayana menganjurkan agar sistem penanggalan mengacu pada pengalantaka yang ia yakini. Sebab bila dilanjutkan akan berdampak pada hal yang lebih serius.
Marayana yang pensiunan Dinas PU Buleleng pada 2005 silam itu menyebut, ada perbedaan antara perhitungan kalender Bali dengan sistem pengalantaka dengan perhitungan yang menggunakan sistem nirayana.
Perbedaan itu dipicu dengan kondisi geografis wilayah. Menurutnya, perhitungan pengalantaka mengacu pada matahari yang berada di garis khatulistiwa.
Mengingat Bali berada dekat dengan garis ekuator. Sementara perhitungan nirayana berpatokan pada matahari yang berada 5-7 derajat Lintang Utara.
Sebab India berada di utara ekuator. Sehingga wajar saja terjadi kerancuan. Perbedaan kondisi geografis itu, wajar saja memicu perbedaan perhitungan dalam penyusunan kalender.
Lebih lagi dalam menentukan hari baik. Marayana meyakini bahwa perhitungan kalender yang tepat bagi umat Hindu di Bali, ialah menggunakan diagram pengalantaka.
“Bukan berarti saya menganggap perhitungan nirayana salah. Perhitungan itu tepat, bila digunakan di India. Tapi kalau digunakan di Bali, tidak tepat karena letak geografisnya berbeda.
Acuan mataharinya juga berbeda. Makanya saya menganggap di Bali yang tepat ialah pengalantaka ini,” ujarnya.
Kerja keras itu akhirnya terbayar. Pada tahun 2005 ia mendapat anugerah Wija Kusuma dari Pemkab Buleleng.
Kemudian pada tahun 2007, giliran Pemprov Bali memberi anugerah Dharma Kusuma. Lantas pada tahun 2019, pengalantaka telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Selanjutnya pada Februari 2011, Gede Marayana diberi penghargaan Bali Kerthi Nugraha Mahottama oleh Pemprov Bali. (*)