Dunia seni di Bali kembali berduka. Seniman bondres Made Ngurah Sadika, 53, menghembuskan nafas terakhirnya setelah berjuang melawan penyakit komplikasi.
EKA PRASETYA, Singaraja
RUMAH di bilangan Jalan Kresna, Kelurahan Kendran itu, terlihat sepi. Tenda mulai dipasang di beberapa sisi. Di halaman rumah, puluhan kursi berjajar rapi.
Di rumah sederhana itu, jenazah Made Ngurah Sadika disemayamkan. Susik, demikian Sadika biasa disapa.
Dia adalah seniman bondres yang cukup fenomenal. Karakter Topeng Susik yang dibawakannya, mampu menghipnotis penonton.
Sejak beberapa bulan terakhir, Susik yang tercatat sebagai Kabid Pengembangan Budaya Baca pada Dinas Perpustakaan Buleleng itu, kondisi kesehatannya memang terus menurun.
Pada September 2017 lalu, ia harus dirawat cukup lama di RSUD Buleleng karena mengalami gagal ginjal. Dampaknya ia harus menjalani cuci darah dua kali dalam sepekan, yakni tiap Selasa dan Jumat.
Sejak dirawat pada 2017, kondisinya terus menurun. Satu persatu penyakit datang menggerogoti. Mulai dari diabetes, darah tinggi, gagal ginjal, kencing batu, hingga jantung.
Terakhir Susik diduga mengalami penyempitan tulang belakang serta anemia. Pada Selasa (8/5) pekan lalu, Susik sempat menjalani cuci darah.
Ketika itu kondisinya dianggap sudah menurun. Ia diminta menjalani opname, agar berat badannya bertambah. Susik kemudian menjalani opname, terhitung sejak Rabu (9/5) pekan lalu.
Saat dirawat di rumah sakit, ia sempat menjalani cuci darah pada Jumat (11/5). Ia pun dirawat seperti pasien pada umumnya.
Namun pada Selasa (15/5) pagi, Susik menghembuskan nafas terakhirnya, ketika menjalani perawatan di Ruang Flamboyan RSUD Buleleng.
“Semestinya hari ini bapak cuci darah jam satu siang. Hari ini juga jadwal cek laboratorium,” kata Luh Rening, istri mendiang Susik saat ditemui di rumah duka, siang kemarin.
Rening menuturkan, sejak beberapa bulan terakhir kondisi suaminya memang terus merosot. Saat kondisinya drop, seniman yang lahir pada 22 Agustus 1964 silam itu hanya duduk di sofa.
Tidur pun dilakukannya sambil duduk. Kondisinya kian menurun saat mendengar kakak kandungnya, Nyoman Muna, meninggal dunia sekitar dua bulan.
Sejak itu semangat hidup Susik terus merosot. Ia beberapa kali meracau meminta keluarga mengumpulkan seluruh sanak saudara. Permintaan itu dianggap angin lalu. Keluarga sudah mahfum, Susik sedang frutasi.
Sekitar sebulan lalu, kondisi kesehatannya kembali menurun. “Bapak sudah tidak bisa duduk lagi. Hanya bisa tidur. Akhirnya dirawat di tempat tidur saja,” cerita Rening.
Saat Susik menghembuskan nafas terakhir, Rening mengaku tak tahu secara pasti. Ia sempat tertidur sekitar pukul dua dini hari di sebelah Susik.
Ia baru terjaga pada pukul 05.00 pagi, setelah Luh Lotrining, kakak kandung Susik, membangunkan dirinya.
“Waktu itu bapak sudah lemes. Tangannya sudah dingin. Langsung lapor ke perawat. Dari pemeriksaan perawat itu sudah nggak ada nadi sama sekali,” imbuhnya.
Selama di rumah sakit, keluarga juga tak pernah merasakan firasat apapun. Ni Made Ari Darmini, putri dari Susik menuturkan, pada Jumat (11/5) lalu, ayahnya sempat minta agar dicium dan dipeluk.
Saat itu Ari hendak ke Denpasar, mengikuti acara seminar. “Pulang dari Denpasar,bapak sudah lemas. Manggil juga tidak. lihatnya juga sudah lain-lain.
Sekitar jam setengah 12, sempat minta biar semua keluarga datang. Tapi ya kami anggap biasa saja karena bapak sering begitu.
Habis itu bapak minta makan, minta lauk, tumben-tumbennya juga minta susu. Pas jam lima pagi itu, kita semua bangun, ternyata bapak sudah nggak ada,” tutur Ari.
Sementara itu Gede Arya Darmadi, putra dari Susik mengatakan, ayahnya sempat berpesan agar ia mempertahankan sanggar Susik Bondres yang baru didirikan beberapa tahun lalu.
Sejak keluar dari Sanggar Dwi Mekar, Susik memang mendirikan sanggar Susik Bondres. Di sanggar itu Susik menggandeng Ketut Suardana yang memainkan tokoh Loleng, Putu Raksa sebagai Liku, dan Wayan Suryawan sebagai Penasar.
Saat awal mendirikan sanggar, Susik memborong beberapa topeng. Hingga kini tak kurang dari 20 topeng tersimpan rapi di sanggar.
“Bapak berpesan biar sanggar ini dipertahankan sekuat-kuatnya. Bapak punya keinginan biar sanggar ini jadi pusat kegiatan seni topeng. Entah topeng bondres, topeng panca, semua ada di sanggar ini,” kata pria yang akrab disapa Cim-Cim itu.
Selain itu Susik juga punya ambisi yang belum tercapai. Mendiang sempat merancang pementasan Susik Kembar.
Nantinya ada dua tokoh Susik yang tampil bersamaan di atas panggung. Susik dewasa dimainkan oleh Sadika, sementara Susik muda dimainkan Cim-Cim.
Konsep itu sempat dibawakan pada bulan Bondres pementasan Bali Mandara Nawatya, tahun 2017 lalu. Namun konsep itu dianggap belum matang dan hendak diulang kembali, saat Susik sehat. Sayang kenyataan berkata lain.
Cim-Cim berharap kelak kehidupan seniman mendapat perhatian dari pemerintah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak seniman senior yang akhirnya morat-marit pada masa tua.
Sementara itu salah seorang rekan Susik, Wayan Sujana mengatakan, Susik dikenal sebagai sosok yang ceplas-ceplos dan apa adanya.
Karakternya sehari-hari dimainkan secara jujur di atas panggung. Hal itu menjadi kelebihan utama Susik di dunia seni bondres.
Sujana menuturkan, ia dan Susik bersama-sama mengawali karir sebagai penari topeng pada awal 1990-an. Saat itu keduanya sedang menempuh pendidikan di Sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA).
Saat ada piodalan di pura setempat, mereka memberanikan diri tampil. Sujana tampil sebagai Penasar, sementara Susik membawakan karakter yang berbeda-beda.
Biasanya dia berganti-ganti topeng, mulai dari topeng Susik, Topeng Perot, Topeng Kete (gagu, Red), dan Topeng Bongol.
Konon saat itu Susik terinspirasi dari gaya pentas Sekaa Topeng Tugek Carangsari yang bisa memainkan lebih dari satu karakter topeng dalam sekali pentas.
Seiring perjalanan, mereka berdua bertemu dengan Nyoman Durpa. Saat itu Durpa baru saja keluar dari Sanggar Banyuning.
Mereka bertiga kemudian membentuk sekaa topeng bondres. Sekitar tahun 1996, mereka dikontrak Kantor Penerangan Singaraja, dan diberi nama Bondres Sapta Pesona.
Banyolan-banyolan yang dibawakan pun menarik minat. Mereka kemudian sepakat membentuk Sanggar Dwi Mekar yang menaungi beberapa cabang seni.
Selain topeng, Dwi Mekar juga menaungi tabuh dan tari. Saat awal berdiri, seniman topeng asal Desa Bungkulan, Nyoman Sumargawa memperkuat sanggar.
Mereka pun akhirnya terbiasa membawakan pementasan Topeng Sidakarya. “AKhirnya sekitar tahun 2000-an itu, Dwi Mekar tampil di Art Centre.
Ternyata respons publik bagus, sejak saat itu mulai diperhitungkan. Kami jadi sering pentas keliling Bali. Sejak saat itu tokoh Ngurah Toni
yang dimainkan almarhum Durpa dan tokoh Susik yang dimainkan Sadika, makin dikenal masyarakat,” jelas Sujana.
Sosok Made Ngurah Sadika dalam kehidupan sehari-hari, dengan karakter Susik yang dimainkannya di atas panggung, sangat dekat. Mendiang disebut lebih suka berpikir praktis.
“Prinsipnya itu sederhana. Ane mani, mani itungang. Sing demen ruwet. Saking dekatnya karakternya, orang yang belum lama kenal itu pasti bingung.
Kalau ngobrol itu dia serius, atau tidak. Ceplas-ceplos orangnya,” cerita Sujana yang juga Kabid Kesenian pada Dinas Kebudayaan Buleleng itu.
Selain itu mendiang juga total dalam memainkan karakternya. Buktinya mendiang membuat tato tahi lalat pada dagu kanannya.
Konon tato itu dibuat karena mendiang Susik lelah membuat tahi lalat tiap kali hendak pentas. Apalagi dalam sehari dia bisa pentas hingga tiga kali.
Susik sudah diusulkan menerima Penghargaan Wija Kusuma sebagai penggiat seni topeng di Buleleng. Penghargaan itu telah digodog sejak awal 2018 lalu.
Rencananya penghargaan hendak diberikan pada Senin (21/5) pekan depan. Sayang kenyataan berkata lain.
Susik telah menghembuskan nafas terakhir, dan akan diperabukan pada Selasa (22/5) pekan depan di Setra Desa Pakraman Panji.
Kini publik pecinta seni pertunjukan di Bali pun kehilangan sosok Susik yang dikenal lewat banyolan “Nyanan opake jak meme”.
Karakternya yang centil dan lucu, menginspirasi banyak kelompok bondres menghadirkan tokoh perempuan di atas panggung.