DENPASAR – Penguatan adat dan budaya menjadi hal yang sangat prinsip dalam pembangunan daerah Bali. Adat dan budaya berkaitan erat dengan keberlangsungan sektor pariwisata yang merupakan lokomotif perekonomian masyarakat Pulau Dewata.
Sayangnya, Pemprov Bali sejauh ini mengaktualisasikan komitmennya dalam memperkuat desa adat dan budaya Bali hanya sebatas lewat suntikan bantuan
(di era Wayan Koster senilai Rp 250 juta per tahun, red), tunjangan bendesa adat, perbaikan pura dan bantuan untuk subak serta subak abian.
Lebih dari itu, Pemprov Bali juga mengalokasikan anggaran untuk membantu krama dalam nangun yadnya seperti ngaben massal.
Penataan pura, penataran pemangku, pemberian penghargaan bagi seniman dan pemantapan prajuru desa pakraman juga menjadi fokus perhatian Pemprov Bali.
Jero Wayan Swarsa, Bendesa Adat Kuta (2013-2018) menilai belum ada titik temu atau kesepahaman antara satu desa adat dengan desa adat lain. Kasus OTT di Tirta Empul dan Pantai Matahari Terbit, Sanur tak lantas membuat desa adat “aman”.
“Ya, karena tidak fokus atas model pengelolaan desa adat. Surat itu (hasil rapat permasalahan desa pakraman tertanggal 13 November 2018, red) bicara hak dan kewenangan yang gabeng dan tidak terarah,” ucapnya Sabtu (8/12) kemarin.
Polemik ini imbuhnya, bukan barang baru. Dan sejauh ini pemerintah Daerah Bali dan MUDP belum tegas menyikapinya.
Tidak bermaksud menyalahkan atau membenarkan pihak manapun, Swarsa mengajak seluruh masyarakat Bali untuk peka dan belajar tanggap atas peristiwa ironis berupa dugaan pungli yang ditudingkan kepada desa adat atau pakraman.
Lantas apa solusi atau alternatif yang bisa dilakukan ? Swarsa menjawab harus ada koordinasi dan langkah nyata yang tegas antara ranah adat Bali, kedinasan (pemerintah), dan penegak hukum.
Dirinya melihat hukum positif harus menjadi rujukan dalam bingkai NKRI. “Harus diakui pengertian hukum adat saja di Bali masih tumpang tindih. Apakah adat boleh mengambil ranah kedinasan ? Kalau saya jawab tidak, salah juga,” terangnya.
Swarsa berkata sebagai suatu bentuk pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat, desa adat/pakraman memiliki kewenangan dan tanggung jawab dimaksud. Tentunya lebih terbatas dan atas sepengetahuan pemerintah daerah.
“Contohnya bila dilakukan pungutan di objek wisata tentu pemerintah daerah melalui dinas pariwisata atau dinas berkompeten harus diajak bicara. Apakah retribusi dilakukan melalui pola bagi hasil ataukah dalam bentuk lain,” ringkasnya.
Tidak semua hal terkait kemasyarakatan sudah di atur secara normatif oleh pemerintah daerah. Swarsa menyebut hal paling penting
dalam partisipasi desa adat/pakraman dalam peran ini adalah bentuk pertanggungjawaban terhadap apa yang dilakukan
Kedua, Swarsa juga menilai perlu dibentuk lembaga di bawah desa adat/pakraman berupa Badan Pengelola milik desa adat.
Badan Pengelola inilah yang bertanggung jawab atas pengelolaan baik keuangan maupun operasional dan menjadi perpanjangan tangan desa adat dalam mengatur hubungan desa adat dengan pemerintah.
Selain itu, yang ketiga harus ada sistem pengelolaan yang diterapkan oleh badan pengelola bentukan desa adat / pakraman tersebut.
Misalnya pengelolaan berbasiskan online atau pemanfaatan aplikasi digital. Hal penting untuk menjaga aspek transparansi pengelolaan tersebut.
Ditambahkan azas ke empat oleh Swarsa bahwa pihak desa adat / pakraman juga wajib mempertimbangkan asas manfaat.
Pada saat pengelolaan dana dilakukan secara jelas dan terang-benderang, kemudian selanjutnya adalah ditujukan untuk apa dana tersebut.
“Ke mana saja dana itu dan untuk pembiayaan apa saja. Intinya bukan semata-mata untuk pengumpulan dana tapi jelas dan terukur azas pemanfaatannya.
Dasar-dasar ini sangat penting dipahami dan dijalankan dan saya yakin bahwa pihak penegak hukum tidak akan menutup mata atas partisipasi positif masyarakat adat Bali,” tutupnya.