Pasangan disabilitas I Ketut Budiarsa – Ida Ayu Ketut Kenari, yang menikah Kamis lalu (14/3) telah melalui prosesi upacara adat Bali.
Layaknya pasangan suami istri Bali, mereka pun masuk krama adat Banjar/Desa Kedewatan Kecamatan Ubud. Hanya saja, keterbatasan mereka membuat prajuru adat memberikan mereka kelonggaran. Seperti apa?
IB INDRA PRASETIA, Gianyar
PERNIKAHAN Budiarsa-Dayu Kenari pada Kamis lalu berlangsung khidmat walaupun hanya melibatkan keluarga besar dan tempek banjar saja.
Dengan keterbatasan fisik, Budiarsa-Dayu Kenari tetap menjalani prosesi pernikahan adat Bali layaknya warga Bali normal di kediaman Budiarsa di Jalan Raya Kedewatan No. 62, lingkungan Banjar/Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud.
“Seperti biasa, saya upacara, natab, mekalan-kalan semuanya dijalani, tapi pakai kursi roda,” ujar Budiarsa, Jumat (15/3) lalu. Usai prosesi upacara, langsung dilanjutkan resepsi pernikahan.
Berjalannya prosesi pernikahan itu melepas keraguan yang sempat melandanya dulu. “Saya ambil keputusan ini dari 6 tahun lalu. Sempat ada kesan ragu atau khawatir dengan kondisi kami.
Sama-sama pakai kursi roda, ke depan soal kemasyarakatan, kemandirian. Itu faktor yang buat kami lama ambil keputusan,” jelasnya.
Hingga akhirnya, pada 2018 lalu, kedua pasangan itu berkomitmen mengadakan pernikahan. “Dengan pertimbangan secara matang.
Kalau terus-terusan pacaran tanpa kejelasan, nanti usia lewat nanti lambat ambil keputusan. Kami coba berpikiran positif saja.
Kalau Beliau (Tuhan YME) kehendaki akan menjadi mungkin. Itu yang kami bangkitkan bersama dari diri saya sama Dayu,” ujar pria yang kesehariannya sebagai pelukis bergaya fantasi itu.
Salah satu prinsip hidupnya, jika hidup ini bagian dari drama. “Salah satunya, inilah yang saya jalani. Bagaimana titik klimaks kami jalani.
Harus berani ambil keputusan, selalu berdoa agar ke depan segala rintangan diberikan kemudahan oleh Beliau,” jelas lulusan SMK Seni Rupa Batubulan itu.
Selanjutnya, usai menikah, Budiarsa dan Dayu Kenari kini fokus pada biduk rumah tangga mereka.
“Untuk mengisi kehidupan, perlu pekerjaan, itu konsen saya sekarang untuk ke depan. Saya yakin, Tuhan beri jalan terbaik.
Toh nanti sama-sama balik kepada Beliau, tak ada yang abadi di dunia ini. Itu saya pakai menghilangkan rasa takut,” ungkapnya.
Sebagai warga Bali, Budiarsa-Dayu Kenari pun hidup bermasyarakat di banjar. “Kami pernah tanya sama Kelian ketika berumah tangga.
Penjelasan dari prajuru adat, katanya tenaga kami tidak dilibatkan. Namun untuk iuran, diharapkan ikut berpartisipasi katanya,” ungkapnya.
Diakui, adik Budiarsa merupakan orang normal dan biasanya membantu kegiatan adat di desa pakraman.
“Namun tyang (saya, red) berusaha berperan di bidang mana supaya bisa ikut berpartisipasi, tetap itu kami pikirkan,” pintanya.
Selain itu, Budiarsa yang juga Ketua Yayasan Permahata Hati yang bergerak di bidang disabilitas, berharap ada bantuan akses disabilitas di pura-pura. Terutama pura besar di Bali.
“Kami pernah ikut pembahasan Perda disabilitas, yang sebelumnya kami rasakan kami ungkapkan. Akses disabilitas ke pura untuk kursi roda,
bisa membantu kami beraktivitas di masyarakat. Mudah-mudahan melalui Perda bisa membantu,” jelasnya lagi.
Contohnya, Budiarsa yang tiap tahun ke Pura Besakih merasakan perlu dibuatkan jalur disabilitas. “Kami lebih sering ke Besakih, dengan bantuan para relawan menaikkan di tangga. Mudah-mudahan lewat diberikan akses ke pura,” ungkapnya.
Budiarsa dan kawan-kawannya kini terus menggalang tanda-tangan supaya kalangan disabilitas mendapatkan akses kursi roda di pura Besakih.
“Penggalangan sih sudah setahun lalu. Kami harap banyak masyarakat tertarik. Bukan bermaksud merubah struktur pura. Namun ini untuk kemudahan kami, katanya kan di setiap diri manusia sama di mata Tuhan,” tukasnya. (*)